Pakaian baru anak-anak yang mereka kenakan di hari pertama Idulfitri berlumuran darah. Setelah mereka tiba di Kompleks Medis Nasser untuk menerima perawatan akibat terkena pecahan rudal Israel yang menargetkan tenda-tenda pengungsi di barat Kota Khan Younis.
Momen-momen sulit terjadi ketika tawa anak-anak menghilang, digantikan oleh teriakan kesakitan.
Rasa takut menguasai mereka saat mereka mencari keluarga yang terpisah akibat serangan brutal itu.
Di sisi lain rumah sakit, keheningan menyelimuti jenazah para petugas medis dari Bulan Sabit Merah Palestina dan pertahanan sipil.
Mereka ditemukan setelah dieksekusi oleh pasukan Israel delapan hari lalu saat merespons panggilan darurat dari keluarga yang terperangkap di barat Rafah.
Hari pertama Idulfitri berlalu dengan berat di Gaza, yang harus mengucapkan selamat tinggal kepada lebih dari 50 syuhada yang kehilangan nyawa mereka akibat agresi Israel, menghapus kebahagiaan dari hati keluarga mereka.
Luka yang mendalam
Hari raya ketiga yang berlangsung di tengah perang membawa kesedihan yang mendalam bagi warga Palestina.
Suara takbir Idul fitri tak lagi terdengar di sebagian besar masjid yang hancur di Gaza. Hanya segelintir orang yang mampu melaksanakan salat di pusat-pusat penampungan dengan cepat, takut akan serangan yang menyasar wilayah utara, timur, dan selatan Gaza.
Di pemakaman Al-Faluja, barat kamp Jabalia, sejumlah keluarga berkumpul di sekitar makam orang-orang terkasih mereka yang syahid akibat agresi Israel.
Mereka merindukan kehangatan berkumpul di hari raya yang kini direnggut oleh perang.
“Saya kehilangan dua saudara saya dalam perang ini, dan 15 anggota keluarga saya gugur sebagai syuhada. Setiap momen spesial seperti Idulfitri hanya mengingatkan kami pada luka yang dalam akibat agresi ini, luka yang tidak akan pernah sembuh,” kata Hassan, seorang pemuda yang baru saja meninggalkan area pemakaman.
Dia menambahkan bahwa kesedihan tidak pernah meninggalkan keluarga para syuhada.
“Setiap rumah memiliki kisah kehilangan yang menyayat hati, yang mustahil untuk dilupakan,” ungkapnya kepada Al Jazeera Net.
Blokade total
Tidak ada tanda-tanda perayaan Idulfitri di Gaza yang masih diblokade sepenuhnya oleh Israel sejak 1 Maret lalu, setelah fase pertama perjanjian gencatan senjata berakhir.
Penutupan perbatasan mencegah masuknya barang-barang kebutuhan pokok ke pasar.
Warga Gaza biasanya menikmati hidangan khas Idulfitri, ikan asin “feseekh”, saat sarapan pagi di hari pertama lebaran.
Namun, karena penutupan perbatasan, mereka terpaksa menggantinya dengan makanan kaleng yang kini mulai langka di pasaran.
Daging merah dan ayam hampir tidak tersedia di meja makan warga Gaza, sementara semua restoran yang biasa menjadi tempat favorit anak-anak di hari raya kini telah tutup.
Sesuai dengan protokol kemanusiaan dalam perjanjian gencatan senjata, seharusnya ada 600 truk bantuan dan 50 truk bahan bakar yang masuk ke Gaza setiap hari.
Namun, sejak awal bulan ini, Israel telah mencegah masuknya total 18.000 truk bantuan dan 1.500 truk bahan bakar, yang memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Kini, 2,4 juta warga Palestina menghadapi ancaman kelaparan, dengan lebih dari 85% penduduk Gaza mengalami ketidakamanan pangan akibat terhentinya bantuan dan inisiatif amal.
Upaya untuk berbahagia
Di jalanan Gaza yang hancur, anak-anak mencoba merasakan kegembiraan dengan bermain di wahana sederhana buatan para pemuda yang kehilangan mata pencaharian mereka akibat perang.
Sejumlah relawan juga berusaha membawa kebahagiaan bagi anak-anak dengan menghadirkan badut-badut di area permukiman yang hancur.
Namun, tidak ada satu pun anak yang terbebas dari dampak perang, dan semua berharap agar perang segera berakhir.
Di sisi lain, para ibu yang berharap adanya perpanjangan gencatan senjata menjelang Idulfitri kini diliputi ketakutan.
Mereka khawatir anak-anak mereka menjadi target serangan mendadak dari pesawat tempur Israel jika keluar rumah untuk merayakan hari raya.
Perlu dicatat bahwa pasukan Israel telah menghancurkan seluruh taman dan proyek wisata di Gaza, yang jumlahnya mencapai sekitar 5.000 fasilitas.
Serangan ini juga menyebabkan hilangnya pekerjaan bagi 15.265 pekerja di sektor pariwisata, menurut laporan dari Badan Pusat Statistik Palestina.