Seorang koresponden media Inggris mengungkap keterkejutannya setelah menyaksikan langsung bagaimana kehidupan sehari-hari warga Palestina di Tepi Barat merosot drastis.
Ia menyimpulkan bahwa putus asa kini menyelimuti banyak orang, sementara Israel dan para pemukim telah “mengambil alih” seluruh aspek kehidupan mereka.
Ewen MacAskill, koresponden untuk harian The Guardian, mengatakan bahwa ia mengunjungi Tepi Barat bulan lalu untuk pertama kalinya dalam 2 dekade.
Ia mengaku sudah membayangkan bahwa situasi akan buruk, namun kenyataan yang ia temukan jauh lebih parah dari perkiraannya.
MacAskill juga mengungkap bahwa ia semula tidak berencana menulis laporannya, tetapi berubah pikiran karena “besarnya keterkejutan” setelah melihat secara langsung seberapa jauh kehidupan warga Palestina terdegradasi.
Di sisi lain, Amerika Serikat dikabarkan tengah mempertimbangkan pemberlakuan sanksi terhadap Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menyusul tuduhan keterlibatan lembaga tersebut dalam aktivitas yang dikategorikan sebagai “terorisme”.
Menurut harian Jerusalem Post, sejumlah pejabat dalam pemerintahan Presiden Donald Trump telah melakukan pembahasan mendalam mengenai kemungkinan sanksi tersebut.
Laporan itu menyebutkan bahwa rencana tersebut memunculkan kekhawatiran hukum dan kemanusiaan di internal Departemen Luar Negeri AS.
Belum jelas apakah sanksi nanti akan menyasar UNRWA sebagai institusi secara keseluruhan, atau hanya pejabat dan unit tertentu di dalamnya. Jenis sanksi yang akan diterapkan pun belum diputuskan.
Masih dari kawasan Timur Tengah, mantan diplomat Amerika dan eks-Duta Besar AS untuk Damaskus, Ryan Crocker, menilai bahwa Suriah—setahun setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Bashar Al-Assad—sedang memasuki fase krusial dalam proses transisi politik dan upaya rekonstruksi besar-besaran.
Menurut Crocker dalam tulisannya di The Hill, skala pembangunan ulang negara itu jauh melampaui kemampuan pemerintah baru.
Ia memperingatkan bahwa transisi Suriah “akan rapuh dan mudah runtuh tanpa kepemimpinan Amerika yang serius dan berkelanjutan” guna menghindari ancaman yang dapat mengganggu stabilitas kawasan dan kepentingan keamanan nasional AS.
Crocker menilai Washington masih dapat memimpin dan memperluas dukungan internasional untuk memulihkan Suriah, sekaligus memperkuat komitmen kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab global.
Sudan hadapi krisis kemanusiaan terburuk
Sementara itu, perhatian media internasional terus tertuju pada Sudan, di mana perang saudara yang berkecamuk telah memicu salah satu krisis kemanusiaan paling parah di dunia.
Dalam sebuah artikel, The Washington Post menyoroti pernyataan Nathaniel Raymond, Direktur Eksekutif Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale, yang menyebut bahwa “laju pembunuhan di Kota El Fasher hanya dapat dibandingkan dengan genosida Rwanda”.
Artikel itu juga mengutip Javid Abdelmoneim, Presiden Internasional Médecins Sans Frontières (MSF), yang mengatakan bahwa kematian dan kehancuran “menyebar dengan sangat mudah”.
Hal itu karena banyak pemerintah enggan menggunakan pengaruh mereka untuk menekan pihak-pihak yang bertikai agar menghentikan kekerasan atau membuka akses bantuan kemanusiaan.


