Raja Yordania Abdullah II dikabarkan telah memperingatkan Amerika Serikat agar tidak melakukan pembunuhan terhadap Presiden Suriah, Ahmed al-Sharaa. Peringatan ini disampaikan menjelang pertemuan antara Sharaa dan Presiden AS Donald Trump, menurut pernyataan seorang senator AS.
Peringatan tersebut mengemuka dalam sidang dengar pendapat Senat pada Kamis (15/5/2025), ketika Senator Demokrat Jeanne Shaheen mengungkap bahwa dirinya mendengar adanya pembahasan di kalangan tertentu dalam pemerintahan Trump mengenai kemungkinan pembunuhan terhadap Sharaa.
“Saya khawatir dengan rumor yang beredar di kalangan kebijakan luar negeri pemerintahan ini, bahwa salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah membunuh pemimpin baru Suriah, Ahmed al-Sharaa,” ujar Shaheen seperti dilansir Middle East Eye.
Shaheen menyebut Raja Abdullah memperingatkan bahwa tindakan seperti itu akan memicu perang saudara besar-besaran di Suriah dan berpotensi menggagalkan peluang rekonsiliasi yang ada saat ini.
Senator Shaheen diketahui bertemu Raja Abdullah di Washington, DC, pada Mei ini, menjelang keputusan Trump untuk mencabut seluruh sanksi terhadap Suriah dan bertemu langsung dengan Sharaa di Riyadh, Arab Saudi, Rabu (14/5/2025).
Pernyataan tersebut mengejutkan, terlebih karena keputusan Trump mencabut sanksi terhadap Suriah dinilai bertentangan dengan sikap sebagian besar pejabat dalam pemerintahannya sendiri, serta mengejutkan sekutu AS seperti Israel.
“Pemimpin muda yang kuat”
Dalam pertemuan di Riyadh, Trump memuji Sharaa sebagai sosok “muda, menarik, dan kuat.” Ia juga menyebut Sharaa memiliki “masa lalu yang keras dan kuat,” serta menggambarkannya sebagai “petarung sejati.”
Ketika ditanya mengenai kemungkinan pembunuhan terhadap Sharaa, Joel Rayburn—calon pejabat tinggi untuk urusan Timur Tengah yang diajukan Trump—mengatakan bahwa dirinya “tidak mengetahui adanya rencana seperti itu” dan menyatakan bahwa hal itu tidak sejalan dengan kebijakan Presiden.
Rayburn sendiri dikenal sebagai tokoh garis keras dalam isu Suriah saat menjabat sebagai utusan khusus selama masa jabatan pertama Trump. Namun, dalam sidang tersebut ia menyatakan mendukung keputusan Trump, yang disebutnya sebagai “langkah berani” untuk membuka peluang baru di kawasan.
Ketegangan di dalam pemerintahan
Sumber-sumber dari pemerintahan AS menyebut bahwa sejumlah pejabat di Dewan Keamanan Nasional (NSC) Trump tengah mencoba memperlambat proses pencabutan sanksi untuk mendapatkan konsesi lebih lanjut dari Sharaa. Hal ini mengindikasikan adanya perpecahan dalam internal pemerintahan mengenai kebijakan terhadap Suriah.
Senator Chris Murphy dari Partai Demokrat turut mengingatkan akan potensi adanya “pihak-pihak dalam pemerintahan yang mencoba melemahkan keputusan presiden.”
Presiden Trump sebelumnya mengatakan bahwa keputusan mencabut sanksi dibuat atas permintaan dua pemimpin regional, yakni Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman.
Sharaa adalah mantan komandan kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok Islamis yang berhasil menggulingkan rezim Assad pada Desember 2024. Ia pernah terlibat dalam pemberontakan di Irak pasca invasi AS pada 2003 dan bahkan pernah dipenjara oleh AS. Ia juga pernah menyatakan baiat kepada al-Qaeda.
Pemerintahan Biden sebelumnya telah mencabut hadiah buronan sebesar 10 juta dolar AS untuk Sharaa pada awal 2025, namun ia masih masuk dalam daftar teroris global. Dengan langkah terbaru Trump, status tersebut kemungkinan besar akan dicabut.