Seruan untuk reformasi sistem internasional mendominasi Sidang Umum ke-79 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), demikian catatan kantor berita Anadolu pada Rabu (25/9).
Seruan itu disampaikan para pemimpin negara dan menteri luar negeri yang menyoroti kelemahan lembaga-lembaga global dalam menangani konflik, krisis kemanusiaan, serta tantangan ekonomi.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, membuka sidang dengan menyatakan ketidaksetaraan global tercermin dalam lembaga-lembaga internasional.
Dia menyoroti Dewan Keamanan PBB dirancang para pemenang Perang Dunia Kedua, ketika sebagian besar Afrika masih di bawah kekuasaan kolonial.
Guterres menegaskan pentingnya representasi Afrika di Dewan Keamanan, meskipun menyadari adanya kemungkinan perlawanan dari mereka yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga menggemakan pandangan ini. Erdogan enyatakan PBB semakin tidak efektif dalam menjalankan misi pendiriannya.
Kata Erdogan, perdamaian dan keamanan internasional terlalu penting untuk diserahkan kepada lima negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB. Yakni AS, Inggris, China, Pancis, dan Rusia.
Erdogan menegaskan seruannya yang telah lama dia digaungkan, bahwa “dunia lebih besar dari lima.”
Baca juga: Indonesia tegaskan dukungan bagi mandat UNRWA untuk Palestina
Presiden Brasil, Lula da Silva, menekankan urgensi reformasi menyeluruh. Kata dia Piagam PBB saat ini gagal mengatasi beberapa isu paling mendesak yang dihadapi umat manusia.
Ia menyerukan tinjauan dan revisi Piagam yang komprehensif, dengan fokus pada struktur Sidang Umum, metode kerja, serta hak veto.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, menekankan bahwa reformasi di lembaga global seperti PBB adalah keharusan. Menurut Modi, kesuksesan umat manusia tidak terletak di medan perang, tetapi pada kekuatan kolektif untuk perdamaian global.
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa menilai struktur DK PBB saat ini kuno dan eksklusif. Dia juga menuntut memasukkan negara-negara Afrika dan lainnya dalam proses pengambilan keputusan di Dewan Keamanan.
Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, menegaskan reformasi harus mencerminkan kebutuhan semua negara, bukan hanya meningkatkan kekuatan beberapa negara saja.
Wakil Tetap Selandia Baru untuk PBB, Carolyn Schwalger, juga menyuarakan perlunya reformasi Dewan Keamanan.
PBB gagal tangani konflik
Beberapa pemimpin menyoroti kegagalan PBB dalam menangani konflik yang sedang berlangsung. Raja Yordania Abdullah II menyatakan adanya krisis yang mengancam legitimasi dan otoritas moral PBB.
Presiden Maladewa, Mohamed Muizzu, menyerukan keberanian untuk menghentikan perang genosida di Gaza dan mengakui Palestina sebagai anggota penuh PBB.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, juga menyerukan reformasi DK PBB. Katanya salah satu tujuan strategis KTT Masa Depan PBB adalah membentuk tatanan dunia yang komprehensif dengan tata kelola global yang koheren dan efektif.
Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, mengatakan bahwa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di dunia, PBB dan organisasinya harus mengambil langkah yang lebih aktif untuk mengoordinasikan upaya komunitas internasional.
Presiden Serbia, Aleksandar Vucic, menyoroti perlunya membangun kembali kredibilitas PBB dan menegaskan bahwa standar ganda harus diakhiri.
Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, mengatakan negaranya mendukung reformasi struktural Dewan Keamanan, yang menurutnya “tidak lagi mewakili realitas dunia saat ini.”
Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, menekankan bahwa reformasi hanya bermakna jika dilakukan untuk semua, bukan hanya untuk sebagian.
Baca juga: Retno ajak negara-negara non-blok bersatu lawan ketidakadilan atas Palestina
Seruan untuk reformasi tidak hanya terbatas pada Dewan Keamanan, tetapi juga meluas ke lembaga-lembaga internasional lainnya.
Presiden Kirgistan, Sadyr Japarov, menggambarkan KTT Masa Depan sebagai platform unik untuk meletakkan dasar bagi arsitektur global baru yang bekerja untuk semua, bukan hanya bagi kalangan elit.
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menuntut reformasi mendesak dalam struktur tata kelola dan lembaga keuangan internasional guna memastikan representasi yang adil bagi negara-negara berkembang.
Sementara itu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dalam pidatonya di sebuah acara di Prancis, menyatakan bahwa sistem internasional saat ini “tidak lengkap dan tidak adil,” dengan mengutip kurangnya representasi negara-negara berpenduduk besar.