Friday, December 19, 2025
HomeBeritaPendidikan melawan genosida: 300 sekolah Gaza dibuka kembali

Pendidikan melawan genosida: 300 sekolah Gaza dibuka kembali

Di sebuah lahan terbuka yang dikelilingi ribuan tenda pengungsi di kawasan Al-Mawasi, sebelah barat Kota Khan Younis, Gaza selatan, sekelompok tukang dan pekerja tampak bekerja tanpa henti.

Layaknya sarang lebah, mereka berpacu dengan waktu membangun sebuah sekolah darurat.

Sekolah ini merupakan bagian dari proyek “Program Komprehensif Rehabilitasi Sektor Pendidikan di Gaza”, sebuah inisiatif yang diluncurkan dan didanai oleh organisasi Scholars Without Borders (Ilmuwan Tanpa Batas) yang bermarkas di AS.

Sekolah tersebut hanyalah satu dari 10 sekolah yang saat ini tengah dibangun sebagai tahap awal uji coba program besar tersebut.

Secara keseluruhan, program ini menargetkan pembangunan 300 sekolah di wilayah utara dan selatan Jalur Gaza, dengan estimasi biaya 110.000 dollar AS per sekolah.

Setiap sekolah dirancang terdiri atas enam ruang kelas, dengan kemungkinan penambahan biaya seiring bertambahnya jumlah kelas maupun fasilitas pendukung lainnya.

Dalam kerangka program tersebut, organisasi Scholars Without Borders juga merancang pendirian dua kota pendidikan.

Kota pendidikan pertama dibangun di area sekolah Al-Mawasi, Khan Younis, sementara yang kedua direncanakan di kawasan Netzarim, Gaza tengah.

“Kami memberikan seluruh layanan secara gratis,” ujar Ketua Perwakilan Scholars Without Borders di Gaza, Dr. Hamza Abu Daqa, kepada Al Jazeera Net.

Sekolah Ghaith, awal sebuah gerakan

Pada Mei 2024, menyusul gelombang besar pengungsian dari Kota Rafah, organisasi ini mendirikan Sekolah Ghaith sebagai inisiatif pendidikan pertamanya.

Sekolah ini berdiri di kawasan Al-Mawasi, Khan Younis, yang saat itu dipadati ratusan ribu pengungsi, terutama dari Gaza selatan.

Keberhasilan Sekolah Ghaith, menurut Abu Daqa, menjadi inspirasi utama bagi peluncuran proyek pendidikan berskala besar di seluruh Gaza.

Proyek ini bertujuan memulihkan sektor pendidikan yang hancur akibat serangan Israel selama dua tahun perang terakhir.

Sekolah Ghaith memiliki 11 ruang kelas dan melayani sekitar 4.000 siswa, mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas.

Seluruh layanan diberikan secara gratis, mencakup pendidikan formal, penyediaan makanan aman bagi anak-anak, layanan kesehatan mental, hingga kegiatan rekreasi.

Abu Daqa mengungkapkan bahwa sekolah tersebut membuktikan efektivitasnya dengan meluluskan 190 siswa yang meraih nilai tinggi, dengan rata-rata kelulusan di atas 90 persen pada ujian akhir sekolah menengah atas terbaru.

Keberhasilan ini mendapat sambutan positif dari para pendukung organisasi, yang kemudian mendorong perluasan program melalui pembangunan 300 sekolah di berbagai wilayah Gaza.

Penentuan lokasi sekolah disesuaikan dengan perubahan distribusi kepadatan penduduk akibat perang, yang kini jauh berbeda dibandingkan sebelum konflik.

Dalam konteks ini, Abu Daqa mengungkapkan rencana penyelenggaraan konferensi internasional pada akhir Januari mendatang di Doha, Qatar, untuk membahas rekonstruksi sektor pendidikan Gaza.

Konferensi ini akan disponsori oleh Scholars Without Borders bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Qatar.

“Kami berencana memulai operasional sekolah-sekolah ini pada awal bulan depan, bahkan sebelum Konferensi Doha dimulai,” ujarnya.

Ia menambahkan, proses pendaftaran siswa telah dibuka dan mendapat respons luar biasa.

“Pada tahap pertama dan uji coba, kami menargetkan sekitar 40.000 siswa di seluruh Gaza,” kata Abu Daqa.

Dengan sarana yang sangat terbatas

Menurut Abu Daqa, setiap sekolah diperkirakan melayani 2.000 hingga 2.500 siswa, dengan kapasitas 45 siswa per kelas.

Program ini dilaksanakan melalui koordinasi dan kemitraan dengan Kementerian Pendidikan Palestina di Ramallah dan Gaza, guna memastikan kesesuaian dengan kebutuhan sistem pendidikan nasional.

Sekolah-sekolah baru ini dibangun di atas reruntuhan sekolah lama yang hancur akibat bombardemen, setelah puing-puing dibersihkan.

Selain itu, beberapa sekolah juga didirikan di lahan kosong yang dipilih dengan mempertimbangkan pergerakan pengungsi dan distribusi geografis penduduk, melalui koordinasi dengan pemerintah daerah dan Kementerian Pemerintahan Lokal.

Abu Daqa menyebut program ini sebagai “proyek sentral dan terbesar” dalam upaya pemulihan pendidikan Gaza.

Program ini disusun berdasarkan visi strategis dan dikerjakan oleh tim lokal yang berkoordinasi secara intensif dengan kantor regional organisasi di Yordania.

Karena keterbatasan pasokan semen dan bahan bangunan yang dibatasi oleh Israel, bangunan sekolah akan dibuat menggunakan struktur besi dan seng sebagai pengganti konstruksi konvensional.

Lantai kelas dirancang menggunakan rumput sintetis, menyesuaikan ketersediaan di pasar lokal yang kini mengalami lonjakan harga ekstrem.

Dampak kehancuran besar dan kontrol Israel atas lebih dari setengah wilayah Gaza menyebabkan variasi luas lahan sekolah.

Karena itu, jumlah ruang kelas di setiap sekolah tidak seragam—ada yang memiliki enam, sembilan, hingga sebelas ruang kelas—bergantung pada luas lahan dan kepadatan penduduk di sekitarnya.

Pendidikan dan dukungan psikososial

Di dua kota pendidikan tersebut, akan dibangun ruang administrasi, ruang khusus layanan kesehatan mental, dapur untuk penyediaan makanan aman bagi anak-anak, serta area hijau untuk aktivitas rekreasi dan pemulihan psikologis.

Selain itu, organisasi ini juga akan membangun tujuh ruang kuliah universitas dengan kapasitas total 700 mahasiswa, serta dua ruang kerja ilmiah yang dilengkapi fasilitas lengkap.

Seluruh fasilitas ini akan tersedia secara gratis bagi universitas, serikat profesi, dan lembaga lokal, dengan tujuan mendukung pendidikan, pelatihan, dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia.

Scholars Without Borders juga menyediakan 300 beasiswa penuh untuk seluruh program studi di universitas lokal.

Beasiswa ini mencakup biaya kuliah dan kebutuhan hidup mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yang kehilangan orang tua selama perang, satu-satunya penyintas dalam keluarganya, korban luka dengan disabilitas, serta siswa berprestasi di tingkat sekolah menengah.

“Langkah strategis”

Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza, Dr. Ismail Al-Thawabta, menilai program ini sebagai langkah strategis dan bertanggung jawab yang mencerminkan pemahaman mendalam terhadap tantangan besar yang dihadapi sektor pendidikan Gaza.

Ia mengatakan bahwa program ini, yang mencakup seluruh jenjang pendidikan dengan fokus kuat pada pendidikan dasar dan menengah, menjadi fondasi penting untuk menjamin keberlangsungan proses belajar-mengajar.

“Pendidikan akan tetap menjadi prioritas nasional yang tidak boleh dikorbankan, seberat apa pun tantangan yang dihadapi,” ujarnya.

Menurut Al-Thawabta, pembangunan 300 sekolah yang tersebar di berbagai wilayah Gaza akan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan layak, sekaligus menjamin akses pendidikan yang adil bagi seluruh siswa.

Ia juga menilai rehabilitasi gedung universitas yang rusak serta penyediaan ruang kuliah yang lengkap sebagai langkah realistis untuk menopang pendidikan tinggi di tengah keterbatasan ekstrem.

Al-Thawabta memuji integrasi ruang rekreasi dan layanan kesehatan mental dalam program tersebut, mengingat pentingnya dukungan psikososial bagi anak-anak yang mengalami trauma perang.

Ia menyerukan kepada lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas internasional untuk bersatu mendukung dan memperluas inisiatif semacam ini.

Tujuannya, demi memulihkan sektor pendidikan Gaza dan memperkuat ketahanan siswa, guru, serta institusi pendidikan.

Urgensi program ini semakin terasa mengingat kerusakan masif infrastruktur pendidikan. Berdasarkan data Kantor Media Pemerintah Gaza, 90 persen bangunan sekolah memerlukan rekonstruksi total atau rehabilitasi besar.

Sebanyak 668 gedung sekolah diserang langsung, mewakili sekitar 80 persen dari seluruh sekolah di Gaza.

Data juga mencatat bahwa 165 sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan hancur total, sementara 392 lainnya rusak sebagian.

Jumlah siswa yang gugur melampaui 13.500 orang, lebih dari 830 guru dan tenaga pendidik tewas, serta 193 ilmuwan, akademisi, dan peneliti turut menjadi korban.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler