Sebanyak 41 prajurit Israel dari unit intelijen dan siber pada Selasa (10/6/2025) menyatakan menolak melanjutkan dinas militer mereka. Dalam surat terbuka, mereka menyebut bahwa serangan militer di Gaza bukan lagi untuk keamanan nasional atau pembebasan sandera, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Surat tersebut ditujukan kepada Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz, Kepala Staf Militer Eyal Zamir, serta sejumlah anggota kabinet. Surat ini dilaporkan oleh harian Yedioth Ahronoth.
Para penandatangan menggunakan tajuk “Prajurit untuk Para Sandera” dan menulis bahwa keputusan memperluas serangan militer di Gaza bukanlah keputusan keamanan, melainkan keputusan politik.
“Ini adalah perang untuk menyelamatkan koalisi pemerintahan, bukan untuk melindungi warga Israel,” tulis mereka dalam surat tersebut.
Para prajurit tersebut menegaskan tidak akan ambil bagian dalam apa yang mereka sebut sebagai “perang demi kelangsungan kekuasaan Netanyahu.” Beberapa dari mereka menyatakan akan menyatakan penolakan ini secara terbuka, sementara yang lain akan melakukannya secara diam-diam dalam bentuk aksi protes “abu-abu”.
Sebelumnya, Kepala Staf Militer Eyal Zamir pada awal Juni memerintahkan perluasan operasi darat di Jalur Gaza, mencakup wilayah utara dan selatan, di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah di wilayah yang diblokade tersebut.
Militer Israel menyatakan bahwa tujuan dari operasi besar-besaran itu adalah untuk menciptakan kondisi bagi pembebasan sandera dan “mengalahkan Hamas secara tuntas.”
Hingga saat ini, Israel memperkirakan masih ada 56 sandera yang ditahan di Gaza, dengan sekitar 20 orang diyakini masih hidup. Di sisi lain, lebih dari 10.100 warga Palestina mendekam di penjara-penjara Israel dalam kondisi yang dilaporkan buruk, termasuk penyiksaan, kelaparan, dan pengabaian layanan medis, menurut organisasi hak asasi manusia Palestina dan Israel.
Kelompok Hamas berulang kali menyatakan kesediaan untuk membebaskan seluruh sandera Israel dengan syarat perang dihentikan, pasukan Israel ditarik dari Gaza, dan tahanan Palestina dibebaskan. Namun, Netanyahu menolak syarat-syarat tersebut dan bersikukuh bahwa kelompok perlawanan Palestina harus dilucuti senjatanya serta bahwa Israel harus kembali mengontrol wilayah Gaza.
Sikap ini menuai kritik dari oposisi Israel dan keluarga para sandera. Mereka menuding Netanyahu memperpanjang konflik untuk menjaga dukungan dari mitra koalisi sayap kanan dalam pemerintahannya.
Sejak Oktober 2023, Israel terus melancarkan operasi militer besar-besaran di Gaza. Menurut laporan berbagai lembaga, operasi ini telah menyebabkan hampir 55.000 warga Palestina tewas, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel saat ini juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait dugaan pelanggaran terhadap warga sipil Palestina di Jalur Gaza.