Sunday, September 14, 2025
HomeBeritaSabreen, musik yang tumbuh bersama identitas Palestina

Sabreen, musik yang tumbuh bersama identitas Palestina

Di tengah pusaran konflik yang tak kunjung reda, musik hadir bukan sekadar hiburan, melainkan medium perlawanan sekaligus peneguhan identitas.

Itulah yang dilakukan Grup Musik Sabreen, kelompok asal Palestina yang berdiri di Kota Yerusalem pada 1980.

Didirikan oleh komponis dan pengaransemen Said Murad, Sabreen sejak awal berkomitmen mengembangkan lagu-lagu Palestina dengan sentuhan modern, namun tetap berakar pada realitas sosial dan budaya bangsanya.

Sabreen memposisikan karya-karyanya sebagai cermin kehidupan sehari-hari rakyat Palestina: penuh harapan, getir oleh penderitaan, dan selalu bergulat dengan tekanan politik.

Musik bagi mereka adalah bahasa yang menyatukan, sarana untuk mengabadikan pengalaman kolektif sekaligus membangun ruang budaya yang merdeka.

Asal dan pendirian

Pada awal kelahirannya, Sabreen beranggotakan sekelompok anak muda Yerusalem yang percaya bahwa seni dapat menjadi pendorong perubahan sosial-politik.

Mereka membentuk Asosiasi Sabreen untuk Pengembangan Seni, sekaligus membangun studio rekaman sendiri di kawasan Sheikh Jarrah, yang kemudian menjadi pusat aktivitas mereka.

Tujuh tahun setelah berdiri, tepatnya 1987, asosiasi itu berkembang menjadi organisasi masyarakat sipil dengan tujuan lebih luas: memajukan musik di Palestina. Langkah ini segera mendapat perhatian publik.

Berkat reputasi yang diraih Murad dan kelompoknya, Kementerian Pendidikan Palestina menjalin kerja sama resmi dengan Sabreen.

Lewat kerja sama tersebut, Sabreen dipercaya menyusun dan mengajarkan kurikulum musik di sekolah-sekolah Palestina.

Tak berhenti di situ, pada 2007, Asosiasi Sabreen meluncurkan program “Eurovision Palestina”, bekerja sama dengan Otoritas Penyiaran Palestina dan kelompok seni internasional Superflex.

Tujuannya sederhana, tetapi penuh makna: menghadirkan suara Palestina di ajang lagu Eropa yang selama ini dianggap panggung bergengsi dunia.

Program itu tidak hanya menyasar para penyanyi muda, melainkan juga melatih guru, siswa, hingga kepala sekolah.

Dengan dukungan pakar dari Norwegia, pelatihan awal ditujukan untuk pengajar musik, lalu berkembang melibatkan siapa pun yang memiliki minat serta tekad memajukan seni di Palestina.

Selama hampir 15 tahun, kemitraan Sabreen dengan Kementerian Pendidikan berlangsung di sekolah-sekolah di Tepi Barat.

Program serupa juga diterapkan di sekolah milik Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) di Jalur Gaza serta sekolah Katolik Patriarkat Latin.

Jaringan luas ini berlangsung dari 1993 hingga pertengahan 2007, meninggalkan jejak penting dalam pendidikan seni di Palestina.

Wajah-wajah di balik Sabreen

Keberhasilan Sabreen tidak bisa dilepaskan dari para seniman yang membentuk identitas musikalnya.

Mereka datang dengan latar belakang berbeda, tetapi berpadu dalam satu visi: menghadirkan musik Palestina yang berakar pada tradisi, namun terbuka pada eksperimen.

  • Said Murad – Pendiri sekaligus motor kreatif Sabreen. Murad mulai menekuni musik sejak 1973 dan berguru pada komponis Jacques Lahham di Institut Seni Rupa. Ia dikenal sebagai komposer yang kerap menggubah puisi menjadi lagu, termasuk karya Mahmoud Darwish, Samih al-Qasim, Hussein Barghouthi, Sayed Hegab, hingga Talal Haidar.
  • Kamilya Jubran – Vokalis utama dengan suara khas. Selain bernyanyi, ia juga piawai memainkan berbagai instrumen petik dan perkusi, menjadikannya salah satu wajah paling dikenal dari Sabreen.
  • Ouda Turjman – Penyanyi sekaligus pemain kontrabas yang memberi warna mendalam pada aransemen grup.
  • Issa Freij – Multi-instrumentalis yang menguasai gitar, biola, hingga cello, memperkaya komposisi musik Sabreen dengan nuansa klasik dan kontemporer.
  • Ya’qub Abu Arafeh – Spesialis perkusi yang menjaga denyut ritme kelompok.
  • Issam Murad – Insinyur suara dan pemain drum, yang berperan menjaga kualitas teknis serta dinamika musik.
  • Samer Muslim – Vokalis pendukung yang juga membantu dalam berbagai aktivitas grup.
  • Wisam Murad – Penyanyi sekaligus pemain oud, perkusi, dan keyboard, melengkapi jajaran talenta Sabreen.

Musik sebagai komitmen dan ruang perlawanan

Sejak awal, Sabreen menempatkan diri dalam jalur yang disebut sebagai “musik berkomitmen”—musik yang tidak hanya menghibur, tetapi juga berpihak pada perjuangan.

Karya-karyanya diarahkan untuk menjaga identitas Palestina, melindungi ingatan kolektif bangsa, sekaligus memastikan cita-cita besar tentang kebebasan dan kemerdekaan tetap hidup dalam kesadaran rakyat, bahkan di sela-sela alunan nada dan syair.

Sabreen lahir dalam keterbatasan: jumlah penyanyi yang minim, ketiadaan panggung pertunjukan yang memadai, serta fasilitas rekaman dan studio yang nyaris tidak tersedia.

Namun, dari kondisi inilah tumbuh tekad untuk membangun infrastruktur seni yang mandiri.

Asosiasi Sabreen kemudian bergerak lebih jauh. Mereka tidak hanya tampil di panggung, tetapi juga membangun kapasitas seniman muda maupun profesional lewat pelatihan musik dan program pengembangan budaya. Anak-anak pun menjadi perhatian khusus.

Melalui kelompok “Bidayat” (Permulaan), Sabreen memberi ruang bagi generasi belia untuk ikut serta dalam festival maupun kegiatan seni.

Para anggota Sabreen juga melatih guru musik di sekolah, mendampingi komunitas, serta mengorganisasi pertunjukan di berbagai daerah Palestina.

Ragam aktivitas pun terus berkembang: lokakarya musik, pembuatan instrumen tradisional, hingga kamp musim panas yang digelar bersama lembaga lokal maupun dengan menghadirkan musisi dunia.

Menyadari betapa besar kekosongan di bidang produksi dan teknologi musik, Sabreen akhirnya membangun infrastruktur sendiri.

Salah satu pencapaian penting mereka adalah pendirian studio rekaman profesional pertama di kawasan tersebut.

Studio ini bukan hanya menjadi rumah bagi produksi karya Sabreen, melainkan juga terbuka untuk seniman dan lembaga lain yang membutuhkan fasilitas rekaman berteknologi tinggi.

Kontribusi dan jejak pencapaian

Selama lebih dari empat dekade, Sabreen dan lembaga seni yang menaunginya membangun jaringan kemitraan yang luas.

Kolaborasi itu melibatkan organisasi masyarakat, klub seni, kementerian, hingga Lembaga Penyiaran Palestina.

Tak berhenti di lingkup domestik, mereka juga menjalin kerja sama dengan berbagai institusi internasional.

Dari jejaring inilah Sabreen ikut mengangkat beragam bentuk seni di Palestina, tidak hanya musik.

Lebih jauh, kelompok ini memainkan peran penting dalam membuka jalan bagi lahirnya pendidikan seni dan musik di dalam sistem sekolah Palestina—sesuatu yang sebelumnya nyaris absen.

Berbagai upaya itu membuat Sabreen Art Development Association berkembang menjadi salah satu rujukan utama, baik bagi seniman maupun lembaga seni, dari Palestina maupun mancanegara.

Dari kantornya di Yerusalem dan cabangnya di Betlehem, Sabreen terus memberikan layanan yang beragam: mulai dari produksi musik, program pelatihan, hingga dukungan bagi inisiatif-inisiatif seni baru.

Menghubungkan tradisi dan modernitas

Sabreen membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini. Mereka menyajikan musik Palestina yang modern dan segar, namun tetap berakar pada identitas nasional dan terjaga dalam mutu artistik.

Grup ini mengembangkan gaya khas dalam lagu-lagu Palestina, sebuah corak baru yang berbicara tentang perubahan dan modernitas, tanpa tercerabut dari akar budaya.

Lewat pendekatan itu, Sabreen berhasil memikat khalayak luas: kaum intelektual, kalangan nasionalis, mahasiswa, hingga generasi muda.

Tidak sedikit pula musisi baru di Palestina yang kemudian menjadikan Sabreen sebagai rujukan.

Sabreen selalu peka terhadap dinamika sejarah dan budaya yang dihadapi rakyat Palestina.

Mereka merespons dengan kreativitas: melodi yang segar, aransemen yang berani, serta penggunaan instrumen yang inovatif.

Ciri paling menonjol adalah kemampuannya menghadirkan suara zaman. Instrumen Timur dimainkan dengan cara yang tidak konvensional, menghasilkan musik yang memadukan keaslian tradisi dengan semangat pembaruan.

Karya-karya Sabreen pun dikenal hidup, fleksibel, dan dapat merangkul selera yang beragam.

Mereka menghadirkan musik bercita rasa Timur, tetapi diwarnai harmoni yang memadukan unsur Timur dan Barat.

Pada akhirnya, inilah musik Palestina berjiwa Arab, yang menyuarakan pesan kemanusiaan universal, menjangkau publik lintas batas, dan menyatukan mereka dalam nilai-nilai luhur kebangsaan sekaligus kemanusiaan.

Album dan jejak musik

Sepanjang perjalanannya, Sabreen telah merilis lima album musik yang masing-masing merekam denyut sejarah Palestina di tengah pergulatan politik.

Empat album pertama dibawakan dengan vokal utama Kamilya Jubran, sementara album kelima hadir setelah kepergiannya dari grup.

Album perdana, “Dukhan al-Burakin” (Asap Gunung Berapi), lahir pada awal 1980-an, bertepatan dengan invasi Israel ke Lebanon tahun 1982 serta tragedi pembantaian Sabra dan Shatila.

Album ini berakar kuat pada folklor dan tradisi musik rakyat Palestina, serta memuat puisi karya tokoh-tokoh besar seperti Mahmoud Darwish dan Samih al-Qasim.

Album kedua, “Mawt al-Nabi” (Kematian Nabi), dirilis di tengah menguatnya kolonisasi permukiman Israel, menjelang pecahnya Intifada Pertama.

Lagu-lagu di dalamnya menghadirkan perlawanan artistik, menggambarkan detail kehidupan sehari-hari di bawah pendudukan dengan pesan yang tegas.

Album ketiga, “Jayy al-Hamam” (Datang Merpati), terbit pada 1994, sesudah penandatanganan Perjanjian Oslo.

Sementara album keempat, “’Ala Fein?” (Ke Mana?), dirilis tahun 2000 dalam format CD.

Berbeda dari sebelumnya, album ini memadukan nuansa kerinduan sekaligus keputusasaan, dengan lirik dari penyair Arab ternama, antara lain Talal Haidar, Sayed Hegab, dan Fadwa Tuqan.

Album kelima, “Ma’zuj”, menandai babak baru setelah Kamilya Jubran hijrah ke Prancis dan meninggalkan grup.

Vokalnya diisi oleh aktor Palestina Mohammad Bakri, sementara lirik ditulis oleh komponis Said Murad.

Album ini hadir dengan semangat yang lebih militan dan ekspresif, mencerminkan roh zamannya.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular