Seorang profesor di Boston University, Nathan Phillips, menggelar aksi mogok makan sebagai bentuk protes atas pembungkaman kebebasan berpendapat serta perlakuan tidak adil terhadap seorang mahasiswi asal Turki yang ditahan otoritas imigrasi AS.
Aksi ini dimulai pada 15 April 2025, setelah pihak kampus berulang kali mencopot spanduk bertuliskan “Free Rumeysa” dari jendela kantor Phillips di lantai empat kampus pusat Boston University.
Sebelum kembali memasang spanduk tersebut, Phillips meninggalkan catatan di pintu kantornya: “Jika spanduk ini kembali dicopot, saya akan memulai mogok makan.”
Rumeysa Ozturk, yang menjadi pusat perhatian dalam protes ini, merupakan penerima beasiswa Fulbright dan kandidat PhD dalam bidang perkembangan anak dan manusia di Tufts University. Ia ditangkap oleh agen Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) yang mengenakan penutup wajah di luar kediamannya di Somerville, Massachusetts, pada 25 Maret lalu.
Setelah mendapati spanduknya kembali dicopot, Phillips langsung menjalankan niatnya untuk mogok makan. Ia tetap mengajar dan menjalankan tugas akademik sambil hanya mengonsumsi cairan, kopi tanpa gula, dan teh herbal.
Kritik atas pelanggaran konstitusi
Dalam wawancara dengan Anadolu Agency, Phillips menyatakan bahwa pencopotan spanduk itu merupakan pelanggaran terhadap Amandemen Pertama dan Kelima Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan berekspresi dan hak atas proses hukum yang adil.
“Saya tak pernah membayangkan tinggal di negara di mana seseorang bisa ‘dihilangkan’ hanya karena menulis di surat kabar kampus,” ujarnya.
Menurutnya, penangkapan Rumeysa Ozturk menyerupai penculikan dan mencerminkan pelanggaran hak asasi. Ia menambahkan bahwa tindakan ini bukan hanya melanggar hak Rumeysa, tetapi juga hak-hak sivitas akademika dan masyarakat luas.
Phillips menilai kebijakan kampus yang melarang spanduk berbau politik justru menutup ruang diskusi dan memperkuat iklim ketakutan di lingkungan pendidikan.
Isu antisemitisme dan kebebasan berpendapat
Dalam pernyataannya, Phillips juga menyoroti bagaimana tuduhan antisemitisme digunakan untuk membungkam kritik terhadap kebijakan Israel. Ia menegaskan bahwa mengkritik tindakan militer Israel di Gaza, khususnya di bawah pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, tidak bisa disamakan dengan kebencian terhadap Yahudi.
“Bahkan saat invasi AS ke Irak pada 2003, masyarakat masih bisa menyuarakan penolakan secara terbuka. Kini, mengkritik kekerasan terhadap warga Palestina dianggap tabu,” katanya.
Phillips juga mengungkapkan keprihatinannya atas perlakuan terhadap mahasiswa internasional, yang menurutnya mengalami pencabutan visa secara tiba-tiba tanpa penjelasan. Ia menyebut beberapa mahasiswa di kampusnya telah kehilangan izin tinggal, mencerminkan tren serupa di berbagai kampus di AS.
Di pintu kantornya, Phillips menempelkan foto Rumeysa Ozturk dan Mahmoud Khalil – lulusan Universitas Columbia yang juga menghadapi ancaman deportasi. Ia mengatakan akan melanjutkan mogok makan selama kesehatannya memungkinkan, hingga Rumeysa, Khalil, dan satu mahasiswa lainnya, Mohsen Mahdawi, dibebaskan.
Sebelumnya, Phillips pernah melakukan dua aksi mogok makan di Boston untuk isu lingkungan, masing-masing selama 14 dan 7 hari.
Putusan awal pengadilan AS
Pada Jumat (18/4/2025), Hakim Distrik AS William Sessions menyatakan bahwa Rumeysa Ozturk telah menunjukkan “bukti signifikan” bahwa penahanannya melanggar hak kebebasan berpendapat dan proses hukum yang dijamin konstitusi.
“Bukti yang diajukan mendukung argumen bahwa pemerintah menahan Ozturk sebagai bentuk hukuman atas opini yang ia tulis di surat kabar kampus, serta untuk menekan kebebasan berbicara pihak lain,” ujar Sessions.
Hakim memberi batas waktu hingga 1 Mei bagi pemerintah untuk memindahkan Ozturk ke negara bagian Vermont. Ia dijadwalkan menjalani sidang penetapan jaminan pada 9 Mei dan sidang petisi kasusnya pada 22 Mei mendatang.