Kalangan politik dan media di Israel dalam beberapa hari terakhir ramai membahas rincian sebuah rencana baru terkait penyaluran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Rencana yang diungkap harian Maariv ini mencakup pendirian pusat-pusat distribusi di bagian selatan Gaza, dengan melibatkan sejumlah perusahaan swasta asing untuk menyalurkan bantuan kepada warga sipil.
Bantuan diperkirakan akan mulai masuk secara bertahap, seiring dengan fase lanjutan operasi militer Israel.
Dalam fase ini, warga sipil akan dievakuasi dari wilayah-wilayah terdampak menuju sebuah zona kemanusiaan terbatas yang direncanakan berada di antara koridor Salahuddin (“Philadelphia”) dan Morag, di selatan Jalur Gaza.
Menurut rencana tersebut, militer Israel akan berperan dalam pengamanan kawasan, namun tidak akan terlibat langsung dalam distribusi bantuan.
Pemerintah Israel berencana mengontrak perusahaan-perusahaan asing tersebut melalui negara ketiga, guna menghindari kendala hukum.
Pejabat tinggi Israel yang dikutip Maariv menegaskan bahwa pendirian dan pengoperasian mekanisme bantuan ini tidak terkait langsung dengan jadwal operasi militer di Gaza.
Bantuan bisa saja mulai mengalir sebelum atau bersamaan dengan pemindahan penduduk ke zona kemanusiaan yang direncanakan.
Israel memperkirakan bahwa pengoperasian pusat distribusi ini dapat mendorong penduduk Gaza berpindah ke selatan secara sukarela, bahkan sebelum proses evakuasi massal dimulai.
Ancaman Smotrich
Meski ada kesepakatan prinsip mengenai pentingnya memasukkan bantuan, perbedaan pandangan politik dalam pemerintah Israel masih tajam mengenai rincian pelaksanaan rencana ini.
Ketegangan semakin meningkat setelah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengancam akan mengundurkan diri bila rencana tersebut disahkan tanpa perubahan.
Smotrich, yang selama ini menentang berbagai kebijakan pemerintah terkait Gaza dan jalannya perang. Ia menyerukan pendudukan penuh atas Gaza serta pengusiran penduduk Palestina.
Ia secara tegas menolak gagasan “zona kemanusiaan” di Gaza dan mengancam akan mengambil langkah-langkah eskalasi politik bila rencana itu tetap dilaksanakan.
Ketegangan ini terjadi dalam momentum yang sensitif di arena internasional. Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, diketahui telah menghubungi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, meminta agar Israel meningkatkan volume bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Seorang sumber politik di Tel Aviv mengatakan kepada Maariv bahwa bantuan akan disalurkan hanya sesuai ketentuan yang ditetapkan Israel.
Ia menambahkan bahwa tidak ada tekanan nyata dari Washington untuk melakukan perubahan drastis dalam kebijakan bantuan tersebut.
Namun demikian, muncul pertanyaan apakah tekanan internasional, khususnya dari AS, pada akhirnya akan mempengaruhi sikap pemerintah Israel terkait penanganan krisis kemanusiaan di Gaza.
Tantangan berlapis
Rencana yang mencakup evakuasi penduduk sipil ke area terbatas dan penyaluran bantuan kemanusiaan ini dihadapkan pada beragam tantangan. Termasuk perpecahan internal dalam pemerintahan serta ancaman pengunduran diri para menteri.
Jurnalis politik Maariv, Anna Barsky, menilai bahwa perbedaan pandangan ini menambah kerumitan dalam implementasi rencana. Â Barsky juga mencatat bahwa komunitas internasional, khususnya AS.
Amerika terus menekan Israel untuk memperbesar skala bantuan kemanusiaan ke Gaza, di tengah kekhawatiran atas memburuknya kondisi warga sipil.
Menurut Barsky, pemerintah Israel telah menerima seruan dari Trump untuk memperbanyak suplai makanan dan obat-obatan ke Gaza.
Meski demikian, pejabat Israel menyambut pernyataan tersebut dengan ucapan terima kasih yang hati-hati, menegaskan bahwa dukungan yang diberikan kepada Israel juga ada batasnya.
Di bawah tekanan internasional yang semakin kuat, terutama dari Washington dan para pemimpin Barat, perdebatan di Israel kini lebih difokuskan pada mekanisme pelaksanaan distribusi bantuan.
Barsky menekankan bahwa pemerintah berupaya memastikan bantuan hanya sampai kepada penerima yang berhak, tanpa jatuh ke tangan Hamas.
Dalam suasana dipenuhi gambar-gambar memilukan dari Gaza dan peringatan organisasi internasional mengenai memburuknya krisis, terdapat konsensus luas di Israel mengenai perlunya mempercepat pengiriman bantuan kemanusiaan. Namun, rincian teknis pelaksanaannya masih menjadi sumber perdebatan.
Keterjebakan Israel
Di tengah ketegangan internal terkait bantuan, analis militer Amir Bar-Shalom dari Zman Yisrael menulis artikel bertajuk “Tanpa Kemenangan Militer, Tanpa Pembebasan Sandera, dan di Bawah Tekanan Amerika, Israel Terjebak di Gaza.”
Dalam tulisannya, Bar-Shalom menyoroti upaya Israel untuk menyeimbangkan antara memperkeras tekanan militer di Gaza tanpa memobilisasi pasukan cadangan, dan menjaga peluang untuk negosiasi.
Bar-Shalom memperkirakan bahwa Israel masih memiliki kapasitas untuk memperluas operasi militernya tanpa perlu pengerahan besar-besaran.
Namun, ia menekankan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah masalah bantuan kemanusiaan.
Ia memperingatkan bahwa bantuan harus mulai masuk dalam waktu dua minggu untuk menghindari kehabisan stok pangan di Gaza.
Keraguan Netanyahu
Bar-Shalom juga mengungkapkan bahwa tantangan di lapangan terus meningkat, seiring memburuknya hubungan antara Israel dan penduduk lokal di Gaza.
Ia menyatakan bahwa Israel telah menerima isyarat dari Gedung Putih mengenai pentingnya percepatan bantuan.
Menurut analis tersebut, tekanan dari Washington berkaitan erat dengan persiapan kunjungan Presiden Trump ke Arab Saudi pada bulan Mei mendatang, di mana eskalasi di Gaza bisa menggagalkan upaya normalisasi hubungan diplomatik dengan Riyadh.
Bar-Shalom menyimpulkan bahwa tekanan Amerika ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat Perdana Menteri Netanyahu ragu untuk melancarkan operasi militer besar-besaran.
Hal ini di tengah ketegangan politik domestik dan tekanan internasional yang kian meningkat.