Afrika Selatan, Malaysia, dan Kolombia menegaskan bahwa tindakan Israel telah merusak hukum internasional secara mendasar.
Mereka menekankan bahwa hanya kerja sama kolektif antarnegara dapat mengakhiri impunitas dan menegakkan supremasi hukum.
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Presiden Kolombia Gustavo Petro, dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyatakan bahwa satu-satunya solusi terhadap apa yang terjadi di Gaza adalah memperkuat kerja sama bersama untuk mencegah runtuhnya hukum internasional. Hal ini sebagaimana ditulis dalam sebuah artikel yang diterbitkan di majalah Foreign Policy Amerika Serikat pada Selasa lalu
Artikel tersebut juga melibatkan Varsha Gandikota-Nilotla, Koordinator Umum Organisasi Internasional Progresif dan Pejabat Sementara Ketua Kelompok Den Haag.
Kelompok ini didirikan pada 31 Januari 2025 di Den Haag, Belanda, dengan tujuan menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina.
Para pemimpin tersebut menegaskan bahwa tindakan ini bukan hanya untuk rakyat Gaza, tetapi juga demi masa depan dunia yang menjunjung keadilan dan menolak impunitas.
Artikel tersebut juga menyoroti bahwa sistem internasional tidak dapat bertahan jika terus dirusak oleh mereka.
Menurutnya, mereka menggunakan hak veto dan sanksi untuk melindungi sekutu dari pertanggungjawaban, atau memanfaatkan bantuan dan perdagangan sebagai alat pemaksaan.
500 hari pelanggaran
Para pemimpin ini menegaskan bahwa Israel telah melakukan pelanggaran hukum internasional selama lebih dari 500 hari.
Israel mendapat dukungan dari negara-negara kuat yang memberikan perlindungan diplomatik serta bantuan militer dan politik.
Mereka menyoroti bahwa kolusi ini telah memberikan pukulan telak terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
Mereka juga menegaskan bahwa sistem internasional yang memungkinkan terbunuhnya sekitar 61.000 orang adalah sistem yang gagal.
Meskipun pengadilan internasional telah mengambil tindakan, Israel tetap melanjutkan pelanggarannya.
Para pemimpin ini juga menyoroti bagaimana beberapa negara bahkan menentang keputusan pengadilan tertinggi dengan menjatuhkan sanksi terhadap pejabat dan agen Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pembersihan etnis
Para pemimpin ini mengecam usulan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump untuk merebut Gaza dan memindahkan penduduknya.
Mereka menyebutnya sebagai tindakan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina yang secara langsung merusak hukum internasional.
Mereka menegaskan bahwa komunitas internasional berkewajiban membela kelompok yang tertindas.
Dalam artikel mereka, ketiga pemimpin tersebut menyatakan bahwa serangan terhadap rakyat Palestina mengingatkan pada babak kelam dalam sejarah masing-masing negara.
Sejarah tersebut di antaranya, apartheid di Afrika Selatan, perang melawan pemberontakan di Kolombia, dan pendudukan di Malaysia.
Mereka menegaskan bahwa ketidakadilan di mana pun merupakan ancaman bagi keadilan di seluruh dunia.
Menurut mereka, memperjuangkan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri adalah tanggung jawab bersama.
Mereka juga mengumumkan bahwa pemerintah mereka akan mematuhi perintah Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant.
Selain itu, mereka berjanji bahwa negara mereka akan melarang kapal yang membawa pasokan militer ke Israel menggunakan pelabuhan mereka.
Mereka juga akan menghentikan semua pengiriman senjata yang dapat digunakan untuk melanggar hukum internasional lebih lanjut.