Dunia internasional dikejutkan oleh serangan udara Israel yang pada Selasa (10/9) lalu menghantam sebuah pertemuan delegasi perundingan Hamas di jantung ibu kota Qatar, Doha.
Peristiwa ini sontak menjadi sorotan utama media global, tidak hanya karena eskalasi militernya, tetapi juga karena implikasi politiknya yang luas.
Hampir semua surat kabar besar di Amerika Serikat (AS) dan Inggris menilai serangan tersebut sebagai pukulan telak terhadap upaya perundingan damai untuk menghentikan perang Israel di Gaza.
Dalam kolom opininya di Washington Post, analis senior David Ignatius menyebut langkah Israel itu sebagai “kesalahan taktis langka”.
Menurutnya, serangan tersebut gagal mencapai tujuan utamanya—melenyapkan para pemimpin penting Hamas—tetapi justru merusak salah satu jalur komunikasi terakhir yang masih berfungsi untuk menghentikan konflik.
Ignatius menilai serangan ke Doha mencerminkan “cermin suram dari mimpi buruk perang Gaza” yang tak kunjung menemukan jalan keluar.
Ia menambahkan, para pejabat Qatar merasa dikhianati dan terguncang, sebab selama ini Doha memainkan peran kunci sebagai mediator paling dipercaya dalam menyampaikan pesan ke kepemimpinan Hamas di Gaza.
Lebih jauh, Ignatius menyebut bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—terlihat “terdesak sekaligus nekat”.
Ia hingga berani menabrak norma diplomatik dan aturan tak tertulis demi ambisi menghancurkan Hamas.
Qatar, yang belakangan aktif membantu pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menjadi penengah bukan hanya di Gaza.
Tetapi juga di sejumlah konflik lain seperti Rwanda–Kongo dan Armenia–Azerbaijan, justru menuai “hasil pahit” dari perannya itu.
“Kejutan yang terbiasa”
Dalam laporan analitis di New York Times, jurnalis Gedung Putih, Erica Green, menyoroti sisi lain dari peristiwa tersebut: Israel tidak memberi tahu Trump ketika melancarkan serangan ke Doha.
Menurut Green, hal itu sebenarnya bukan hal baru, melainkan “kejutan yang terbiasa”. Ia menyinggung pengalaman serupa pada Juni lalu, ketika Israel lebih dulu memulai perang singkat selama 12 hari dengan Iran.
Kala itu, Washington juga hanya mendapat pemberitahuan mendadak. Meski sempat menimbulkan kegusaran di lingkaran Trump, pada akhirnya Presiden AS itu memilih mendukung operasi yang ia anggap sebagai “kampanye kemenangan”.
Pola serupa, tulis Green, kembali terlihat dalam serangan ke Doha. Netanyahu memanfaatkan kedekatannya dengan Trump untuk melancarkan operasi-operasi berani—baik saat menghadapi Hamas maupun dalam perang singkat dengan Iran—sering kali dengan senjata buatan AS.
Namun, hal itu tanpa konsultasi penuh atau hanya dengan pemberitahuan sekilas menjelang serangan.
“Netanyahu tahu betul, Trump dan timnya akan mengeluh sesaat, seperti yang terjadi Selasa lalu. Tetapi, pada akhirnya, mereka membiarkan semua itu berlangsung tanpa konsekuensi berarti,” tulis Green.
Suara sumbang dari gedung putih
Situs berita Axios melaporkan bahwa kabar serangan Israel ke Qatar mengejutkan Gedung Putih dan memicu kemarahan sejumlah penasihat senior Presiden Donald Trump.
Padahal, saat itu Washington tengah menunggu jawaban resmi Hamas atas proposal perdamaian baru yang ditawarkan Trump untuk Gaza.
Menurut laporan itu, Qatar kini menjadi negara ketujuh yang digempur Israel sejak 7 Oktober 2023.
Hal yang membuat pejabat AS semakin geram adalah fakta bahwa pemberitahuan mengenai operasi itu datang begitu singkat, sehingga tak memberi kesempatan bagi Washington untuk memengaruhi rencana Tel Aviv.
Greg Priddy, peneliti senior di Center for the National Interest, menilai serangan Israel ke Doha menjerumuskan strategi Amerika Serikat di Timur Tengah ke titik rawan.
Dalam tulisannya di National Interest, ia menyebut Netanyahu memang berniat menghalangi setiap kemungkinan Hamas memberi jawaban positif terhadap syarat-syarat yang diajukan Trump.
Menurut Priddy, Netanyahu dan para menterinya dari kubu sayap kanan kini semakin dekat dengan tujuan mereka.
Yaitu, meratakan Kota Gaza, yang dianggap sebagai kawasan layak huni terakhir di Jalur Gaza. Karena itu, mereka tidak akan membiarkan Trump menghambat ambisi tersebut.
Priddy menambahkan, jika benar Trump memberi lampu hijau bagi serangan ke Doha.
Hal itu akan menjadi pengkhianatan besar terhadap kepercayaan, bukan hanya dengan Qatar, tetapi juga dengan negara-negara Teluk lain.
Selama ini, kawasan Teluk memandang AS sebagai mitra keamanan paling tepercaya.
Bagi Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), lanjut Priddy, isu ini tidak hanya soal politik, tetapi juga ekonomi.
Citra Semenanjung Arab—dengan pengecualian Yaman—sebagai kawasan aman untuk investasi dan pariwisata merupakan kunci strategi diversifikasi ekonomi mereka menjauh dari ketergantungan pada ekspor minyak dan gas.
Kemunduran perundingan
Dalam analisisnya, kantor berita Bloomberg menulis bahwa langkah sepihak Israel itu menunjukkan Netanyahu semakin percaya diri mengambil risiko besar demi apa yang dianggapnya sebagai kepentingan nasional.
Bloomberg mencatat, kecaman langsung datang dari berbagai ibu kota di Timur Tengah dan Eropa.
Banyak negara menyuarakan kekhawatiran akan meluasnya konflik, berbeda jauh dengan narasi Netanyahu dan Trump yang menggambarkan insiden itu sebagai bagian dari “jalan menuju perdamaian”.
Laporan Bloomberg juga menegaskan bahwa serangan Israel ke delegasi Hamas di Qatar memicu kritik publik yang jarang terjadi dari Trump sendiri.
Para pemimpin Eropa pun mengutuk aksi tersebut dan menilainya sebagai pukulan serius terhadap perundingan yang tengah dimediasi Qatar untuk mengakhiri perang serta membahas pembebasan sandera Israel.
Trump menyebut dirinya telah berbicara dengan Netanyahu dan para pemimpin Qatar usai serangan, bahkan berjanji bahwa kejadian serupa tidak akan terulang.
Namun, Bloomberg menegaskan janji itu justru menimbulkan pertanyaan baru: apakah Trump benar-benar mampu menepatinya.
“Guncangan politik”
Kritik paling tajam terhadap posisi AS datang dari jurnalis senior Inggris, Patrick Cockburn.
Dalam opininya di laman berita iPaper, ia menyebut serangan Israel ke Qatar sebagai sebuah “guncangan politik” yang mengubur peluang perdamaian di Gaza.
Cockburn menilai, dengan membidik Doha, Israel menunjukkan bahwa tak ada satu pun negara yang aman dari serangan militernya.
Yang lebih mengherankan, lanjutnya, adalah sikap Washington yang seolah tidak memiliki garis merah bagi operasi militer Israel—bahkan ketika aksi itu diarahkan kepada sekutu dekatnya sendiri.
Menurut Cockburn, bila Israel berani menyerang Qatar yang berperan sebagai mediator utama, maka pada dasarnya tidak ada negara di kawasan yang bisa merasa aman, betapapun dekatnya hubungan mereka dengan Amerika.
Ia menambahkan, Israel kemungkinan sengaja menyembunyikan sebagian detail operasional agar AS memiliki ruang untuk melakukan “penyangkalan yang masuk akal”.
Namun, mengingat kecanggihan perangkat intelijen dan satelit yang dimiliki Washington di Timur Tengah, sulit dipercaya bila militer dan badan intelijen AS tidak mengetahui lebih dulu rencana serangan itu.
Cockburn menyimpulkan, upaya pembunuhan terhadap tim perunding Hamas di ibu kota negara mediator hanya bisa dibaca sebagai sinyal bahwa Israel berniat mengusir, membunuh, atau menundukkan sepenuhnya 2,4 juta penduduk Gaza serta 3 juta warga Palestina di Tepi Barat.