Di saat kurikulum pendidikan Israel untuk siswa Yahudi kian menajam dalam menanamkan identitas etnis, keagungan sejarah militer, dan supremasi ideologi, kebijakan berbeda justru diterapkan terhadap siswa Palestina.
Dengan dukungan dana besar serta keahlian orientalis, pedagogis, dan psikologis, Israel merancang kurikulum yang bertujuan menghasilkan sosok Arab baru.
Yaitu, generasi yang tercerabut dari identitasnya, mampu menunjukkan toleransi bahkan kepada penindasnya, menjauhi konsep kekuatan, dan tidak mengenali sejarah bangsanya yang pernah memimpin peradaban selama berabad-abad.
Lebih mengkhawatirkan lagi, generasi itu diarahkan untuk membaca teks agamanya sebagai ajakan menyanjung penjajah dan tunduk kepada kekuasaan mereka.
Apa yang terjadi di Yerusalem hari ini bukan sekadar kebijakan lokal. Ia merupakan model padat dari proyek yang hendak diterapkan Israel di seluruh wilayah Palestina, bahkan dipasarkan ke dunia Arab.
Lembaga-lembaga Zionis yang mendorong proyek aserelisasi pendidikan di Yerusalem adalah lembaga yang sama yang sejak lama berupaya mempengaruhi dan mengubah kurikulum sekolah di sejumlah negara Arab—dan sebagian upaya itu sudah membuahkan hasil.
Yerusalem sebagai laboratorium: Distorsi kurikulum sebagai instrumen kendali
Untuk memahami skala persoalan ini, 2 tahun lalu sebuah komite wali murid di salah satu sekolah Yerusalem melakukan kajian perbandingan.
Kajian itu antara kurikulum Palestina yang asli dengan versi kurikulum yang telah diubah dan diwajibkan oleh otoritas Israel.
Kajian itu bukan penelitian akademis semata, melainkan bentuk perlawanan orang tua yang mempertahankan identitas anak-anak mereka.
Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi Israel tidak menyentuh pelajaran sains seperti matematika dan fisika, dan tidak pula berkaitan dengan peningkatan kompetensi teknologi siswa.
Fokus utama perubahan justru menyasar mata pelajaran yang membentuk identitas, karakter, dan kesadaran: Pendidikan Agama Islam, Bahasa Arab, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Perubahan itu jumlahnya puluhan, mencakup seluruh jenjang pendidikan, dan bertambah mendalam dari tahun ke tahun.
Israel mengklaim tujuannya adalah “menghapus hasutan dan melawan ekstremisme”.
Namun klaim itu terbantahkan oleh kenyataan bahwa kurikulum Palestina sudah berada di bawah pengawasan ketat negara-negara donor Eropa.
Dengan demikian tujuan sesungguhnya bukan menghapus hasutan, melainkan menghapus identitas.
Dua strategi besar: Menghapus dan menanam
Proses aserelisasi berjalan melalui 2 langkah terencana: penghapusan isi dan penanaman konsep baru.
- Penghapusan: Membuat Kekosongan Sejarah
Israel menghapus seluruh unsur yang menghubungkan siswa Palestina dengan sejarah peradaban, identitas kebangsaan, dan warisan keislaman mereka.
Kajian tersebut mencatat beberapa penghapusan penting:
- Sejarah Palestina: Banyak materi tentang sejarah rakyat Palestina, peristiwa Nakba, serta narasi keberadaan peradaban kuno di wilayah itu dihapus. Bahkan, pada buku IPS kelas V, dihapus teks mengenai peradaban manusia di Palestina sejak 10 ribu tahun lalu—seolah menegaskan narasi Zionis bahwa sejarah Palestina bermula dari kedatangan Bani Israel.
- Sejarah Islam: Pelajaran mengenai ekspedisi Nabi Muhammad SAW, pertempuran umat Islam, serta figur-figur kepahlawanan dihilangkan.
- Tokoh Pahlawan Arab dan Islam: Nama-nama seperti Khalid bin Walid, Thariq bin Ziyad, Umar Mukhtar, dan Ummu ‘Ammarah dihapus seluruhnya.
- Kesadaran Politik: Materi tentang kolonialisme dan sejarah kebijakan imperial di dunia Arab turut dihilangkan.
- Penanaman: Rekayasa Kesadaran yang Dijinakkan
Dalam ruang kosong yang ditinggalkan penghapusan itu, Israel menyisipkan konsep-konsep yang dirancang untuk membentuk kesadaran baru yang lebih mudah diatur.
- Toleransi yang Dimanipulasi: Di buku Pendidikan Islam kelas VI, satu pelajaran tentang kepahlawanan umat Islam diganti dengan bait puisi Imam Syafii tentang memaafkan. Pesannya dialihkan menjadi seruan untuk menyerah dan menanggalkan hak.
- “Persaudaraan” yang Menyesatkan: Buku Bahasa Arab kelas VII menyisipkan gambar seorang Arab memeluk pria berpenampilan seperti pemukim Yahudi, diikuti hadis Nabi tentang memberitahu saudara jika kita mencintainya karena Allah. Teks agama digunakan untuk melegitimasi relasi dengan penjajah.
- Pemalsuan Geografi dan Sejarah: Buku Pendidikan Kewarganegaraan kelas III mendefinisikan Masjid al-Aqsa hanya sebagai bangunan masjid Qibli, bukan keseluruhan kompleks seluas 144 dunam. Perubahan kecil namun signifikan ini membuka jalan bagi rencana pembagian area masjid.
- Distorsi Teks Keagamaan: Dalam buku Pendidikan Islam kelas V, ayat-ayat akhir surat as-Sajdah ditafsirkan secara menyimpang untuk mengagungkan kedudukan Yahudi dalam sejarah—sebuah manipulasi serius atas makna Al-Qur’an.
Kurikulum terselubung: Pembentuk identitas yang tak terlihat
Dalam teori pendidikan, kurikulum tidak hanya berfungsi menyampaikan pengetahuan (kurikulum tampak).
Tetapi juga menanamkan nilai, identitas, dan cara pandang (kurikulum tersembunyi), sebagaimana diuraikan peneliti Philip Jackson.
Kontras terlihat jelas: Israel menggunakan kurikulum untuk memperkuat identitas etnis-agama yang eksklusif pada siswa Yahudi.
Sementara versi kurikulum untuk siswa Palestina diarahkan untuk mengikis kepercayaan diri, memupus identitas, dan menjauhkan mereka dari sejarahnya.
Hal ini tampak pada kurikulum Bagrut—sistem pendidikan alternatif yang diterapkan pada warga Palestina di Israel sejak 1948, dan kini mulai masuk ke sekolah-sekolah Yerusalem.
Salah satu teks dalam buku pelajaran tingkat dasar mengajarkan anak Palestina bahwa desa mereka menjadi lebih baik berkat Negara Israel: listrik datang, infrastruktur dibangun.
Di akhir pelajaran, anak-anak diminta menyanyikan lagu “Hari Kemerdekaan” Israel—momen yang bagi mereka adalah NAKBA, tragedi terusir dari tanah air sendiri.
Dari proyek lokal ke agenda regional
Bahaya terbesar dari proses ini adalah sifatnya yang tidak berhenti di Yerusalem. Lembaga Zionis yang memonitor dan menekan pendidikan Palestina, seperti IMPACT-se, kini aktif menekan kurikulum di dunia Arab.
Tekniknya menggunakan tekanan politik dan ekonomi, bekerja sama dengan Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Pada 2021, Parlemen Eropa mensyaratkan perubahan kurikulum Palestina untuk pencairan bantuan bernilai jutaan euro.
Pemerintah AS menjadikan persoalan kurikulum sebagai salah satu alasan menjatuhkan sanksi kepada pejabat Otoritas Palestina.
Bahkan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu secara terbuka menyatakan bahwa salah satu tujuan perang di Gaza adalah membentuk ulang kesadaran masyarakat Gaza melalui kurikulum baru yang akan dikontrol Israel.
Di sejumlah negara Arab, tekanan dilakukan atas nama “melawan ekstremisme”. Ancaman penghentian bantuan menjadi alat tekan utama.
Beberapa negara pun telah mengubah kurikulumnya sesuai permintaan Barat dan Israel.
Pertarungan kesadaran dan jalan perlawanan
Pada akhirnya, tujuan besar aserelisasi pendidikan adalah mematahkan mental bangsa Palestina dan Arab: membuat mereka kehilangan harga diri, terasing dari sejarahnya, dan melihat penjajah sebagai sosok yang patut dihormati.
Proyek ini hendak menciptakan “Muslim baru” yang jinak dan “Arab yang patuh.”
Namun pengalaman warga Yerusalem menunjukkan bahwa peperangan ini bukan tanpa peluang perlawanan.
Kajian wali murid terhadap kurikulum, dokumentasi perubahan, serta penyebaran informasi di antara masyarakat lokal menjadi bukti bahwa kesadaran atas bahaya inilah yang menjadi tameng pertama.
Upaya ini memperlihatkan bahwa membongkar narasi penjajah dan mengungkap agenda tersembunyinya merupakan bentuk pertahanan paling efektif.
Model perlawanan kultural yang lahir di Yerusalem memberi pelajaran bahwa identitas yang terakar kuat dan sejarah panjang dapat melahirkan mekanisme pertahanan alami terhadap usaha pengaburan memori kolektif.
Di tengah tekanan besar yang mencoba mengubah wajah kurikulum dan kesadaran generasi mendatang, pengalaman ini menunjukkan bahwa kekuatan masyarakat yang sadar dan terorganisasi tetap menjadi garis pertahanan paling kokoh.


