Sunday, March 23, 2025
HomeBeritaPenggerebekan Israel di Tepi Barat: Apa yang berubah setelah 7 Oktober 2023?

Penggerebekan Israel di Tepi Barat: Apa yang berubah setelah 7 Oktober 2023?

Beita, Beit Furik, Burin, Barqa, Al-Khader, Husan, Al-Fawwar, Dura, Sa’ir, Adh-Dhahiriya, dan puluhan desa serta kota Palestina lainnya di Tepi Barat hampir tidak pernah absen dari berita karena seringnya penggerebekan oleh tentara pendudukan Israel.

Frekuensi ini meningkat secara mencolok sejak dimulainya perang genosida di Gaza pada 7 Oktober 2023.

Situasi semakin memburuk menjelang bulan Ramadan, ketika penggerebekan dilakukan pada jam sibuk menjelang waktu berbuka puasa.

Ini menargetkan pusat-pusat kota dan desa, menyebabkan penduduk tercerai-berai dan memaksa toko-toko tutup.

Berikut ini adalah ringkasan informasi mengenai kebijakan penggerebekan Israel, jenis-jenisnya, dan tujuannya, menurut para analis Palestina:

Apa itu penggerebekan Israel ke wilayah Palestina?

Penggerebekan adalah pergerakan kendaraan dan pasukan militer Israel dari kamp-kamp militer, permukiman, atau titik-titik pangkalan mereka di sekitar wilayah Palestina.

Pergerakan itu menuju desa-desa dan kota-kota yang dihuni dan diklasifikasikan sebagai “A” dan “B”. Zona itu seharusnya berada di bawah pengelolaan Otoritas Palestina.

Namun, wilayah-wilayah ini direbut kembali oleh Israel pada tahun 2002. Penggerebekan biasanya dimulai dengan pembukaan gerbang besi di pintu masuk utama. Kemudian ditutup kembali setelah penggerebekan selesai.

Perjanjian Oslo II tahun 1995 mengklasifikasikan wilayah Tepi Barat menjadi:

  • Zona “A”: seharusnya berada di bawah kendali penuh Palestina,
  • Zona “B”: di bawah kendali administratif Palestina,
  • Zona “C”: sekitar 61% wilayah, berada di bawah kendali penuh Israel.

Apa saja jenis penggerebekan?

Menurut para ahli Palestina, penggerebekan dibagi menjadi beberapa jenis:

  • Operasi militer.

Paling terkenal adalah genosida yang terjadi di kamp-kamp pengungsi di utara Tepi Barat, dimulai 21 Januari lalu, yang mengakibatkan puluhan syuhada serta kerusakan besar pada rumah-rumah dan infrastruktur.

Israel menggunakan berbagai alat berat termasuk buldoser, tank, pesawat tempur, helikopter, dan drone, serta melakukan pembunuhan, penangkapan, dan penghancuran.

  • Penggerebekan dengan tujuan spesifik

Dilakukan dengan kendaraan militer ringan, biasanya pada malam hari, untuk menggerebek rumah dan menangkap individu, menutup institusi, atau menghancurkan rumah. Terjadi di seluruh wilayah Tepi Barat.

  • Penggerebekan untuk pemaksaan kedaulatan atau provokasi

Jenis ini meluas setelah 7 Oktober 2023, menargetkan desa dan kamp pengungsi yang tenang, dilakukan pada jam sibuk warga tanpa alasan keamanan jelas. Terjadi khususnya sebelum berbuka puasa dan saat salat Isya serta Tarawih.

Tentara menyerbu pusat desa/kamp, memaksa toko tutup, menempatkan pasukan di atap rumah selama beberapa jam, dan menembakkan gas air mata serta peluru tajam, menyebabkan luka-luka.

Tentara juga turun dari kendaraan, menghentikan dan menganiaya pemuda, menggerebek dan merusak rumah serta toko. Biasanya berlangsung 1-2 jam.

Termasuk juga penggerebekan oleh polisi Israel dan pengejaran kendaraan Palestina meskipun wilayah tersebut dikelola oleh Otoritas Palestina.

Apa yang baru dari penggerebekan, bukankah sudah terjadi sebelumnya?

Hal yang baru adalah fokus penggerebekan kini tertuju pada wilayah pedesaan Palestina, dengan frekuensi tinggi—bahkan bisa terjadi beberapa kali dalam sehari.

Sebelumnya, sebelum 7 Oktober, penggerebekan biasanya bertujuan operasional tertentu seperti penangkapan atau pengejaran, dan dilakukan pada malam hari.

Data dari Otoritas Palestina untuk Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman menunjukkan peningkatan besar dalam jumlah penggerebekan Israel sebelum dan sesudah agresi ke Gaza.

Sebelum perang, khususnya pada Januari 2023, tercatat 700 pelanggaran dan penggerebekan oleh tentara pendudukan di Tepi Barat. Pada Februari 2023 sebanyak 636 pelanggaran dan serangan.

Sebagai perbandingan, pada Januari 2024 tercatat 2161 pelanggaran dan serangan. Sementara Februari 2024 sebanyak 1705 pelanggaran dan serangan.

Menurut pernyataan radio dari Gubernur Hebron, Khaled Dudin, provinsi Hebron saja mengalami 480 penggerebekan Israel dalam dua bulan pertama tahun ini.

Peneliti lapangan dari Pusat Hak Asasi Manusia Palestina, Imad Abu Hawash, menyatakan bahwa akhir-akhir ini telah terjadi peningkatan besar dalam aktivitas militer tentara pendudukan di kota, desa, dan kamp pengungsi di Tepi Barat.

“Hingga menjadi kegiatan harian yang terus-menerus, yang termasuk dalam bentuk hukuman kolektif,” katanya.

Apa dampak penggerebekan di waktu sibuk?

Dengan semakin seringnya penggerebekan, wilayah Palestina kini semakin kehilangan rasa aman. Warga berusaha untuk tidak keluar rumah kecuali jika sangat diperlukan.

Aktivitas perdagangan dan pasar juga terpukul karena penggerebekan sering terjadi saat waktu belanja, selain jatuhnya korban jiwa dan luka-luka serta kerusakan pada harta benda.

Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Palestina, sekitar 935 warga Palestina telah gugur syahid dan lebih dari 7.000 lainnya terluka di Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023.

Menurut Abu Hawash, penggerebekan ini merupakan bentuk hukuman kolektif karena otoritas pendudukan memaksa warga Palestina menutup pasar.

Mereka juga membatasi kebebasan bergerak, yang menyebabkan dampak dan kerugian ekonomi besar.

Ia menyoroti kondisi di kota Adh-Dhahiriya, selatan Hebron, yang sebelumnya sangat bergantung pada warga Palestina dari wilayah 1948 (Palestina ’48).

Saat ini, akses warga Palestina ’48 ke kota tersebut dicegah, toko-toko dihancurkan, dan kota itu sering digerebek.

Apa tujuan intensifikasi penggerebekan meski tanpa ancaman keamanan?

Menurut Ahmad Salah, seorang aktivis perlawanan rakyat di kota Al-Khader, selatan Betlehem, tidak ada yang bersifat acak.

Masuknya tentara ke wilayah padat penduduk dan patroli mereka bukan keputusan pribadi tentara atau pemukim. Tetapi, katanya, hal yang terencana dan dipelajari dengan matang.

Ia menambahkan bahwa tujuan kehadiran tentara di dalam desa dan kamp pengungsi padat penduduk adalah untuk memaksakan realitas baru.

Tujuannya, agar warga terbiasa dengan keberadaan mereka seolah-olah mereka adalah bagian alami dari lingkungan tersebut.

Ini mengingatkan pada kondisi sebelum Intifada 1987, ketika ada interaksi langsung antara warga Palestina dan tentara Israel. Salah juga menyoroti aspek psikologis dari penggerebekan.

“Untuk mempersiapkan mental warga Palestina agar menerima kehadiran tentara di antara mereka, bahkan berbelanja di toko mereka, sebagai bagian dari kebijakan aneksasi dan pemaksaan kedaulatan Israel khususnya di wilayah Tepi Barat,” kata Salah.

Ia menambahkan bahwa situasi ini berkembang menjadi pengawasan ketat terhadap warga Palestina.

Termasuk memantau unggahan media sosial, menangkap dan mengadili para pemilik akun, serta mereset ulang cara berpikir warga Palestina dan membentuk kesadaran mereka.

Salah juga mencatat penggunaan teknologi canggih dan kecerdasan buatan dalam operasi militer dan penggerebekan. Termasuk penggunaan drone yang selalu mengawasi langit Tepi Barat.

Sementara itu, Abu Hawash menegaskan bahwa tujuan penggerebekan ini tidak bisa dipisahkan dari upaya terang-terangan untuk memaksakan kedaulatan Israel di Tepi Barat.

“Keberadaan tentara di sana berarti menciptakan realitas baru yang mirip dengan kondisi sebelum berdirinya Otoritas Palestina,” tuturnya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular