Thursday, December 4, 2025
HomeBeritaPerang kelaparan tetap berlanjut di Gaza meski ada gencatan senjata

Perang kelaparan tetap berlanjut di Gaza meski ada gencatan senjata

Sebuah investigasi Al Jazeera—berbasis pada analisis citra satelit dan perbandingan peta analitis khusus—mengungkap bahwa Israel terus menjalankan perang kelaparan secara senyap terhadap penduduk Gaza.

Perang tersebut tetap berlanjut meskipun perjanjian gencatan senjata mulai berlaku sejak 10 Oktober lalu.

Analisis yang dilakukan tim verifikasi berita “Synd” di jaringan Al Jazeera menunjukkan bahwa kebijakan kelaparan yang diterapkan Israel tidak berhenti, tetapi justru mengambil bentuk baru.

Dengan membandingkan peta “garis kuning”, yaitu garis penarikan pasukan Israel tahap pertama sebagaimana diatur dalam perjanjian gencatan senjata.

Selain itu juga peta jenis tanah yang diterbitkan oleh lembaga riset ilmiah SCIRP, serta kajian CIHEAM mengenai tingkat kesuburan tanah, investigasi tersebut menemukan bahwa Israel menguasai lebih dari 53 persen wilayah Gaza.

Sebagian besar area itu adalah lahan paling subur dan paling produktif secara pertanian, sehingga warga Gaza terhalang untuk mengakses sumber pangan utama mereka.

Meskipun peta jenis tanah tersebut telah berusia cukup lama dan mungkin mengalami perubahan karena berbagai faktor, klasifikasi kesuburan relatif tidak berubah.

Komoditas vital berada di bawah kontrol Israel

Tanah berpasir yang menjadi ciri kawasan timur Gaza—yang dikenal sebagai lahan cocok bagi tanaman hortikultura seperti sayuran dan jeruk—serta tanah liat yang subur di timur laut Gaza yang digunakan untuk menanam gandum dan jelai, kini termasuk zona yang tidak dapat diakses warga Palestina.

Data dari Kantor Berita Palestina (WAFA) menunjukkan bahwa komoditas hortikultura menempati sekitar 53 persen dari total lahan pertanian Gaza.

Dari proporsi tersebut, 34 persennya terkonsentrasi di Gaza Utara dan 30 persen di Khan Younis—dua kawasan di mana Israel menguasai lebih dari separuh lahan pertanian.

Sebelum perang, tanaman pangan primer tersebar di Gaza Utara dengan luas sekitar 2,6 km², di Khan Younis 5,4 km², serta di Rafah 1,2 km², selain 3,4 km² di Gaza City dan Deir al-Balah.

Namun sebagian besar area itu telah hancur akibat serangan Israel atau kini berada di bawah kontrol militernya, menurut WAFA.

Analisis terhadap distribusi tanaman bermodal tanah subur itu—dipadukan dengan peta kendali Israel—menunjukkan bahwa sebagian besar lahan produktif, khususnya untuk sayuran dan serealia, kini masuk ke dalam zona kendali militer.

Dengan demikian, Israel tidak hanya menguasai lahan subur, tetapi juga memegang kendali langsung atas sumber-sumber pangan pokok Gaza.

Potret angka sektor pertanian Gaza

Total lahan pertanian Gaza mencapai sekitar 150 km², atau 41,2 persen dari seluruh wilayahnya.

Menurut Badan Pusat Statistik Palestina, sektor pertanian merupakan pilar penting perekonomian lokal, dengan kontribusi sekitar 11 persen terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2022.

Lembaga itu juga mencatat bahwa 44 persen konsumsi pangan keluarga di Gaza tahun 2022 bergantung pada produksi lokal.

Adapun 56 persennya bergantung pada impor pertanian, yang saat perang ini berlangsung sangat dibatasi Israel.

Kebijakan pembatasan itu memperparah krisis pangan dan membuat ribuan keluarga kehilangan akses terhadap bahan pangan dasar.

