Di kota yang tertidur oleh raungan pesawat dan terbangun oleh dentuman bom, tak ada lagi yang utuh.
Masa kanak-kanak hilang sebelum sempat mekar, kebahagiaan menjadi barang langka, bahkan sesuap makanan kini menjadi bagian dari perjuangan hidup.
Di setiap sudut wilayah yang terkepung ini, tumbuh kisah-kisah nestapa. Cerita-cerita itu tertulis dengan air mata para ibu dan darah warga sipil yang tak bersalah.
Agresi militer Israel terus melaju, dan setiap hari menorehkan bab baru dalam buku luka rakyat Gaza.
Salah satu bab termutakhir terjadi di sebuah restoran sederhana di barat Kota Gaza. Bukan sekadar statistik korban, tragedi ini memperlihatkan wajah manusia dari perang yang tak kenal belas kasihan.
Berikut adalah fragmen-fragmen pilu dari serangan di Restoran Thai, yang akan tetap hidup dalam ingatan, sebagai saksi luka yang belum sembuh.
Pelukan pertama yang menjadi perpisahan terakhir
Yahya Subaih, seorang jurnalis Palestina, baru saja menyambut kelahiran anak perempuannya.
Diunggahnya sebuah foto yang memperlihatkan ia mendekap bayi mungil itu di pelukannya—sebuah momen bahagia yang tak bertahan lama.
Hanya berselang beberapa jam, Yahya gugur dalam serangan udara Israel yang menghantam Restoran Thai di Gaza.
Foto itu menjadi saksi bisu: sang bayi, yang mungkin belum sempat diberi nama resmi, kehilangan ayahnya di hari pertama kehidupannya.
“Ulang tahun pertamanya adalah hari ia menjadi yatim. Foto pertamanya bersama ayahnya adalah juga yang terakhir,” tulis salah seorang warganet Palestina.
Yang terjadi dalam setengah hari itu adalah rangkuman kehidupan: kelahiran, kehilangan, kenangan, pertemuan, dan perpisahan. Semua dalam waktu yang begitu singkat.
Pizza terakhir dan impian yang tak sempat terwujud
Seorang karyawan restoran mengenang dua gadis muda yang datang memesan pizza. Ia masih ingat percakapan mereka:
“Ah, mahal banget,” kata salah satu.
“Ya udah, kita makan pizza dulu sebelum mati, siapa tahu gak sempat lagi,” jawab temannya.
Ia kemudian mengetahui salah satu dari mereka meninggal dalam serangan tersebut. Nasib temannya masih belum jelas.
“Ini bukan adegan film. Ini Gaza. Di sini, mimpi hanyalah sepotong pizza, dan takdir datang dalam bentuk rudal,” tulis seorang pengguna media sosial.
Penjual kopi kecil yang tak kembali
Seorang bocah lelaki, mungkin belum genap sepuluh tahun, setiap hari menyusuri jalan-jalan Gaza membawa ceret kopi dan cangkir-cangkir plastik.
Bukan untuk bermain, melainkan membantu keluarganya bertahan di tengah blokade dan krisis pangan yang mendera Gaza.
Ia kerap terlihat di sekitar Restoran Thai—hingga suatu hari, rudal menghantam. Darahnya bercampur dengan kopi yang masih panas.
Pelanggan-pelanggannya—para pejalan kaki—berubah menjadi korban, antara yang gugur dan terluka.
Sebuah video memilukan memperlihatkan seorang gadis memeluk tubuh bocah itu, cangkir kopi masih tergenggam di tangannya. Darah mengalir dari kepalanya. Sebuah fragmen kecil dari kekejaman yang lebih besar.
Noah dan ulang tahun yang terakhir
Noah Daoud Al-Saqa, bocah lelaki dari Gaza, baru saja merayakan ulang tahunnya.
“Ini hari terbaik dalam hidupku!” katanya dengan tertawa lebar.
Keluarganya mengabadikan momen itu dalam video yang kemudian menyebar luas di media sosial.
Tak sampai sehari kemudian, serangan ke Restoran Thai merenggut nyawanya. Kegembiraan yang langka itu berubah menjadi perpisahan selamanya. Gelak tawanya menghilang, tertimbun reruntuhan.
“Piring itu seharusnya milik saya”
Seorang perempuan yang biasa menyelesaikan pekerjaannya di Restoran Thai menulis kesaksian di media sosial.
“Saya duduk di aula, tiga meja dari titik ledakan. Saat itu suasana biasa. Lalu, tiba-tiba: teriakan, asap, bau mesiu yang saya kenal, serpihan kaca, orang-orang berlarian.”
Seorang lelaki di dekatnya menyentuh tubuhnya sendiri dan berseru panik.
“Kak, lihat, ada yang aneh gak di badan saya?” katanya.
Ia terhuyung karena syok. Ambulans berdatangan.
“Piring itu disiapkan untuk saya… sebelum semuanya berubah jadi jeritan. Di negeri kematian, tak ada tempat yang benar-benar tenang,” tutupnya.
Pernikahan yang tak pernah terjadi
Di tengah segala nestapa, beredar sebuah pesan singkat yang membuat hati tercekat. Keluarga calon pengantin di Gaza mengirimkan pesan kepada para tamu.
“Kami mohon maaf. Pernikahan dibatalkan karena calon pengantin pria telah gugur,” pesannya.
Pesan itu, menurut para warganet, benar-benar dikirimkan oleh keluarga yang tengah bersiap menggelar pesta. Tetapi maut lebih cepat datang.
Gaza, hidangan terakhir bisa jadi hidup yang terakhir
Tragedi di Restoran Thai hanyalah satu dari sekian banyak yang terjadi setiap harinya di Gaza. Di sana, hal-hal biasa—seperti memesan makanan, merayakan ulang tahun, bekerja di kedai, atau sekadar duduk diam—dapat berubah menjadi peristiwa terakhir dalam hidup.
Gaza terus menulis kisahnya sendiri, dalam darah dan air mata. Dunia mencatat, tetapi pertanyaannya tetap: sampai kapan luka ini akan dibiarkan menganga?