Pemerintah Suriah dan Turki menyepakati pembangunan jalur pipa gas baru yang menghubungkan kedua negara serta penyelesaian sambungan jaringan listrik tegangan tinggi 400 kilovolt (kV).
Langkah ini diyakini akan membawa perubahan signifikan dalam peningkatan pasokan listrik di Suriah, yang selama bertahun-tahun mengalami krisis energi.
Pengumuman tersebut disampaikan dalam konferensi pers bersama Menteri Energi Suriah Mohammad al-Bashir dan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Turki, Alparslan Bayraktar.
Konferensi itu setelah rangkaian pembicaraan mendalam mengenai kerja sama di bidang energi, listrik, dan pertambangan.
Kerja sama ini menjadi bagian dari upaya lebih luas Suriah dalam rekonstruksi nasional pasca-perang.
“Diharapkan koneksi listrik ini mulai beroperasi sebelum akhir tahun ini,” ujar al-Bashir.
Ia juga menambahkan bahwa kedua negara sepakat membentuk tim teknis lintas sektor energi untuk memastikan implementasi seluruh kesepakatan berjalan sesuai rencana.
Bayraktar menyatakan bahwa Turki telah mulai menyalurkan 2 miliar meter kubik gas alam ke Suriah.
Pasokan ini diperkirakan dapat menghasilkan sekitar 1.300 megawatt listrik. Menurutnya, proyek-proyek yang sedang berjalan berfokus pada pembangunan kembali infrastruktur energi dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Suriah, khususnya dalam sektor listrik dan energi.
Lebih lanjut, Bayraktar menyebutkan bahwa sejumlah perusahaan besar yang pernah beroperasi di Suriah kini menunjukkan ketertarikan untuk kembali berinvestasi.
Ia menilai bahwa pencabutan sanksi internasional, bersamaan dengan proyek-proyek bersama, dapat menjadi daya tarik kuat bagi masuknya investasi asing ke pasar Suriah.
Kedua menteri menekankan pentingnya koordinasi berkelanjutan untuk membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan Turki agar dapat berpartisipasi dalam sektor-sektor vital di Suriah, seperti pertambangan, fosfat, dan energi.
Keterlibatan ini diharapkan mendukung jalannya proses rekonstruksi dan pemulihan ekonomi nasional.
Memutar kembali roda produksi
Sementara itu, ekonom Suriah Dr. Ibrahim Qushaji menggarisbawahi bahwa sejak 2011, Suriah mengalami defisit energi parah yang berdampak luas.
Kelangkaan dan lonjakan harga bahan bakar seperti solar, bensin, minyak bakar, dan gas menyebabkan maraknya pasar gelap serta membebani ongkos produksi, khususnya di sektor industri makanan, transportasi, dan manufaktur.
Dalam keterangannya kepada Al Jazeera Net, Qushaji menjelaskan bahwa dalam kondisi tersebut, banyak warga beralih ke energi surya sebagai alternatif, meskipun biayanya cukup tinggi.
Namun, pasca “fase pembebasan,” situasi mulai membaik. Ketersediaan bahan bakar meningkat dan harga berangsur turun di berbagai provinsi.
Qushaji juga menyebut bahwa pemerintah Suriah kini berupaya menjalin kesepakatan dengan negara-negara tetangga, termasuk Turki dan Yordania, untuk penyediaan listrik, gas, serta suku cadang pembangkit listrik.
Inisiatif ini ditujukan untuk mengurangi krisis energi dan menstabilkan aliran listrik di seluruh negeri.
Ia menekankan bahwa pasokan listrik yang stabil dan berkelanjutan, seperti yang dijanjikan dalam kerja sama dengan Turki, berpotensi menggerakkan kembali sektor industri.
Selain itu, biaya produksi yang lebih rendah akan menarik kembali minat para investor, baik dari dalam maupun luar negeri.
“Setiap indikator positif dalam perbaikan iklim investasi akan menjadi magnet bagi para pebisnis diaspora untuk kembali ke tanah air dan menanamkan modal mereka,” tegas Qushaji.
Ia menambahkan bahwa perjanjian dengan negara tetangga merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah serius membangun kembali infrastruktur dan menciptakan kepastian bagi para investor.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa stabilitas pasokan listrik bukan sekadar peningkatan kualitas hidup sehari-hari warga, melainkan fondasi utama bagi pembangunan ekonomi, penciptaan iklim investasi yang sehat, dan percepatan pemulihan ekonomi nasional.