Tuesday, September 2, 2025
HomeBeritaTanpa intelijen akurat, Israel diprediksi gagal kuasai Kota Gaza

Tanpa intelijen akurat, Israel diprediksi gagal kuasai Kota Gaza

 

Analis militer Al Jazeera, Kolonel Nidal Abu Zaid, mengkritik tajam estimasi militer Israel terkait pendudukan Kota Gaza. Menurutnya, perhitungan tersebut tidak akurat dan tampak tidak didasari oleh analisis intelijen yang matang.

Abu Zaid memperingatkan bahwa pasukan Israel menghadapi risiko besar untuk “tenggelam” dalam medan pertempuran perkotaan yang kompleks. Ia menyoroti tajamnya perbedaan pandangan antara militer dan kalangan politik soal durasi operasi: militer memperkirakan butuh waktu hingga setahun, sementara kalangan politik menginginkan semuanya rampung dalam waktu tiga bulan.

Perkiraan korban jiwa juga dinilai meleset. Abu Zaid menunjuk pada operasi terbaru kelompok perlawanan di lingkungan Zeitun, kawasan tenggara Gaza, yang menyebabkan jatuhnya korban di pihak Israel. Channel 13 Israel sendiri melaporkan bahwa militer memprediksi sekitar 100 tentara mungkin gugur dalam operasi perebutan Kota Gaza.

Yang lebih mengkhawatirkan, laporan tersebut menyebut militer akan memasuki Gaza dengan tingkat keyakinan yang rendah terhadap keberhasilan misi. Lembaga-lembaga keamanan disebut turut berbagi pandangan pesimistis ini.

Dari sisi kesiapan, mobilisasi pasukan juga menjadi tantangan besar. Menurut Abu Zaid, proses pengerahan 60.000 personel yang diperlukan memerlukan waktu paling tidak satu setengah bulan, sesuai dengan hukum dinas militer Israel. Sementara itu, Channel 12 melaporkan bahwa militer mulai Selasa telah memulai proses perekrutan pasukan cadangan dalam jumlah besar.

Pada tahap awal, lima brigade—sekitar 15.000 personel—akan dikerahkan ke perbatasan Lebanon, Suriah, dan Tepi Barat. Langkah ini dilakukan untuk mengalihkan beban dari pasukan reguler, agar fokus bisa diarahkan sepenuhnya ke Gaza.

Namun bagi Abu Zaid, semua angka dan skenario yang tumpang tindih itu justru menegaskan satu hal: kompleksitas situasi ini hanya bisa dipahami secara utuh oleh kalangan militer dan keamanan, yang karenanya mulai mendorong opsi kembali ke meja perundingan untuk mencapai kesepakatan pertukaran tawanan.

Dalam pandangannya, Kepala Staf Eyal Zamir kini dihadapkan pada tiga dilema yang saling berkaitan: apa yang diperintahkan kepadanya, apa yang sebenarnya bisa dilakukan, dan apa yang justru membelenggunya.

Zamir diminta mengeksekusi operasi besar dan mencapai target konkret. Tapi di saat yang sama, ia harus menghadapi rendahnya minat masyarakat untuk bergabung—sekitar 40 persen menolak dipanggil sebagai cadangan—ditambah keterbatasan logistik dan kapasitas militer itu sendiri.

Abu Zaid menyimpulkan bahwa situasi ini kemungkinan besar akan menyeret konflik ke dalam pola baru, di mana keputusan militer lebih banyak dikendalikan oleh pertimbangan politik ketimbang kalkulasi strategis murni. Dampaknya, risiko terjebak dalam konflik berkepanjangan, khususnya perang kota di Gaza, semakin besar.

Sebagai catatan, harian Haaretz sebelumnya melaporkan bahwa hingga kini, sebanyak 900 prajurit dan perwira Israel telah tewas sejak pecahnya Operasi “Thaufan Al-Aqsha” pada 7 Oktober 2023.

 

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular