Sunday, January 5, 2025
HomeBeritaProfil dokter Husam Abu Safiya, simbol keberanian dan pengorbanan Gaza

Profil dokter Husam Abu Safiya, simbol keberanian dan pengorbanan Gaza

Gambar viral yang menampilkan seorang dokter Palestina dengan jas medis putih, berjalan sendirian menuju takdir yang tidak diketahui di tengah deretan tank dan tentara, telah menjadi simbol heroisme. Dokter tersebut adalah Husam Abu Safiya.

Lahir pada 21 November 1973, Husam Abu Safiya, seperti kebanyakan warga Palestina yang dibesarkan di Gaza, adalah seorang pengungsi.

Orang tuanya diusir oleh Zionis dari rumah mereka selama pembersihan etnis Palestina (1947-1949). Keluarganya berasal dari desa Hamama, dekat kota Askalan.

Melansir Palestine Chronicle, Abu Safiya lahir di Kamp Pengungsi Jabalia, kamp pengungsi terbesar di Jalur Gaza berdasarkan jumlah penduduk.

Ia hidup melalui masa pendudukan internal Israel, pengepungan, dan serangan udara Israel yang tak terhitung jumlahnya.

Serangan yang paling menghancurkan terjadi pada perang 2008/9, 2012, dan 2014, sebelum Genosida yang sedang berlangsung dimulai pada Oktober 2023.

Husam Abu Safiya, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Elias, dibesarkan di Gaza, namun berhasil melanjutkan studi ke luar negeri.

Di luar negeri, ia bertemu dengan istrinya, Albina Abu Safiya, yang berasal dari Kazakhstan dan pindah untuk menetap bersama suaminya pada 1996.

Abu Safiya meraih gelar master dan sertifikat dewan Palestina dalam bidang pediatri dan neonatologi, serta saat ini menjabat sebagai direktur Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia, Gaza utara.

Meskipun telah bekerja tanpa kenal lelah selama 15 bulan terakhir menghadapi genosida di Gaza, yang membuat sektor kesehatan di wilayah tersebut hancur total, Abu Safiya benar-benar menjadi simbol kemanusiaan dalam tiga bulan terakhir.

Ketika Israel melancarkan serangan baru ke Gaza utara, menghancurkan dan membunuh warga sipil yang tersisa, Abu Safiya muncul sebagai suara hati nurani, sering memberikan pernyataan kuat kepada media yang mendesak komunitas internasional untuk segera turun tangan.

Pada 26 Oktober, pasukan penjajah Israel menggerebek Rumah Sakit Kamal Adwan dan menangkap Abu Safiya beserta staf medis dan pasien lainnya.

Sejak 5 Oktober, Israel telah beberapa kali mengancam direktur rumah sakit tersebut dan memerintahkannya untuk meninggalkan fasilitas itu, namun ia menolak meninggalkan pasien dan rekannya.

Setelah dibebaskan dari tahanan militer Israel, Abu Safiya dihadapkan pada salah satu tragedi terberat yang bisa dialami seseorang: anaknya, Elias, dibunuh oleh Israel.

Kemudian, pada 23 November, Abu Safiya terluka akibat ledakan dari sebuah pesawat quadcopter Israel yang menargetkannya saat ia bekerja di rumah sakit. Ledakan itu menyebabkan enam luka serpihan yang menembus paha dan merusak pembuluh darah.

Pada 27 Desember, pasukan Israel kembali menyerbu Rumah Sakit Kamal Adwan yang terisolasi dan menangkap Abu Safiya. Sebelum penangkapannya, sebuah foto menyebar menunjukkan dirinya berjalan di antara reruntuhan rumah sakit yang dibakar, dikelilingi tank.

Meski rincian kondisi terakhirnya masih belum diketahui, Israel awalnya mengumumkan akan memindahkannya ke Rumah Sakit Indonesia, namun justru membawanya ke pusat penyiksaan terkenal Sde Teiman.

Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, Munir Al-Barsh, menyatakan bahwa Abu Safiya dipukuli dan terluka parah oleh tentara Israel, yang memaksanya untuk melepas pakaian dan mengenakan pakaian tahanan, sebelum menggunakannya sebagai perisai manusia.

Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf al-Qudra, mengatakan dalam sebuah pernyataan, “Kami mengakhiri tahun ini dengan gambar seorang pria yang tidak gentar oleh negara nuklir, tidak takut pada tank baja, dipaksa menuju takdirnya tanpa alas kaki, dengan setiap butir tanah di bawahnya menerima sentuhannya.”

Al-Qudra menambahkan bahwa gambar viral Hussam Abu Safiya adalah “foto pengkhianatan dua miliar umat Muslim, foto penghinaan 450 juta orang Arab, foto seluruh planet yang berkonspirasi melawan sebuah tempat kecil bernama Gaza.”

Pizaro Idrus
Pizaro Idrus
Pengajar HI Universitas Al Azhar Indonesia, Mahasiswa PhD Hubungan Antarbangsa Universitas Sains Malaysia.
ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular