Ben Lorber, seorang peneliti politik di Political Research Associates di Massachusetts, mengungkap keretakan yang kian nyata di tubuh kubu kanan Amerika yang selama ini dikenal sebagai pendukung kuat Israel dan gerakan Zionisme.
Dalam tulisannya di harian The Hill, Lorber menilai bahwa antisemitisme di kalangan kanan populis tidak lagi tersembunyi, melainkan kini muncul terang-terangan.
Fenomena itu, tulisnya, tampak jelas di lingkungan gerakan Make America Great Again (MAGA) —basis politik yang berakar pada pendukung presiden Donald Trump.
Pekan lalu, isu tersebut mencuat ketika Tucker Carlson, komentator konservatif dan mantan pembawa acara Tucker Carlson Tonight di Fox News, menghadirkan tokoh nasionalis kulit putih Nick Fuentes dalam acara bincang-bincangnya. Tema perbincangan: Israel dan organisasi-organisasi Yahudi.
Langkah Carlson itu memicu perdebatan panas di kalangan konservatif.
Sebagian mempertanyakan apakah sosok seperti Fuentes, yang dikenal membawa pandangan ekstrem dan antisemit, layak diterima di bawah payung gerakan MAGA.
Kontroversi semakin melebar ketika Kevin Roberts, presiden lembaga konservatif The Heritage Foundation, justru membela Carlson.
Ia menyerukan agar Fuentes “didebat, bukan dibungkam”. Ia juga menegaskan bahwa kaum konservatif seharusnya menempatkan “kesetiaan kepada Kristus terlebih dahulu, dan Amerika selalu” di atas dukungan otomatis terhadap Israel—apa pun tekanan dari apa yang ia sebut “kelas globalis”.
Pernyataan Roberts dianggap banyak pihak sebagai nada antisemit baru di kalangan kanan Amerika.
Narasi tentang “lobi Zionis global” yang mengancam “nasionalisme Kristen” kembali bergema, sesuatu yang dulu tabu bahkan di lingkaran konservatif paling keras.
Lorber menilai perubahan sikap ini sangat mencolok. Hanya setahun lalu, Heritage Foundation meluncurkan proyek bernama Esther Project.
Sebuah inisiatif yang bertujuan menggunakan kekuatan negara untuk membungkam aktivisme pro-Palestina semasa pemerintahan Trump.
Menurut Lorber, kebijakan Trump kala itu sejalan dengan misi tersebut. Pemerintahannya menekan kampus-kampus seperti Universitas Columbia, mengancam organisasi solidaritas Palestina dengan tuntutan hukum, pencabutan status bebas pajak, hingga pelabelan terorisme.
Namun, ia mencatat bahwa para pendukung proyek Esther waktu itu menolak memasukkan upaya memerangi antisemitisme di kalangan kanan ke dalam agenda mereka—mereka bersikeras bahwa ancaman utama justru datang dari kiri progresif.
Perubahan sikap dan retaknya koalisi
Kini, tanda-tanda pergeseran itu kian nyata. Beberapa rabi dan tokoh Yahudi yang dulu terlibat dalam proyek Esther, seperti Yaakov Menken, menyatakan kekecewaan terhadap arah baru Heritage yang mulai bersimpati pada tokoh-tokoh berbau antisemit.
Mereka memperingatkan adanya dampak jangka panjang yang bisa melemahkan pengaruh Yahudi di lingkaran konservatif.
Kekhawatiran serupa juga datang dari tokoh-tokoh Kristen Zionis seperti Luke Moon dari proyek Philos Project, yang menilai bahwa pengaruh mereka di kalangan kanan menurun.
Penurunan itu sejak meningkatnya kritik terhadap dukungan Washington terhadap Israel, terutama setelah serangan 7 Oktober 2023.
Lorber melihat retaknya koalisi lama antara Israel, kelompok Yahudi konservatif, dan kaum evangelis Kristen Amerika sebagai gejala perubahan zaman.
Aliansi yang selama puluhan tahun dibangun atas nama “nilai-nilai Yudeo-Kristen” dan “hubungan istimewa” antara Washington dan Tel Aviv kini diguncang oleh kebangkitan nasionalisme kulit putih di dalam negeri.
Menurutnya, sejak awal aliansi itu dibangun di atas dasar keliru—penyamaan antara kritik terhadap Israel dengan kebencian terhadap Yahudi.
Akibatnya, ruang kebebasan akademik dan politik untuk membahas isu Palestina terkekang selama bertahun-tahun.
Kini, ketika arus kanan populis semakin ekstrem, retakan dalam koalisi itu menjadi semakin lebar.
Lorber menulis bahwa antisemitisme tumbuh subur dalam lingkungan yang sama dengan rasisme terhadap kulit hitam, kebencian terhadap imigran, dan permusuhan terhadap kelompok LGBTQ.
Ia mengingatkan bahwa sebagian besar kejahatan kebencian di Amerika selama satu dekade terakhir dilakukan oleh pendukung kanan ekstrem.
Para nasionalis kulit putih seperti Fuentes, lanjut Lorber, kembali menghidupkan teori konspirasi lama tentang “persekongkolan Yahudi” di balik liberalisme dan kebijakan pro-Israel Amerika.
Ide semacam itu, katanya, sudah berabad-abad menjadi bahan bakar bagi gerakan-gerakan otoriter.
Kini, persekutuan antara kalangan Yahudi konservatif dan kaum nasionalis Kristen justru mulai berbalik arah.
Dalam sejumlah pertemuan mahasiswa dan aktivis sayap kanan, muncul seruan bahwa “Israel mengendalikan Trump” dan bahwa “Yahudi menindas Kristen”.
Sebuah tanda bahwa dimensi “Yudeo” mulai terhapus dari gagasan “nilai-nilai Yudeo-Kristen” yang dulu dijadikan perekat ideologis.
Lorber menutup tulisannya dengan peringatan keras: ketika kaum Yahudi konservatif lebih sibuk menyerang kelompok progresif daripada mengakui bahaya yang tumbuh di antara sekutu mereka sendiri.
Mereka sedang menutup mata terhadap ancaman yang sebenarnya—bukan hanya terhadap keamanan komunitas Yahudi, tetapi juga terhadap masa depan demokrasi Amerika.


