Sunday, June 1, 2025
HomeBaitul MaqdisQastal: Desa Palestina yang dihancurkan demi buka jalan ke Yerusalem

Qastal: Desa Palestina yang dihancurkan demi buka jalan ke Yerusalem

Qastal adalah sebuah desa Palestina yang kini tinggal kenangan, setelah dihancurkan oleh kelompok bersenjata Zionis.

Mereka membuka itu demi membuka jalan strategis menuju Yerusalem dalam Perang 1948.

Terletak di barat kota suci tersebut, Qastal bukan sekadar titik geografis, melainkan simbol penting dalam sejarah Nakba—bencana pengusiran besar-besaran rakyat Palestina.

Peran Qastal dalam konflik bukan hal sepele. Desa ini memblokir jalur pasokan utama Israel ke Yerusalem, menjadikannya benteng alami sekaligus titik pertahanan yang vital dari arah barat.

Tak heran jika desa ini menjadi sasaran awal dalam rencana militer Israel yang ambisius.

Setelah serangkaian pertempuran sengit, desa itu dihancurkan hampir sepenuhnya—hanya menyisakan satu rumah di puncak bukit.

Kini, kawasan tersebut telah dijadikan cagar alam yang disebut sebagai “situs nasional Yahudi” dengan nama Ibrani HaCastel.

Posisi strategis

Qastal berdiri kokoh di puncak bukit yang menjulang antara 725 hingga 790 meter di atas permukaan laut, mengawasi jalur utama yang menghubungkan Yerusalem dengan Yafa dari arah barat daya.

Lokasinya hanya sekitar 10 kilometer dari Yerusalem, menjadikannya titik pantau yang strategis dalam berbagai arah.

Desa ini memiliki luas total sekitar 1.446 dunam, namun area terbangunnya hanya mencakup lima dunam saja (sekitar 5.000 meter persegi).

Secara geografis, Qastal dikelilingi oleh desa-desa Palestina lain seperti Beit Surik di utara, Beit Iksa di timur laut, dan Ein Karem di selatan.

Penduduk

Pada tahun 1922, penduduk Qastal tercatat sebanyak 43 jiwa. Jumlah ini bertambah menjadi 59 orang pada 1931 dan sekitar 90 orang pada 1945.

Mereka tinggal di 14 rumah dan sebagian besar adalah Muslim. Masyarakat desa ini memiliki situs ziarah lokal, makam Sheikh Kurki, yang terletak di sisi barat desa.

Tapak sejarah

Qastal dibangun di lokasi yang sejak lama menyimpan nilai strategis dan sejarah. Nama “Qastal” berasal dari kata Latin Castellum, yang merujuk pada benteng Romawi yang dulu berdiri di lokasi tersebut sebagai bagian dari sistem pertahanan jalan-jalan Romawi menuju Yerusalem.

Pada masa kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah, Qastal menjadi stasiun militer yang dikelilingi lahan pertanian produktif.

Bangunan benteng kuno diperbaiki dan difungsikan ulang untuk kebutuhan pertahanan. Masa kekuasaan Salahuddin al-Ayyubi pun mencatat Qastal sebagai salah satu titik penting dalam menghadang pasukan salib.

Ketika Perang Salib berkecamuk, pasukan Kristen menyadari nilai strategis Qastal. Mereka memperkuat dan memperluas benteng tua di sana untuk menjaga jalur logistik mereka menuju Yerusalem. Namun setelah kemenangan Salahuddin, Qastal kembali ke tangan kekuasaan Islam.

Memasuki akhir abad ke-19, Qastal berkembang menjadi sebuah permukiman kecil di puncak bukit berbatu, dengan sejumlah mata air di sebelah timurnya.

Dalam catatan geografis Pemerintah Mandat Inggris, Qastal diklasifikasikan sebagai “lahan pertanian”.

Bangunan-bangunan baru mulai bermunculan di sisi timur lereng bukit, membentuk pola yang melingkari kaki bukit Qastal.

Jejak arsitektur

Salah satu ciri khas Qastal adalah aliran Wadi Qalunya—bagian hulu dari Wadi al-Sarar—yang mengalir sekitar dua kilometer di sebelah timurnya.

Di ujung barat desa terdapat makam suci Sheikh Kurki, yang menjadi tempat ziarah masyarakat sekitar.

Rumah-rumah penduduk dibangun dari batu, menyusun pola melingkar di sekitar bukit. Meski permukiman merambat di lereng timur Bukit Qastal, luas kawasan terbangunnya hingga tahun 1945 tidak lebih dari lima dunam.

Desa ini tidak memiliki infrastruktur atau layanan umum yang memadai, sehingga sangat bergantung pada Yerusalem.

Kini, reruntuhan rumah dan sisa-sisa teras batu tampak menutupi lereng-lereng selatan, utara, dan timur desa, hampir tersembunyi di balik semak belukar.

Di puncak bukit, reruntuhan benteng tua masih berdiri kokoh, dan sebuah bunker bawah tanah dibangun di sisi barat daya benteng tersebut.

Parit-parit pertahanan dari masa perang masih terlihat di sisi utara dan timur benteng. Di sekitar lokasi, tumbuh pohon kharoub (carob), tin, dan zaitun, khususnya di bagian utara dan barat.

Sementara di sisi selatan, tanaman kaktus (sabra)—yang kerap menjadi simbol desa-desa Palestina yang terhapus dari peta—masih bertahan tumbuh.

Ekonomi desa

Masyarakat Qastal menggantungkan banyak kebutuhan hidupnya pada kota Yerusalem. Namun mereka juga bertani di lahan-lahan sekitar, terutama menanam biji-bijian, sayuran, buah-buahan, dan pohon zaitun.

Lahan pertanian mereka terbentang dalam bentuk memanjang ke arah tenggara desa. Data tahun 1944–1945 mencatat, sekitar 42 dunam digunakan untuk tanaman biji-bijian, sementara 169 dunam dialiri air atau difungsikan sebagai kebun, termasuk 50 dunam yang ditanami zaitun.

Serangan, pendudukan, dan pengusiran

Qastal jatuh ke tangan pasukan Zionis sebelum secara resmi dimulainya Operasi Nachshon, yang merupakan bagian awal dari Rencana D—strategi sistematis yang disusun Haganah untuk mengusir warga Palestina demi membentuk negara Israel.

Tujuan utama Operasi Nachshon adalah merebut desa-desa Palestina yang terletak di sepanjang jalur Yafa–Yerusalem, dan “membersihkannya” dari penduduk Palestina, guna memastikan kelancaran pergerakan pasukan Zionis dari pesisir menuju Yerusalem.

Dalam waktu bersamaan, operasi ini juga bertujuan membelah wilayah tengah Palestina yang dicadangkan sebagai “negara Palestina” dalam Rencana Pembagian PBB 1947.

Ketika Qastal diserbu, komandan pasukan Palestina, Abdul Qadir al-Husseini, pergi ke Damaskus untuk meminta bantuan militer dari para pemimpin Arab.

Namun, ia justru diminta meninggalkan Yerusalem dan menyerahkan pertahanan kota kepada mereka. Ia kembali ke Palestina tanpa senjata ataupun bantuan logistik.

Pertempuran sengit meletus pada April 1948, dimulai dengan penyerangan ke desa Beit Mahsir dan berpuncak pada perebutan Qastal.

Serangan ini bagian dari upaya menguasai seluruh desa di sekitar jalur Bab al-Wad, yang menghubungkan pesisir dengan Yerusalem, dan sangat penting bagi keamanan konvoi militer Israel.

Pasukan Zionis akhirnya menguasai desa karena kehabisan amunisi di pihak pejuang Palestina.

Namun, pada 7 April, pasukan Arab yang dipimpin Abdul Qadir melancarkan serangan balik dan berhasil merebut kembali desa tersebut. Sayangnya, sang komandan gugur dalam pertempuran keesokan harinya, 8 April.

Saat para pejuang Palestina mengiringi jenazah Abdul Qadir dalam prosesi pemakaman, pasukan Zionis kembali melancarkan serangan dan merebut Qastal sekali lagi.

Mereka menyadari bahwa tanpa menguasai desa itu, mereka tak mungkin memenangkan pertempuran di Yerusalem.

Setelah menduduki desa, mereka mengepung Qastal dengan kendaraan militer, mencegah pasukan Arab datang menolong. Rumah-rumah warga diledakkan, untuk memastikan para pengungsi Palestina tak bisa kembali.

Setelah pendudukan

Pasca pendudukan dan berdirinya negara Israel, Qastal diubah menjadi kawasan wisata yang dikelola otoritas Israel. Sebagian reruntuhan benteng dijadikan bagian dari taman nasional.

Pada 1951, sebuah permukiman baru bernama Ma’oz Tzion dibangun di atas tanah desa. Permukiman ini kemudian digabungkan dengan Mevasseret Yerushalayim, yang didirikan pada 1956 di atas tanah milik desa Qalunya—desa tetangga Qastal—dan kini bersama-sama membentuk pinggiran kota Yerusalem bernama Mevasseret Tzion.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular