Pemerintah di Jalur Gaza mengungkapkan bahwa 80 persen warga Palestina yang gugur saat menunggu atau berusaha mengambil bantuan kemanusiaan adalah anak muda.
Angka itu menjadi bagian dari data yang mengindikasikan bahwa mekanisme distribusi bantuan oleh militer Israel bukanlah operasi kemanusiaan, melainkan fase baru dari kekerasan sistematis terhadap rakyat Palestina.
“Ini bukan distribusi bantuan, melainkan babak berdarah dari genosida,” kata Ismail Al-Thawabta, Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza, dalam wawancara khusus dengan Kantor Berita Qatar (QNA).
Ia menegaskan, kondisi tersebut seharusnya mendorong penyelidikan internasional yang independen.
Menurut Al-Thawabta, sistem distribusi bantuan yang diberlakukan Israel sejak 27 Mei lalu, tanpa pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga internasional, telah menciptakan situasi yang memaksa warga Gaza untuk memilih antara kelaparan atau risiko ditembak tentara Israel.
Bantuan disalurkan melalui apa yang disebut “Lembaga Kemanusiaan Gaza”, namun dalam praktiknya menjadi pemicu tragedi.
“Sebanyak 80 persen dari para syuhada adalah anak muda, 14 persen anak-anak, dan masing-masing 3 persen adalah perempuan serta lansia,” ujarnya.
Ia menambahkan, sejak skema ini dimulai, setidaknya 773 warga Palestina gugur dan lebih dari 5.000 lainnya terluka saat mencoba mengakses bantuan. Sebanyak 39 warga dilaporkan hilang dan belum ditemukan.
Al-Thawabta menjelaskan bahwa bantuan seringkali diletakkan di area terbuka yang secara militer diklasifikasikan sebagai “zona merah”.
Sehingga warga sipil yang kelaparan terpaksa berkerumun dalam area yang telah disiapkan sebagai sasaran terbuka.
“Ini adalah metode yang sangat tidak manusiawi. Area distribusi seperti jebakan maut,” katanya.
Menurutnya, pemandangan mengerikan pembantaian massal di lokasi bantuan telah menciptakan trauma sosial yang mendalam.
“Warga Gaza kini hidup dalam ketakutan ganda—kelaparan di satu sisi, dan ancaman kematian saat mencari makanan di sisi lain,” ujarnya.
Beberapa keluarga, lanjutnya, kehilangan semua anggota mudanya hanya karena mereka mencoba mengambil bantuan.
Situasi itu merusak kepercayaan warga terhadap segala bentuk bantuan internasional dan memperdalam luka kemanusiaan yang sudah sangat dalam.
Al-Thawabta menegaskan, ada tanggung jawab hukum dan moral yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang menjalankan, mendanai, dan mengawasi skema distribusi ini—terutama Amerika Serikat (AS) dan Israel.
Ia juga menyoroti peran lembaga-lembaga mitra dan organisasi kemanusiaan yang memilih diam.
“Diamnya mereka menjadikan mereka bagian dari kejahatan ini. Ini pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional dan tergolong kejahatan perang,” tegasnya.
Pemerintah Gaza, kata Al-Thawabta, telah melaporkan kejadian ini ke puluhan organisasi internasional, termasuk PBB, Palang Merah, dan para pelapor khusus HAM.
“Semua kejadian kami dokumentasikan dengan nama, gambar, dan waktu kejadian. Namun, respons yang kami terima sangat lemah, penuh dengan bahasa diplomatis yang menghindar, tanpa tindakan nyata di lapangan,” katanya.
Ia mendesak penghentian segera terhadap mekanisme distribusi bantuan yang disebutnya sebagai “mematikan”, serta meminta pertanggungjawaban para pelaku, dan penciptaan sistem distribusi yang aman dan manusiawi.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel dengan dukungan AS melancarkan serangan militer besar-besaran di Gaza, yang kini telah menewaskan dan melukai lebih dari 188.000 warga Palestina, mayoritas di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Lebih dari 11.000 orang masih hilang dan dikhawatirkan menjadi korban.