Kerusakan terstruktur yang menyasar jantung pertanian

Data UNOSAT yang diperbarui pada Juli 2025 memperlihatkan kehancuran luas terhadap lahan pertanian Gaza selama 21 bulan perang.

Sekitar 86,1 persen lahan pertanian terdampak secara langsung, menyisakan hanya 6,6 km² area yang masih bisa ditanami di kawasan yang dikuasai warga Palestina—itu pun berada di tanah dengan tingkat kesuburan rendah.

Dalam peta UNOSAT tersebut, total lahan pertanian yang hancur sejak Oktober 2023 mencapai sekitar 129,6 km².

Hilangnya hamparan hijau

Tim “Synd” turut menganalisis indeks vegetasi NDVI menggunakan citra satelit September 2023 dan September 2025.

Hasilnya menunjukkan penurunan drastis luas lahan hijau produktif. Pada September 2023, peta NDVI memperlihatkan hamparan hijau luas di utara, timur, dan selatan Gaza.

Dua tahun kemudian, citra 2025 menunjukkan kerusakan menyeluruh di Gaza Utara, Gaza City, Rafah, Khan Younis, serta wilayah timur Deir al-Balah.

Penurunan tersebut sejalan dengan data UNOSAT yang menyebut 86 persen lahan pertanian telah musnah.

Dengan kata lain, degradasi vegetasi itu bukan peristiwa alamiah, tetapi akibat serangan sistematis terhadap infrastruktur pertanian oleh militer Israel.

Hancurnya pertanian terlindung dan jurang keamanan pangan yang makin dalam

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sebelum perang Gaza memiliki sekitar 8.872 rumah kaca pertanian.

Dalam pemetaan yang dianalisis tim “Synd”, sekitar 5.126 rumah kaca—lebih dari 57 persen totalnya—berada di kawasan larangan akses yang dikontrol Israel.

UNOSAT pada Oktober 2025 juga mencatat bahwa 79,6 persen rumah kaca di Gaza telah hancur.

Tingkat kerusakan mencapai 100 persen di Gaza City dan Gaza Utara, 70,3 persen di Khan Younis, 62,3 persen di Deir al-Balah, dan 93,7 persen di Rafah.

Data ini menunjukkan kerugian ganda: warga kehilangan akses ke kawasan pertanian produktif, sementara struktur pertanian terlindung pun dihancurkan.

Bertani tanpa tanah

Analisis “Synd” berdasarkan garis kuning—zona di mana warga Palestina diperbolehkan tinggal—menunjukkan bahwa hanya 38 persen lahan pertanian yang masih berada di wilayah yang dapat diakses penduduk Gaza, atau sekitar 57 km².

Namun dari area yang tersisa itu, 50,8 km² telah hancur akibat perang antara Oktober 2023 hingga Juli 2025.

Artinya, 88 persen lahan pertanian di zona yang dapat diakses pun sudah musnah.

Dengan demikian, hanya 6,6 km² lahan yang masih mungkin ditanami—sekitar 5 persen dari total lahan pertanian Gaza—yang tentu tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hampir dua juta warga yang terperangkap di wilayah itu.

Perang kelaparan dalam wujud baru

Kerugian yang dialami warga Gaza tidak semata menyangkut luasan lahan, tetapi juga karakter tanah.

Sebab area yang tersisa berada di wilayah yang jauh lebih rendah tingkat kesuburannya.

Produksi pangan di wilayah tersebut nyaris mustahil mencukupi kebutuhan dasar penduduk, bahkan jika dilakukan upaya rehabilitasi sekalipun.

Data dan temuan ini memperlihatkan bahwa perang kelaparan yang digunakan Israel sebagai instrumen tekanan terhadap warga Gaza tidak berhenti dengan gencatan senjata.

Bentuknya justru berubah—dengan Israel tetap menguasai lahan pertanian paling subur dan secara sistematis menghancurkan infrastruktur pangan yang tersisa.

Situasi tersebut membuat warga Gaza semakin bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan di tengah runtuhnya hampir seluruh sistem pertanian lokal.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler