Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Solidaritas umat Islam di Indonesia kepada umat Islam di Palestina bukanlah barang baru belakangan ini. Itu sebabnya para founding fathers Indonesia, terutama tokoh-tokoh Islamnya berulangkali menaruh perhatian terhadap nasib umat Islam di Palestina. Beragam insiden yang terjadi di Palestina coba disuarakan para tokoh-tokoh ini. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi di sana setidaknya coba digaungkan oleh para tokoh Islam melalui tulisan-tulisan mereka di media massa lokal, aksi-aksi protes bahkan terlibat langsung dalam perjuangan Palestina di Timur Tengah.
Gilang Al Ghifari Lukman dalam Indonesia and The Question of Palestine: Navigating Religious and Third-Worldist Currents berpendapat bahwa kesadaran terhadap nasib Palestina sebagai persoalan politik mulai timbul di Indonesia sejak terjadinya Perlawanan al-Buraq (Ṯaurat al-Burāq).[i] Persoalan ini berawal dari tindakan kelompok Yahudi di Palestina yang hendak menguasai satu area suci di sebelah Barat Masjidil Aqsha yang dikenal oleh orang Barat sebagai tembok ratapan. Kaum Yahudi sendiri menyebutnya ‘Kotel Moravi’, sedangkan umat Islam menyebutnya sebagai al-Buraq al-Sharif.
Tempat ini dianggap suci baik oleh umat Islam dan Yahudi di Palestina. Kedatangan kaum zionis Yahudi ke Palestina bukan saja mendatangkan gelombang imigran Yahudi, tetapi mereka juga mengklaim memiliki wilayah tersebut. Konflik antar umat Islam dan Yahudi pecah pada 23 Agustus 1928 dan keesokan harinya meluas ke seluruh wilayah Palestina.[ii]
Aksi protes terhadap insiden ini turut mendorong solidaritas umat Islam di Indonesia. Pada 26 Oktober 1929, sekelompok umat Islam di Jawa Timur melakukan aksi solidatiras untuk umat Islam di Palestina. Gaung protes ini sampai ke Palestina ketika pers Palestina, Sawt al-Sah’b mengangkat berita solidaritas Indonesia untuk Palestina yang berjudul ʿAṭf ʾIndūnīsiyā ʿalā Filasṭin. Artikel itu melaporkan telah dibentuknya sebuah komite untuk menekan pemerintah Inggris agar mengambil langkah atas serangan orang-orang Yahudi terhadap Masjidil-Aqsha. Komite ini dibentuk oleh muslim keturunan Arab di Jawa Timur.[iii]
Aksi solidartas pada masa itu bukan hanya terjadi di tanah air, tetapi juga oleh orang-orang Indonesia di Timur Tengah. Surat kabar Al-Jamia al-Arabiyya pada 30 Oktober 1930 menaikkan artikel berjudul “Yaum Filasṭīn Fī Indūnīsiyā” (Hari Palestina di Indonesia). Artikel itu memberitakan perkumpulan pelajar Indonesia di Mesir yang mengingatkan bahwa persoalan adalah tanggung jawab setiap Muslim, bukan sekedar bangsa Arab. Mereka juga mengajak untuk mengumpulkan dana dan dukungan intelektual kepada Palestina dan mengusulkan peringatan hari Isra Mi’raj sebagai “Hari Palestina.”[iv]
Aksi solidaritas pelajar Indonesia di Mesir memang bukan barang baru. Perkumpulan pelajar tersebut adalah Djama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azhariah al-Djawiah yang berdiri sejak 1922.[v] Aktivitas mereka terhadap solidaritas dunia Islam, misalnya ditunjukkan lewat kehadiran anggotanya, Muchtar Luthfi dalam Mu’tamar Islam yang dihelat di Mekkah pada tahun 1926 oleh Ibnu Saud dan turut dihadiri oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan K.H. Mas Mansur sebagai wakil dari Hindia Belanda.[vi] Di tahun yang sama, Djama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azhariah al-Djawiah dengan usaha mereka, Indonesia memiliki delegasi dalam Konferensi Islam di Kairo yang diwakili oleh Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad.[vii]
Abdul Kahar Muzakkir dan Kongres Muslim Sedunia di Yerusalem
Isu Palestina semakin mendapat perhatian pelajar Indonesia terutama ditunjukkan dengan aktivitas Abdul Kahar Muzakkir yang juga pengurus dari Djama’ah al-Chairiah al-Talabijja al-Azhariah al-Djawiah. Lingkup aktivitasnya melibatkan organisasi lintas negara. Ditunjukkan salah satunya dengan mendirikan Jamiyatul Syubban Muslimin (Persatuan Pemuda Muslimin Sedunia). Namun dalam isu Palestina, keterlibatannya menjadi signifikan ketika ia menjadi peserta Kongres Muslim Sedunia (al-Muʾtamar al-Islāmī al-ʿĀm) di Yerusalem pada tahun 1931.[viii]
K.H. Abdul Kahar Muzakkir menjelang kongres tersebut menggambarkan harapannya kepada umat Islam di Indonesia. Dalam tulisannya kepada redaksi Surat Kabar Mustika yang dipimpin Haji Agus Salim, diawali dengan menjabarkan segala kesulitan yang tengah menimpa umat Islam.
“Sudah lama kita Ummat Islam tidak mempunyai “pertalian”. Sudah lama ummat yang tidak kurang banyaknya dari 450 miliun jiwa itu kalangkabut keadaannya, pecah-belah suaranya, masing-masing mencari hidupnya sendiri-sendiri dengan ta’ berpedoman Bersama. Khilafat tidak ada lagi. Negeri2 yang dibawah pemerintah asing dianiaya, negeri-negeri yang merdeka ta’ dapat menolong.
Saudara-saudara kita disiksa oleh musuhnya, diserang, dibunuh, kita tak dapat menolong melainkan kita dipaksa menonton saja. Bahkan kita di Indonesia sendiri dibuat dengan sekehendak “Tuan” kita, dan saudara-saudara kita Muslimin tidak dapat dengar, tak dapat tahu, apalagi menolong kita.”
Ummat Islam di Palestina dimusuhi Yahudi dan Inggris, di Maroko dipaksa masuk Kristen, di Tripoli dibinasakan, kita di sini diperangi oleh lain bangsa dan agama, dengan beberapa macam senjata, senjata uang, pangkat, sekolah dan dengan orang-orang kaum padri (pendeta,-pen) yang memurtadkan anak-anak kita Islam daripada agama kita.”[ix]
Namun tokoh yang berlatar Muhammadiyah tersebut tidak putus asa. Ia menyandarkan harapan kepada Kongres Muslim Sedunia. Dalam Mustika edisi 11 Desember 1931, harapan itu ia bentangkan kepada kongres:
“Kecelakaan kita Muslimin masih lebih dari politik, keduniaan, kehidupan, ibadat dan pelajaran. Semua itu dengan sekuasanya akan diperbincangkan di dalam rapat konggres Islam itu. Mudah-mudahan usaha mereka dapatlah hasil baik. Tapi kita harus ingat pula bahwa memperbaiki sesuatu hal itu ta’ dapat dengan sepatah kata, sebuah kerja dan sepucuk surat.
Akan dibicarakan pendirian sebuah “Universiteit Islam” dengan pelajaran dan aturan moderen, dan ta’ menghilangkan agama Islam. Beaya sekolah tinggi itu akan dikumpulkan dari segenap Alam Islam. Penganjur fikiran ini ialah saudara-saudara kita Muslimin di Timur Dekat dan di India yang akan menyokong dengan buah fikiran dan uang. Apakah kita dari Indonesia ini bisa bikin waqaf-waqaf juga buat Amal Jariyah yang mulia itu?”[x]
Kongres ini sendiri sejatinya diprakarsai oleh Mufti Palestina, Amin al-Husayni (1897-1974) yang terlibat sangat aktfi dalam mengangkat isu Palestina ke negara-negara berpenduduk Muslim di dunia, termasuk nantinya Indonesia. Dan tujuan utama kongres ini tak bisa di lepaskan dari peristiwa Perlawanan al-Buraq yang menyangkut nasib Masjidil Aqsha.[xi]
Kongres ini dihadiri oleh 145 delegasi dari berbagai wilayah. Dari Mesir, hadir ulama Syaikh Rashid Ridha, dari Mesir, Abd al-Rahman Azzam -kelak menjadi Sekjen Liga Arab- hadir mewakili Partai Wafd. Dari Suriah hadir Shukri al-Quwwatli yang nantinya menjadi Perdana Menteri Suriah. Dari Aljazair hadir Said al-Jazairi, cucu dari tokoh perlawanan Aljazair, Abdul Qadir al-Jaziri. Dari India, diwakili oleh tokoh Intelektual Sir Muhammad Iqbal. Hadir pula, Said Shamil, cucu dari tokoh perlawanan anti-Rusia dari Chechnya, Imam Shamil.[xii] Dari Indonesia diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir dan dari Malaysia diwakili oleh Abu Bakar Asyari. Meski Abdul Kahar Muzakkir menjadi peserta termuda saat itu namun kontribusinya menjadi signifikan ketika ia ditunjuk menjadi Sekretaris kongres tersebut[xiii]
Kongres yang dihelat sejak 6-17 Desember 1931 tersebut menghasilkan beberapa putusan seperti kecaman terhadap imigrasi dan pembelian tanah dan rencana terhadap Masjidil Aqsha oleh kaum Yahudi, pemboikotan barang zionis, dan rencana pendirian universitas di Yerusalem.[xiv]
Kongres tersebut menghasilkan beberapa resolusi, diantaranya; penyelenggaraan kongres akan diadakan dua tahun sekali, direncanakan berdirinya Universitas Masjidil Aqsha, Buraq al-Sharif harus dibela dan kesuciannya harus dihormati, laporan Komisi Tembok Ratapan harus ditolak, misi Kristen harus ditolak tetapi berterima kasih atas dukungan umat Kristen di Palestina dan Jordania, mengutuk zionisme dan menolak penjualan tanah kepada Yahudi.[xv]
Hasil dari kongres ini tak dapat dikatakan berdampak langsung pada perubahan nasib Palestina. Negara-negara muslim saat itu sebagian masih dalam cengkeraman kolonialisme dan tak berdaya menolong Palestina. Di Hindia Belanda, Majalah Al-Wafd yang menjadi corong Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di Sulawesi Selatan menulis situasi yang mengenaskan tersebut,
“Tanah muslim telah menjadi tanah yang subur untuk benih-benih imperialisme dan kapitalisme. Kita belum lupa bagaimana Kongres Masyarakat Islam di Yerusalem dan Kongres Khilafah di Mesir tidak membahas siyasah agar kita bekerja sama, terutama di Asia di mana banyak [orang] beragama Islam.”[xvi]
Meski beberapa resolusi kongres, seperti pendirian universitas, nantinya tidak tercapai, namun kongres tesebut setidaknya berhasil menarik perhatian masyarakat Muslim di timur jauh akan nasib Palestina.[xvii] Termasuk tokoh Muslim dari Indonesia seperti Abdul Kahar Muzakkir tetap yang mempertahankan perhatian dan hubungannya dengan isu Palestina.Ia sempat menjadi editor dari surat kabar Palestina, Al-Ṯaura.[xviii] Dan lebih penting, hubungannya dengan Mufti Palestina, Amin al-Husayni yang kelak mempererat hubungan antara Palestina dan Indonesia nantinya.
Sikap Kaum Zionis di Hindia Belanda
Hubungan tokoh-tokoh dari Palestina dengan masyarakat di Hindia Belanda bahkan telah dimulai sebelum kongres. Pada Maret hingga April 1930, media berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda memberitakan respon terhadap kabar akan datangnya utusan Dewan Tinggi Syariah Muslim di Yerusalem (Supreme Muslim Sharia Council /Al-Majlis al-Islami al-Shari’a al-A’la) ke Hindia Belanda.
Dewan ini adalah badan yang dibentuk dan berdiri di bawah Pemerintahan Mandat Inggris di Palestina dan diketuai oleh Syaikh Amin al-Husaini.[xix] Dewan ini berencana mengumpulkan donasi untuk Masjid Umar dan Al-Aqsha. Surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië pada 6 Maret 1930 mengabarkan reaksi Liga Zionis yang menuding Dewan Tinggi Syariah Muslim yang diketuai Amin al-Husayni dekat dengan kegiatan politik di Arab termasuk kegiatan pengumpulan dana tersebut. Lebih jauh Dewan Tinggi ini dituding bersekutu Moskow (Komunis).[xx]
Isu ini terus bergulir. Pada 11 April 1930, De Indische Courant melaporkan reaksi dari Nederlandshce Zionistbond bahwa pengumpulan dana Dewan Tinggi tersebut hanyalah kedok untuk pengumpulan dana kegiatan politik di Arab. Ketua Dewan tersebut, Amin al-Husayni dituding menjalin hubungan dengan Moskow dan dalang di balik konflik yang pecah antara Muslim dan Yahudi pada Agustus 1928. Amin al-Husayni disebut masuk dalam daftar hitam pemerintah Inggris. Mereka juga menyebut sejauh ini, tidak ada permintaan izin untuk memasuki Hinda Belanda dan hanya izin untuk memasuki Singapura secara terbatas.[xxi]
Terlepas tidak terjadinya kunjungan dan pengumpulan dana tersebut di Hindia, setidaknya telah Nampak reaksi anti-Palestina di Hindia Belanda yang digalang oleh kelompok pro-Zionis seperti Nederlandsche Zionistbond. Hubungan antara Muslim Hindia Belanda meski belum terjalin secara luas tetapi perlahan dirintis oleh para tokoh Muslim, termasuk Abdul Kahar Muzakkir yang pernah bekerja sama dengan Amin al-Husayni di Kongres Muslim di Yerusalem.
Pada tahun-tahun berikutnya, kesadaran hubungan antara Palestina pada Muslim Hindia Belanda terus menguat. Pada tahun 1932, Al-Difa mengangkat mengenai pengajaran huruf Arab dalam pendidikan di Indonesia. Dua tahun kemudian, pada edisi 7 Agustus 1934, Al-Difa mengangkat kisah lahirnya kerajaan Islam di Indonesia termasuk kisah dakwah Walisanga. Bahkan isu politik di Indonesia juga menjadi sorotan pada edisi tahun 1935 dengan diangkatnya situasi politik di Indonesia dan partai-partai yang terlibat dalam Volksraad. Kesinambungan kisah Indonesia setidaknya menggambarkan mulai diperhatikannya Muslim Indonesia sebagai satu komunitas Muslim yang jauh.[xxii]
[i] Lukman, Gilang Al Ghifari. “Indonesia and The Question of Palestine. Navigating Religious and Third Worldist Currents.” Tesis tidak diterbitkan, University of Oxford, 2021.
[ii] Jbara, Taysir. Palestinian Leader Hajj Amin Al-Husayni. Mufti of Jerusalem. New Jersey: Kingston Press, Inc, 1985.
[iii] Lukman, Gilang Al Ghifari. 2001.
[iv] Lukman, Gilang Al Ghifari. 2001.
[v] Roff, William R.. “Indonesian and Malay Students in Cairo in 1920’s.” Indonesia 9 (1970): 73-87.
[vi] Roff, William R. 1970.
[vii] Hassan, M. Zein. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
[viii] Lukman, Gilang Al Ghifari. 2001.
[ix] Mustika, 11 Desember 1931
[x] Mustika, 11 Desember 1931
[xi] Kramer, Martin. Islam Assembled. The Advent of Muslim Congress. New York: Columbia University Press, 1986.
[xii] Kramer, Martin. 1986.
[xiii] Lukman, Gilang Al Ghifari. 2001.
[xiv] Mattar, Philip. The Mufti of Jerusalem. Al-Hajj Amin al-Husayni and The Palestinian National Movement. New York: Columbia University Press, 1988.
[xv] Jbara, Taysir. 1985.
[xvi] Al Wafd edisi No. 1, Januari 1933 dalam Ali, Muhammad. Islam dan Penjajahan Barat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2017.
[xvii] Jbara, Taysir. 1985.
[xviii] Lukman, Gilang Al Ghifari. 2001.
[xix] Jbara, Taysir. 1985.
[xx] Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 6 Maret 1930
[xxi] De Indische Courant, 11 April 1930
[xxii] Lukman, Gilang Al Ghifari. 2001.