Seorang prajurit cadangan militer Israel melakukan bunuh diri akibat gangguan jiwa setelah bertugas selama enam bulan di Gaza.
CNN melaporkan pada 21/10, prajurit itu bernama Eliran Mizrahi, anggota pasukan cadangan berusia 40 tahun, asal pemukiman Yahud ilegal di Tepi Barat Palestina yang terjajah.
Menurut penuturan keluarganya kepada CNN, Mizrahi mengalami trauma dengan pengalamannya selama melakukan genosida di Gaza.
Enam bulan setelah ia pertama kali dikirim ke medan perang, Mizrahi mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD) di rumah. Sebelum ia kembali dikerahkan ke medan perang, ia mengakhiri hidupnya.
“Ia memang keluar dari Gaza, tetapi Gaza tidak pernah meninggalkannya. Dan dia meninggal karena trauma yang dialaminya,” kata Jenny Mizrahi, ibunya.
Militer Israel menyatakan telah memberikan perawatan kepada ribuan prajurit yang mengalami PTSD atau gangguan mental akibat trauma selama perang. Namun, tidak jelas berapa banyak yang telah mengakhiri hidupnya, karena Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tidak memberikan angka resmi.
“Sebagian besar dari kami sangat takut untuk dipanggil lagi ke perang di Lebanon,” ujar seorang tenaga medis IDF yang bertugas selama empat bulan di Gaza kepada CNN.
“Banyak dari kami saat ini tidak lagi mempercayai pemerintah.”
Bagi banyak prajurit, perang di Gaza adalah pertarungan untuk kelangsungan hidup Israel dan harus dimenangkan dengan cara apa pun.
Namun, pertempuran ini juga meninggalkan beban mental yang sangat berat. Karena stigma, banyak tentara Israel yang memilih untuk menyembunyikannya.
Wawancara dengan prajurit Israel, seorang tenaga medis, dan keluarga Mizrahi memberikan gambaran tentang dampak psikologis yang ditanggung oleh masyarakat Israel akibat perang tersebut.
Melindas warga Gaza dengan buldoser
Mizrahi dikirim ke Gaza pada 8 Oktober tahun lalu. Dia ditugaskan mengendarai buldoser D-9, kendaraan lapis baja seberat 62 ton yang mampu menahan peluru dan bahan peledak.
Mizrahi adalah seorang sipil yang bekerja sebagai manajer di perusahaan konstruksi Israel.
Prajurit cadangan tersebut menghabiskan 186 hari di Gaza hingga mengalami cedera pada lututnya. Dia kehilangan pendengarannya pada Februari ketika kendaraan yang ia tumpangi dihantam granat berpeluncur roket (RPG).
Ia dipulangkan dari Gaza untuk menjalani perawatan dan didiagnosis dengan PTSD pada bulan April, menerima terapi percakapan mingguan.
Namun, perawatan tersebut tidak berhasil.
“Mereka tidak tahu bagaimana cara merawat para prajurit ini,” kata Jenny yang tinggal di permukiman Ma’ale Adumim, Tepi Barat yang dijajah Israel.
“Para prajurit mengatakan bahwa perang ini sangat berbeda. Mereka melihat hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di Israel.”
Ketika Mizrahi sedang cuti, ia sering mengalami kemarahan, berkeringat, insomnia, dan penarikan sosial, kata keluarganya.
Ia mengatakan kepada keluarganya, hanya mereka yang berada di Gaza bersamanya yang bisa memahami apa yang ia alami.
“Dia selalu mengatakan, ‘tak ada yang bisa mengerti apa yang saya lihat’,” kata adik perempuannya, Shir.
Jenny bertanya-tanya apakah anaknya pernah membunuh seseorang dan tidak bisa menanganinya.
Guy Zaken, teman Mizrahi yang juga pengemudi buldoser, memberikan gambaran lebih lanjut tentang pengalaman mereka di Gaza.
Zaken mengaku ia tidak lagi bisa makan daging, karena hal itu mengingatkannya pada adegan mengerikan yang ia saksikan di Gaza dari buldosernya. Dia megaku sulit untuk tidur karena suara ledakan masih terus terngiang.
Dalam pengakuannya di parlemen Israel (Knesset) pada Juni, Zaken mengatakan, dalam banyak kesempataan mereka harus melindas warga Gaza – yang merek sebut teroris – dalam keadaan hidup atau mati, dalam jumlah ratusan.
“Semuanya muncrat!,” kata Zaken.
Setelah Mizrahi bunuh diri, foto-foto dan video dia membuldoser bangunan-bangunan di Gaza beredar di media sosial. Saudara perempuannya, Shir, mengatakan dia melihat komentar-komentar negatif tentang Mizrahi.
“Itu sangat sulit,” katanya yang mengaku Mirzrahi “punya hati yang baik”.
Tetapi, meskipun Mizrahi mengidap PTSD, keluarganya sepakat mengirimnya ke Gaza ketika militer memanggilnya kembali. Dua hari sebelum bertugas, Mizrahi bunuh diri.
Koran Israel, Haaretz melaporkan ada 10 tentara bunuh diri pada periode 7 Oktober 2023 – Mei 2024.
CNN menanyakan angka bunuh diiri di IDF sejak 7 Oktober, kepada psikolog sekaligus komandan IDF Uzi Bechor. Kata dia, pihaknya tidak boleh memberikan angka itu.
“Angka bunuh diri di militer kurang lebih stabil selama lima atau enam tahun ini,” kata Bechor.
Dia menambahkan, jika jumlahnya naik, rasionya akan tetap sama karena kita punya lebih banyak tentara.
“Bukan berarti ada tren kenaikan angka bunuh diri,” tukasnya kepada CNN.
Pada Agustus, Divisi Rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel menyatakan, setiap bulan ada lebih dari 1000 cidera, dan 35 persen dari mereka mengeluhkan gangguan mental.
Pada akhir tahun ini diperkirakan, 40 persen dari 14,000 tentara akan mengalami gangguan jiwa.
CNN menulis, menurut Kementerian Kesehatan Israel lebih dari 500 orang tewas bunuh diri di Israel, dan lebih dari 6,000 percobaan bunuh diri yang tercatat setiap tahun.
Bahkan menurut kementerian itu, laporan itu dikecilkan sekitar 23 persen dari total angka yang ada.
Pada 2021, bunuh diri adalah penyebab tertinggi penyebab kematian di antara tentara Israel. Menurut Times of Israel, pada 2021 setidaknya 11 tentara melakukan bunuh diri.
Baca juga: Tentara Israel mulai merasa putus asa dan lelah berperang di Gaza
Baca juga: 10.000 tentara Israel tewas dan terluka sejak 7 Oktober