Wednesday, June 18, 2025
HomeBeritaPenulis Inggris: Israel coba pulihkan citra lewat perang Iran, setelah citra runtuh...

Penulis Inggris: Israel coba pulihkan citra lewat perang Iran, setelah citra runtuh di Gaza

Israel dinilai telah kehilangan kepercayaan dunia akibat aksi brutalnya di Gaza. Kini, negara itu disebut tengah berupaya memulihkan citranya dengan menggiring narasi baru melalui ketegangan militer dengan Iran.

Demikian disampaikan kolumnis The Guardian, Nesrine Malik, dalam sebuah tulisan yang tajam menyoroti strategi politik luar negeri Israel.

Dalam opininya, Malik menilai bahwa dukungan negara-negara Barat terhadap Israel selama ini bertumpu pada anggapan bahwa Israel hanya menggunakan kekuatan militer demi membela diri.

Namun, anggapan itu runtuh ketika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dianggap memanfaatkan perang di Gaza bukan semata demi keamanan, melainkan untuk memperkuat posisinya secara politik di dalam negeri.

“Netanyahu telah menyalahgunakan kepercayaan itu,” tulis Malik.

Ketika gelombang protes publik di negara-negara Barat mulai menguat menentang invasi Israel ke Gaza—terutama akibat meningkatnya jumlah korban sipil dan terungkapnya krisis kemanusiaan—Israel memilih membuka front baru dengan Iran.

Langkah ini, menurut Malik, merupakan bagian dari upaya mengalihkan perhatian dunia sekaligus memulihkan simpati negara-negara Barat.

Langkah tersebut terbukti cukup berhasil dalam membungkam tekanan internasional terhadap Israel.

Liputan media Barat, yang sebelumnya menyoroti kondisi kelaparan di Gaza dan kematian warga sipil saat mengantre bantuan, kini bergeser ke ketegangan geopolitik dengan Iran.

Dalam ruang kosong yang ditinggalkan oleh kritik internasional, menurut Malik, kembali muncul wacana usang soal “tindakan proporsional” dan “hak membela diri”—tanpa langkah konkret apa pun untuk menghentikan kekerasan.

Israel, tulis Malik, tampaknya belajar dari pola lama intervensi militer Amerika Serikat di Irak, yakni dengan mendalilkan adanya ancaman eksistensial untuk membenarkan serangan pre-emptive.

Israel menyampaikan kepada dunia bahwa serangan terhadap Iran diperlukan untuk menghadapi “ancaman nyata dan langsung”.

Namun, Malik mempertanyakan validitas ancaman tersebut. Ia menyoroti standar ganda negara-negara Barat yang mengkritik program nuklir Iran dan keputusannya keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT).

Sementara, mereka menutup mata terhadap fakta bahwa Israel sendiri bahkan belum pernah menandatangani traktat tersebut.

Mengganggu stabilitas kawasan

Dalam konteks yang lebih luas, Malik menilai bahwa perang di Gaza telah meruntuhkan ilusi tentang netralitas moral Israel.

Namun, masuknya Iran dan sekutunya—seperti Hizbullah di Lebanon dan kelompok Houthi di Yaman—ke dalam konflik memberi Israel legitimasi baru untuk bertindak lebih jauh, seolah memiliki keleluasaan penuh tanpa pertanggungjawaban.

Israel, kata Malik, kini tengah menjalankan dua perang sekaligus: satu di medan pertempuran, dan satu lagi di ruang wacana publik global.

Tujuan akhirnya adalah menggoyahkan legitimasi Iran serta memperlemah kekuatan strategisnya di kawasan.

Dalam pandangan Malik, langkah yang ditempuh pemerintahan Netanyahu—yang saat ini juga tengah menghadapi dakwaan di Mahkamah Pidana Internasional—justru semakin mengguncang stabilitas kawasan Timur Tengah yang sudah rapuh.

Israel, menurutnya, telah menciptakan realitas geopolitik baru yang sulit dikendalikan dan sulit dibenarkan.

Dampak ketegangan ini juga dirasakan langsung oleh negara-negara Teluk. Beberapa negara menjalin hubungan pragmatis dengan Iran demi menjaga stabilitas regional, sementara sebagian lain memilih bersekutu dengan Israel.

Ketegangan Israel-Iran membuat posisi negara-negara ini menjadi serba salah—terjepit di antara dua kekuatan besar, ditambah bayang-bayang kepentingan Amerika Serikat (AS) yang tak kalah dominan.

Akhirnya, Malik menutup tulisannya dengan kritik keras: Israel tengah memperlakukan Timur Tengah seperti arena eksperimen bagi agenda politik dan keamanan nasionalnya.

Padahal, kawasan ini bukanlah “halaman belakang” Israel, melainkan rumah bagi masyarakat lain yang memiliki sejarah, kepentingan, dan kebutuhan keamanan sendiri.

Dan kebutuhan-kebutuhan itu, tegasnya, kini kian dikorbankan demi kepentingan sepihak satu negara.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular