Sejumlah investor dari negara-negara Teluk dan diaspora Suriah menyatakan kesiapan mereka untuk menanamkan investasi besar di Suriah.
Namun, sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat menjadi penghalang utama yang membuat berbagai rencana pembangunan kembali pascaperang masih tertahan.
Seorang sumber yang dekat dengan pemerintahan Suriah menyebut, nilai investasi tahap pertama yang telah ditawarkan mencapai sekitar 68 miliar dollar AS.
Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk pembangunan pabrik besar di sektor-sektor vital, seperti semen dan baja.
Hal itu diharapkan mampu menciptakan puluhan ribu lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan dalam negeri, sekaligus membuka peluang ekspor.
“Para investor bahkan telah mengusulkan pembangunan ‘Kota Damaskus Modern’ di dekat Bandara Mezzeh, serta proyek pembangunan desa-desa percontohan dan rekonstruksi kawasan permukiman yang hancur, tanpa menunggu rencana pemerintah secara formal,” ujar sumber tersebut kepada Al Jazeera Net, seraya meminta namanya tidak disebut.
Namun, semua rencana itu tergantung pada satu hal: pencabutan sanksi ekonomi, khususnya dari Amerika Serikat (AS).
Sanksi itu, menurut sang sumber, telah menutup hampir seluruh pintu bagi arus modal dari luar, termasuk dari investor Suriah di perantauan.
Kelonggaran tak menjawab tantangan
Meski pemerintahan Presiden Joe Biden sempat mengeluarkan lisensi umum yang memberi kelonggaran untuk aktivitas ekonomi tertentu di Suriah, masa berlakunya yang hanya enam bulan dinilai tidak cukup untuk memberi kepastian bagi investor.
“Masih banyak kekhawatiran akan risiko hukum jika proyek yang mereka jalankan dianggap secara tidak langsung mendukung sektor-sektor yang dikenai sanksi, seperti lembaga militer atau keamanan,” kata Farouk Bilal, Ketua Dewan Suriah-Amerika, kepada Al Jazeera Net.
Bilal menambahkan, ketentuan kepatuhan ketat terhadap hukum AS menambah beban administratif dan biaya yang tinggi.
Ia mengingatkan bahwa larangan investasi di Suriah bagi warga Suriah-Amerika, yang diberlakukan sejak 2011 oleh Presiden Barack Obama, masih tetap berlaku, memperumit situasi bagi diaspora yang ingin berkontribusi pada rekonstruksi.
Ia juga menyampaikan bahwa dalam berbagai pertemuan dengan Kongres dan pejabat Gedung Putih.
Banyak pelaku usaha asal Suriah-Amerika menunjukkan ketertarikan berinvestasi untuk membangun kembali komunitas lokal, terutama di wilayah barat laut yang sebelumnya dikecualikan dari sanksi.
Namun, seiring perubahan kondisi lapangan dan konsolidasi wilayah di bawah otoritas pusat, sebagian investor memilih menangguhkan rencana mereka, menunggu jaminan tertulis dari Departemen Keuangan AS agar tidak terkena sanksi akibat investasi di masa lalu.
Minat yang tertahan
Wakil Presiden organisasi Global Justice di AS, Maysa Qabbani, mengungkapkan bahwa minat dari investor Suriah-Amerika sangat tinggi, terutama dalam sektor energi, teknologi, serta infrastruktur dasar.
“Sebagian besar investor ini adalah diaspora Suriah yang ingin kembali berkontribusi di tanah airnya. Mereka tertarik pada sektor teknologi, minyak, dan rekonstruksi gedung-gedung penting,” katanya.
Ia menyebut, berbagai delegasi kini sedang menjajaki kemungkinan proyek di tiga sektor utama tersebut.
Namun, semua rencana masih bersifat penjajakan awal dan bergantung pada kejelasan hukum serta perlindungan atas aset yang ditanamkan.
Dukungan dari dalam negeri
Di dalam negeri, sebagian investor lokal mulai mengambil langkah konkret meski menghadapi tantangan besar.
Salah satunya adalah Walid Ibo, pengusaha Suriah yang kembali ke Aleppo segera setelah pasukan pemerintah menguasai kota itu.
“Kami mendirikan perusahaan baru yang kini beroperasi di lima negara Afrika dan dua negara Arab. Suriah menjadi pusat produksi ketiga,” ujar Ibo.
Ia mengaku memulai dengan sumber daya terbatas dan berhasil mengirim beberapa kontainer produk ke luar negeri.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa sanksi internasional menjadi kendala utama, terutama dalam hal transfer keuangan, mobilitas antarnegara, serta pengadaan bahan baku seperti aluminium dan besi dari Eropa.
“Banyak rekan pengusaha saya yang ingin berinvestasi di sini. Mereka siap mengalirkan dana dalam jumlah besar jika ada kepastian hukum,” katanya.
Menurut Ibo, pencabutan sanksi adalah kebutuhan mendesak bagi pemulihan ekonomi Suriah. Tanpa itu, segala inisiatif dan rencana hanya akan berhenti di atas kertas.
Menanti kepastian
Di tengah ketidakpastian hukum dan tekanan sanksi yang masih berlangsung, komunitas bisnis Suriah—baik di dalam maupun luar negeri—terus menunggu langkah-langkah konkret yang dapat membuka jalan bagi investasi dan pembangunan kembali negeri mereka.
Sementara itu, harapan warga Suriah untuk kembali hidup dalam kondisi yang layak masih bergantung pada keberhasilan komunitas internasional dalam membuka jalur kerja sama ekonomi, bukan hanya wacana diplomatik.