Wednesday, November 12, 2025
HomeBeritaRohufa al-Dabbagh: Nenek tangguh yang tanggung duka 15 cucu yatim di Gaza

Rohufa al-Dabbagh: Nenek tangguh yang tanggung duka 15 cucu yatim di Gaza

Di sebuah tenda reyot di kamp pengungsian Zawaida, Jalur Gaza, duduklah seorang perempuan tua bernama Rohufa al-Dabbagh.

Usianya telah melampaui tujuh dekade, namun wajahnya menyimpan luka yang lebih dalam dari usianya.

Di sekelilingnya, 15 cucu yatim berusaha bertahan hidup—anak-anak yang kehilangan ayah mereka sekaligus dalam satu serangan udara.

Kelima anak laki-laki Rohufa—Muhammad, Falah, Jihad, Salah, dan Mustafa—gugur dalam perang. Mereka masih muda, menjadi sandaran hidup dan kebanggaan ibunya.

Dalam sekejap, semuanya hilang, bersama empat cucunya yang juga tewas dalam serangan yang sama.

Kini, 15 anak yang tersisa hidup tanpa rumah, tanpa pelindung. Yang tertua baru 14 tahun, dan yang termuda bahkan belum genap dua tahun.

Mereka tinggal di sebuah tenda sempit yang nyaris tak mampu menahan dingin malam dan angin musim dingin Gaza yang menggigit.

Rohufa, yang sudah lebih dulu kehilangan suami dan rumah empat lantai yang dulu menaungi delapan keluarga anak-anaknya, kini hanya memiliki kenangan.

Rumah itu—tempat bersemayam tawa, cerita, dan doa keluarga—rata bersama tanah akibat bom.

Ia sendiri sempat terluka dalam serangan terhadap tenda tetangga dan harus menjalani operasi pengangkatan limpa.

Sejak itu, tubuhnya lemah, tetapi semangatnya untuk tetap dekat dengan cucu-cucunya tak pernah padam.

“Apapun yang saya katakan takkan mampu menggambarkan betapa dalam penderitaan saya. Saya hanya ingin anak-anak saya ada di sini, mendampingi saya di usia tua. Tapi kini saya hanya punya cucu-cucu yang yatim. Saya hidup demi mereka saja,” ujarnya kepada Al Jazeera Net dengan suara serak dan mata basah.

Ia mengaku, satu-satunya harapan yang tersisa adalah agar cucunya dapat hidup dengan aman.

“Saya tidak menginginkan apa-apa lagi untuk diri saya. Saya hanya berdoa agar Allah menutup hidup saya setelah memberi kesempatan berhaji ke rumah-Nya,” imbuhnya.

Simbol ketabahan

Rohufa telah menjadi simbol keteguhan hati perempuan Gaza. Setelah suaminya wafat, ia membesarkan kelima anak laki-lakinya sendirian.

Ia bekerja keras, menafkahi, mendidik, dan menanamkan nilai-nilai keteguhan dalam keluarga.

Namun perang merenggut semuanya sekaligus—anak-anaknya, rumahnya, kesehatannya, bahkan rasa aman yang dulu ia kenal.

Kini, ia hidup dari bantuan yang datang tak menentu. Tidak ada penghasilan tetap, tidak ada jaminan medis, dan tidak ada perlindungan dari hujan atau dingin.

Tenda mereka terancam roboh setiap kali badai datang, dan bantuan kemanusiaan yang menetes dari lembaga-lembaga bantuan sering kali tak mencukupi.

Putrinya, Hanan, menggambarkan kondisi ibunya dengan lirih.

“Setelah kelima saudara saya gugur, sesuatu di dalam diri Ibu patah. Ia nyaris tak tidur, malam-malamnya diisi dengan tangis yang tertahan. Penyakit membuat tubuhnya lemah, tapi di depan anak-anak ia berpura-pura kuat agar mereka merasa aman,” ungkapnya.

Keluarga mereka kini bergantung pada solidaritas kecil di antara mereka sendiri. Hanan dan saudara perempuannya berusaha menanggung sebagian biaya hidup cucu-cucu yang yatim, sementara satu-satunya saudara laki-laki yang tersisa menanggung sisanya.

Mereka bergiliran membantu sang ibu mencuci, membersihkan tenda, dan memasak.

“Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Kami hanya ingin tempat berlindung yang aman untuk anak-anak, makanan, air, obat-obatan, dan pakaian yang layak,” kata Hanan.

Luka Gaza yang tak terhitung

Menurut data Kantor Informasi Pemerintah di Gaza, ada 56.320 anak yatim yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya sejak perang kembali meletus.

Di balik angka itu, masing-masing menyimpan kisah kehilangan yang tak terperi. Mereka hidup di antara reruntuhan, dengan beban yang jauh melampaui usia mereka, menunggu uluran tangan kemanusiaan yang kian jarang datang.

Di tengah kepedihan itu, cucu-cucu Rohufa mencoba bertahan dengan kasih sayang satu-satunya yang tersisa: nenek mereka.

Azhār, anak dari Falah al-Dabbagh yang gugur, menceritakan bagaimana neneknya menjadi penopang hidup mereka.

“Nenek, meski tubuhnya lemah dan selalu kesakitan, tak pernah meninggalkan kami. Ia memasak, mencuci, dan memeluk kami seolah-olah ia ibu kedua,” ujarnya.

Dunia, anak dari Muhammad al-Dabbagh, kehilangan lebih banyak lagi—ayah, ibu, dan seluruh saudaranya.

“Saya tidak pernah membayangkan hidup tanpa mereka. Kini saya harus menjaga adik bayi saya sendirian. Semua berubah dalam sekejap,” tuturnya dengan suara pelan.

Kini Dunia dan adiknya tinggal bersama para sepupu dan nenek mereka di tenda yang sama. Setiap hari mereka melawan dingin, lapar, dan rasa takut.

“Nenek kami adalah kekuatan kami. Ia berusaha tampak tegar, tapi kami tahu setiap malam ia menangis diam-diam,” kata Dunia.

Harapan yang tak padam

Kisah Rohufa al-Dabbagh bukan sekadar kisah satu keluarga yang kehilangan segalanya. Ia adalah cermin penderitaan puluhan ribu keluarga Gaza—perempuan, anak-anak, dan orang tua—yang harus menanggung luka perang berkepanjangan.

Rohufa telah kehilangan seluruh hidupnya 2 kali: pertama ketika suaminya wafat, dan kedua ketika anak-anaknya berpulang bersama rumah yang mereka bangun bersama.

Namun meski tubuhnya renta dan kesehatannya rapuh, ia menolak menyerah. Setiap pagi, ia menyapa cucu-cucunya dengan senyum kecil dan doa yang sama,

“Selama masih ada napas, saya akan terus berdoa dan berusaha. Mungkin Tuhan akan memberi kelegaan sebelum anak-anak ini tumbuh besar dalam luka mereka,” ungkapnya.

Di antara puing dan penderitaan Gaza, suara Rohufa menjadi pengingat: bahwa di tengah kehancuran paling gelap sekalipun, kasih seorang ibu—atau seorang nenek—tetap menjadi cahaya terakhir yang tak padam.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler