Monday, July 28, 2025
HomeBeritaRepresi aktivis pro-Palestina picu krisis internal di Yordania

Represi aktivis pro-Palestina picu krisis internal di Yordania

Keputusan otoritas Yordania untuk menindak para aktivis solidaritas Palestina dinilai telah memicu krisis internal yang kian mendidih.

Demikian disampaikan sejumlah sumber kepada Middle East Eye (MEE), seraya menggarisbawahi bahwa gelombang penangkapan terhadap aktivis, oposisi politik, dan pemimpin partai justru memperdalam ketegangan sosial di dalam negeri.

Situasi ini mencuat di tengah meningkatnya instabilitas di Suriah yang bertetangga, memburuknya kondisi di Tepi Barat yang diduduki Israel, serta kelanjutan genosida perlahan melalui kelaparan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

Pekan ini, aparat Yordania menangkap Ayman Aballi, aktivis media sosial yang dikenal luas, hanya beberapa hari setelah ia mengunggah video berisi kecaman terhadap “keheningan” pemerintah atas kebijakan kelaparan yang diterapkan Israel di Gaza.

Dalam videonya, Aballi menuduh pemerintah Yordania gagal mengambil sikap moral atas tragedi kemanusiaan yang berlangsung di hadapan mata dunia.

Kritik terhadap dinas intelijen Yordania—yang dikenal dengan sebutan Mukhabarat—sebenarnya sudah meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

Terutama setelah kematian seorang pemuda di dalam tahanan, hanya sehari setelah ia ditangkap.

Sumber MEE mengungkapkan bahwa kematian tersebut memperuncing ketegangan yang sudah ada.

Media lokal melaporkan bahwa pemuda bernama Ahmed al-Ibrahim mengalami kekerasan fisik berat selama masa tahanan di kantor polisi Ramtha, kota yang hanya berjarak 5 kilometer dari perbatasan Suriah.

Pihak keluarga menyatakan bahwa Ibrahim sempat beberapa kali dibawa ke rumah sakit selama penahanannya, namun akhirnya meninggal akibat luka-lukanya setelah dibawa kembali ke rumah sakit untuk terakhir kalinya.

Kematian Ibrahim menyulut kemarahan warga Ar-Ramtha. Video yang beredar menunjukkan protes warga yang membakar ban, memblokade jalan, dan menyerukan pertanggungjawaban penuh dari aparat keamanan.

Pada hari yang sama saat Ibrahim meninggal, pasukan keamanan juga menangkap Yanal Freihat, anggota parlemen dari Partai Front Aksi Islam (IAF), setelah ia menulis unggahan di Facebook yang mengkritik sikap pemerintah terhadap Ikhwanul Muslimin.

Selain itu, juru bicara Ikhwanul Muslimin, Moaz al-Khawaldeh, juga sempat ditahan meski kemudian dibebaskan pada hari berikutnya.

Penangkapan demi penangkapan ini memperlihatkan kecenderungan represi yang meningkat terhadap suara-suara yang menentang kebijakan pemerintah.

“Pasukan keamanan saat ini justru menciptakan krisis internal dan memicu gelombang kemarahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di jalan-jalan,” ujar seorang analis politik Yordania kepada MEE.

Ia memilih anonim karena khawatir akan adanya pembalasan.

Analis itu menambahkan bahwa tindakan represif ini terjadi pada saat Yordania menghadapi ancaman eksternal yang serius dan membutuhkan persatuan internal, bukan perpecahan politik dan sosial yang semakin dalam.

Menurut sumber tersebut, Yordania kini menghadapi dua ancaman strategis yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pertama, potensi runtuhnya negara Suriah dan kemungkinan wilayah Sweida memisahkan diri dengan dukungan Israel, yang dapat memicu perang saudara besar-besaran dan berdampak langsung ke Yordania.

Kedua, ancaman perpindahan paksa warga Palestina dari Tepi Barat ke wilayah Yordania.

Gelombang pengungsian semacam ini berisiko mengubah komposisi demografis Kerajaan Hashemite secara permanen—sebuah skenario yang sangat sensitif secara politik dan sosial.

Dengan latar belakang tekanan eksternal yang sedemikian rupa, tindakan pemerintah Yordania untuk menindak aktivis dan tokoh masyarakat dinilai bukan hanya kontra-produktif, tetapi juga memperbesar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan negara.

Di saat solidaritas terhadap Gaza justru bisa menjadi titik temu berbagai elemen masyarakat, represi terhadap suara-suara tersebut malah membahayakan stabilitas dari dalam.

Yordania butuh stabilitas Internal

dalam negeri, Yordania kini menghadapi kebutuhan mendesak akan stabilitas internal untuk menjaga keutuhan negara.

Demikian ditegaskan oleh salah satu narasumber Middle East Eye, yang menyoroti betapa gentingnya situasi saat ini.

Di utara, Suriah kembali dilanda kekerasan sektarian mematikan. Kekacauan ini dilaporkan dipicu oleh insiden kriminal kecil pada 11 Juli lalu, ketika sebuah kelompok bersenjata dari kalangan Badui diduga merampok dan menculik seorang pedagang dari komunitas Druze.

Insiden ini dengan cepat berkembang menjadi rangkaian penculikan dan pembunuhan sektarian yang saling membalas.

Ketika pasukan keamanan Suriah dikerahkan ke Provinsi Sweida untuk meredakan konflik, mereka justru disergap oleh kelompok bersenjata Druze.

Laporan yang menyebutkan bahwa para pejuang Druze mengeksekusi pasukan pemerintah serta membunuh perempuan dan anak-anak memicu kemarahan luas.

Dalam respons militer yang lebih besar, pemerintah Suriah mengirim pasukan tambahan, termasuk tank dan persenjataan berat.

Namun, situasi diperumit oleh campur tangan Israel yang mulai menyerang posisi-posisi militer Suriah di berbagai wilayah, memanfaatkan kekacauan untuk kepentingan strategisnya.

Sementara ancaman eksternal seperti ini terus membayangi, aparat keamanan Yordania justru dikritik karena lebih sibuk menindak masyarakat sipil dalam negeri ketimbang menghadapi manuver Israel di kawasan.

Pada April lalu, sebuah situs oposisi Yordania melaporkan bahwa pemerintah melancarkan kampanye penangkapan luas terhadap para aktivis dan menargetkan kelompok Ikhwanul Muslimin.

Langkah ini disebut-sebut sebagai respons terhadap desakan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dalam upaya Yordania untuk mendapatkan bantuan finansial dari kedua negara tersebut.

Kemarahan warga pun makin meluas, terlebih setelah penangkapan Ahmed al-Zarqan, mantan wali kota dari Kota Tafilah dan tokoh senior Ikhwanul Muslimin.

Pria berusia 72 tahun itu ditangkap pada akhir April dan hingga kini belum didakwa, belum dihadapkan ke pengadilan, serta belum diperbolehkan mengakses pengacara atau dikunjungi keluarganya.

Baru-baru ini, warga dari suku-suku di Tafilah berkumpul dan menggelar aksi duduk di depan kantor intelijen di Amman, menuntut pembebasan al-Zarqan.

Kemarahan meningkat atas ‘normalisasi’ tahun 1994

Tekanan terhadap pemerintah Yordania tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga terkait hubungannya dengan Israel.

Di tengah tragedi yang terus berlangsung di Gaza—di mana lebih dari 58.000 warga Palestina telah tewas, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil—kecaman terhadap hubungan diplomatik Amman-Tel Aviv mencapai titik tertinggi.

Sejak penandatanganan perjanjian damai tahun 1994, Yordania dan Israel telah bekerja sama dalam berbagai isu keamanan regional.

Namun, warisan normalisasi tersebut kini menjadi sumber kemarahan rakyat. Gelombang protes besar melanda berbagai kota, mengecam perang genosida di Gaza dan mendesak pembatalan hubungan dengan Israel.

Kemarahan juga dipicu oleh penjajahan Israel atas Tepi Barat dan terus meningkatnya korban sipil di wilayah tersebut.

Hubungan Yordania dengan Tepi Barat sendiri sarat sejarah. Sejak menduduki wilayah itu dan Yerusalem Timur pada 1948, Yordania secara resmi mencaploknya pada 1950 dan memberikan kewarganegaraan kepada warga Palestina yang tinggal di sana, termasuk para pengungsi.

Meski diakui sebagai bagian dari kerajaan, perjanjian aneksasi menyatakan bahwa pengelolaan tersebut bersifat sementara, hingga tercapai solusi akhir bagi isu Palestina.

Namun, pasca perang 1967, Israel mulai mendorong pemukiman Yahudi di Tepi Barat, lengkap dengan dukungan infrastruktur dan perlindungan militer.

Sebagian mengklaim dasar agama sebagai legitimasi, namun banyak warga Israel yang melihat kontrol atas wilayah ini sebagai strategi untuk mencegah serangan dari pihak Palestina.

Dalam konteks ini, represi terhadap aktivis solidaritas Palestina dan pembungkaman suara-suara kritis di Yordania tak hanya menjadi persoalan hak asasi manusia, melainkan juga berpotensi memperlemah posisi strategis negara dalam menghadapi ancaman nyata yang semakin kompleks.

Ketika rakyat bersuara lantang untuk Palestina, dan ketika wilayah sekitarnya bergolak, justru kini dibutuhkan kepemimpinan yang mampu menggalang persatuan internal—bukan yang menambah luka melalui ketakutan dan penindasan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular