Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, menyarankan agar PT Danantara sebagai entitas investasi strategis milik negara lebih memilih bekerja sama dengan China Asset Management Co., Ltd. (ChinaAMC) daripada perusahaan asal Amerika Serikat, BlackRock.
ChinaAMC merupakan salah satu perusahaan pengelola aset terbesar di Asia, dengan aset kelolaan mencapai lebih dari US$260 miliar dan basis investor yang mencakup lebih dari 210 juta investor ritel serta 220 ribu institusi.
Amin mengungkapkan, jika Danantara ingin membangkitkan kembali industri nasional dan menjadi pemain utama rantai pasok global, maka kerjasama dengan China jauh lebih strategis untuk kepentingan ke depan.
Menurut Amin, kerja sama strategis dalam pengelolaan aset nasional tidak seharusnya semata-mata didasarkan pada reputasi global atau kekuatan kapital semata.
Ia menekankan pentingnya memilih mitra yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan, kedaulatan ekonomi nasional, dan prinsip investasi bertanggung jawab.
“Saya menilai ChinaAMC jauh lebih cocok menjadi mitra strategis Danantara karena memiliki komitmen yang lebih jelas terhadap keberlanjutan dan investasi yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” ujar Amin di Jakarta, Jumat (23/5).
Dengan rekam jejak sebagai perusahaan manajemen aset Tiongkok pertama yang menandatangani UN Principles for Responsible Investment (PRI), itu menunjukkan keseriusan mereka dalam menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam setiap kebijakan investasinya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu menilai pendekatan tersebut sejalan dengan kebutuhan Indonesia saat ini yang tengah mendorong transisi energi, pembangunan hijau, serta penguatan ekonomi berbasis kerakyatan.
Selain itu, imbuhnya, kerja sama dengan perusahaan berbasis Asia seperti ChinaAMC dinilai lebih adaptif terhadap dinamika kawasan dan tidak membawa beban geopolitik seperti beberapa institusi keuangan asal Barat.
Amin juga memperingatkan pemerintah agar tidak terjebak dalam euforia kerja sama dengan lembaga keuangan global hanya karena reputasi internasional yang dimiliki.
“BlackRock mungkin terkenal secara global, tapi mereka juga terlibat dalam banyak kebijakan investasi yang sering kali tidak berpihak pada negara berkembang. Bahkan, mereka pernah dikritik karena investasi besar-besaran pada industri ekstraktif dan energi fosil,” ungkapnya.
Ia menyebut, keputusan strategis seperti ini harus dilihat tidak hanya dari sisi keuntungan finansial jangka pendek, tetapi juga implikasi jangka panjang terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
Menutup pernyataannya, Amin Ak meminta pemerintah untuk membuka ruang dialog publik dan melibatkan DPR RI dalam setiap proses seleksi mitra strategis, termasuk dalam pembentukan dan pengelolaan Danantara.
“Rakyat berhak tahu siapa mitra yang akan mengelola aset negara. Harus ada transparansi, dan yang paling penting: mitra tersebut harus membawa manfaat jangka panjang bagi bangsa, bukan sekadar keuntungan sesaat,” tegasnya.