Saturday, April 19, 2025
HomeBeritaPotret anak korban genosida Gaza menangkan World Press Photo 2025

Potret anak korban genosida Gaza menangkan World Press Photo 2025

Jurnalis foto asal Palestina, Samar Abu Elouf, kembali menorehkan prestasi internasional. Fotografer lepas asal Gaza ini meraih penghargaan bergengsi World Press Photo of the Year 2025 atas karyanya yang mengabadikan Mahmoud Ajjour, bocah laki-laki berusia sembilan tahun yang kehilangan kedua lengannya akibat serangan udara Israel di Kota Gaza pada Maret 2024.

Foto tersebut diambil pada Juni 2024 di Doha, Qatar, tempat Abu Elouf dan keluarga Ajjour tinggal di kompleks apartemen yang sama. Ajjour adalah salah satu dari sedikit anak Palestina yang berhasil dibawa keluar Gaza untuk menjalani perawatan medis.

“Ini adalah foto yang sunyi, namun berbicara dengan lantang,” kata Direktur Eksekutif World Press Photo, Joumana El Zein Khoury.

“Foto ini bukan hanya menceritakan kisah satu anak laki-laki, tetapi juga menggambarkan sebuah perang yang dampaknya akan dirasakan lintas generasi.”

Abu Elouf, yang meninggalkan Gaza pada Desember 2023, kini mendokumentasikan perjalanan penyembuhan anak-anak korban perang yang dirawat di luar negeri.

Ia sebelumnya telah meraih sejumlah penghargaan bergengsi lainnya. Pada 2023, ia memenangkan Polk Award berkat koleksi foto yang salah satunya memperlihatkan anak-anak berlindung di sebuah sekolah di Gaza, memandang langit dengan rasa takut saat bom-bom dijatuhkan. Gambar itu menjadi salah satu simbol paling kuat dari perang Israel di Gaza.

Setahun kemudian, ia menerima Anja Niedringhaus Courage in Photojournalism Award dari International Women’s Media Foundation. Penghargaan ini diberikan atas 12 foto yang menyoroti dampak perang terhadap perempuan dan anak-anak di Gaza, yang diterbitkan oleh The New York Times.

Sebelum bekerja secara tetap untuk The New York Times, Abu Elouf juga sempat menyumbangkan foto-fotonya untuk mendukung laporan Middle East Eye pada 2019.

Karyanya meliputi berbagai peristiwa, mulai dari pembunuhan anak-anak Palestina oleh tentara Israel saat unjuk rasa damai, hingga kisah keluarga yang menanti pemulangan jenazah kerabat mereka yang masih ditahan oleh Israel.

“Tak ada yang peduli kami”

Namun, jalan Abu Elouf di dunia jurnalisme tidaklah mudah. Dalam wawancara pada 2016, ia mengungkap bahwa bekerja sebagai jurnalis di Gaza bukan hanya sulit dan berisiko tinggi, tetapi juga seringkali tidak mendapat pengakuan.

“Sayangnya, alih-alih menerima dukungan dan pengakuan atas pekerjaan kami, tak ada yang memperhatikan,” kata Abu Elouf kala itu kepada MEE.

“Karena itu saya ingin menyampaikan pesan kepada organisasi kebebasan pers, yang hanya mengusung slogan perlindungan jurnalis, tapi di lapangan tidak melakukan apa-apa.”

Pernyataan itu terasa relevan hingga hari ini. Menurut proyek Costs of War dari Brown University, lebih dari 220 jurnalis telah tewas di Gaza sejak Oktober 2023. Ini menjadikan konflik di Gaza sebagai perang paling mematikan bagi profesi jurnalis dalam seratus tahun terakhir.

Pada 2016, Abu Elouf sempat difoto mengenakan helm pers buatan sendiri dari panci dan rompi dari kantong plastik karena tidak mampu membeli perlengkapan pelindung yang layak.

“Kami para jurnalis lepas tidak memiliki perlindungan apa pun. Tidak ada yang menyediakan alat pengaman bagi kami, dan ketika kami terluka, kami justru menyalahkan diri sendiri,” ujarnya.

Sentimen ini, kata dia, masih sangat nyata hari ini, bahkan bagi jurnalis kawakan yang bekerja untuk media besar.

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Kandidat PhD bidang Hubungan Internasional Universitas Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular