Penolakan Amerika Serikat (AS) terhadap resolusi gencatan senjata di Gaza dengan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB bukanlah hal mengejutkan.
Demikian ditegaskan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Michael Fakhri.
Ia menyerukan kepada dunia internasional untuk mengabaikan penolakan Israel dan mengirim bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza melalui misi penjaga perdamaian internasional.
Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Fakhri menegaskan bahwa hukum internasional tetap bersifat mengikat, meskipun Dewan Keamanan gagal mengambil tindakan.
Ia menambahkan bahwa Majelis Umum PBB memiliki wewenang untuk bertindak ketika Dewan Keamanan berada dalam kebuntuan.
Fakhri juga merujuk pada keputusan Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal dan harus diakhiri.
Ia menuduh Israel melanggar hukum internasional dengan melakukan “perang kelaparan” terhadap penduduk Gaza.
Tuduhan yang diperkuat dengan adanya surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang.
Menurut Fakhri, pernyataan kecaman dari negara-negara Eropa terhadap agresi Israel tidak lagi memadai.
“Saat ini, yang dibutuhkan bukanlah kata-kata, melainkan tindakan nyata. Ratusan orang meninggal setiap hari dengan cara yang mengerikan,” ujarnya.
Ia menyerukan kepada negara-negara tersebut untuk segera mendorong gencatan senjata dan menyalurkan bantuan secara langsung melalui jalur internasional, tanpa mengindahkan persetujuan Israel.
Fakhri juga melontarkan kritik keras terhadap lembaga bernama “Gaza Relief Institution”, yang menurutnya tidak memenuhi prinsip-prinsip kemanusiaan dan justru menjadi alat politisasi bantuan.
Ia menyebut lembaga tersebut sebagai sarana untuk “mempermalukan, menundukkan, dan memindahkan paksa warga Palestina dari tempat tinggal mereka.”
PBB sendiri telah menolak untuk bekerja sama dengan lembaga tersebut karena ketidakjelasan sumber pendanaan dan pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan.
Fakhri juga menyinggung tragedi penembakan terhadap warga sipil yang tengah mengantre bantuan makanan.
Data dari Kantor Media Pemerintah di Gaza menunjukkan bahwa 102 warga tewas dalam waktu delapan hari terakhir di lokasi distribusi bantuan, menjadikan area-area tersebut sebagai “perangkap maut”.
Kantor tersebut menegaskan bahwa Israel kini menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat untuk pembunuhan massal dan pembersihan etnis.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa sejak 7 Oktober 2023, jumlah korban jiwa telah mencapai 54.607 orang, dengan 125.341 lainnya luka-luka akibat agresi Israel yang disebut para pakar internasional sebagai bentuk genosida modern.
Setelah lebih dari dua bulan pengepungan total, Israel mulai mengizinkan masuknya sejumlah kecil truk bantuan PBB pada 19 Mei lalu.
Namun, organisasi-organisasi kemanusiaan menyebut jumlah tersebut sebagai “setetes di lautan” dibandingkan dengan kebutuhan nyata masyarakat Gaza.
Sebagian besar wilayah Gaza kini berada dalam kondisi kehancuran parah yang, menurut para ahli, belum pernah terlihat sejak Perang Dunia II.
Hampir seluruh penduduknya telah mengungsi, hidup tanpa akses yang memadai terhadap air bersih, pangan, atau layanan kesehatan.
Dalam situasi seperti ini, Michael Fakhri menegaskan bahwa komunitas internasional punya tanggung jawab moral dan hukum untuk bertindak—bukan hanya mendesak, tetapi melakukan—agar kehidupan sipil yang tersisa di Gaza bisa diselamatkan dari kehancuran total.