Beirut, Lebanon
Pemimpin Druze Lebanon, Walid Jumblatt, pada hari Senin (3/3) menuduh “Zionis” telah memanfaatkan tentara dan perwira Druze untuk menekan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, seraya berusaha memperluas wilayah ke Jabal al-Arab di gubernuran Suwayda—benteng kaum Druze di Suriah.
“Individu-individu yang lemah semangat” mendorong terjadinya perang saudara, kata Jumblatt dalam sebuah pernyataan setelah pertemuan darurat Majelis Umum Dewan Sektarian Druze di markas besar sekte tersebut di Beirut, tempat anggota dewan membahas perkembangan terkini di Lebanon dan Suriah.
Jumblatt, yang juga merupakan mantan pemimpin Partai Sosialis Progresif, mengatakan, “Zionisme memanfaatkan orang-orang Druze sebagai tentara dan perwira untuk menekan rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat, dan sekarang mereka ingin merebut Jabal al-Arab (Durze) di Suriah.”
“Mereka ingin menarik beberapa individu lemah semangat ke dalam hal ini. Namun, rakyat Suriah tahu apa yang sedang mereka lakukan,” tambahnya, seraya mengumumkan rencana untuk mengunjungi Damaskus untuk menegaskan kembali peran Suriah sebagai titik acuan bagi komunitas Druze.
Terkait dengan Sheikh Mowafaq Tarif, pemimpin spiritual Druze di Israel, Jumblatt menegaskan, “Dia tidak mewakili kami dan didukung oleh kekuatan Zionis.”
Jumblatt memperingatkan bahwa beberapa orang sedang dipancing menuju jalur yang berbahaya, dan mengatakan, “Jika mereka berhasil, ini akan mengarah pada perang saudara yang hasilnya tidak dapat diprediksi.”
Membandingkan situasi saat ini dengan konflik-konflik sebelumnya, termasuk pendudukan Israel atas Beirut, Jumblatt menyebutkan bahwa kondisi ini “jauh lebih berbahaya daripada yang pernah kami alami sebelumnya.”
“Mereka ingin merebut Jabal al-Arab. Kita harus mempertahankan identitas Arab kita, atau kita akan terjerumus dalam skema Zionis,” tegasnya.
Komunitas Druze, yang terdiri dari sekitar 3% dari populasi Suriah, juga dikenal sebagai “Al-Muwahhidun” (kaum Unitarians), sebagian besar terkonsentrasi di provinsi selatan Suwayda, dengan komunitas yang lebih kecil di Damaskus, daerah sekitarnya, Quneitra, dan utara Idlib.
Pada hari Sabtu (1/3), ketegangan meningkat di Jaramana, dekat Damaskus, akibat bentrokan antara milisi bersenjata yang menolak untuk menyerahkan senjata. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Israel Katz memerintahkan militer untuk “bersiap melindungi” apa yang mereka sebut sebagai “kota Druze.”
Bashar al-Assad, pemimpin Suriah selama hampir 25 tahun, melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember, mengakhiri rezim Partai Baath yang telah berkuasa sejak 1963.
Keesokan harinya, Ahmed al-Sharaa, pemimpin administrasi Suriah yang baru, yang dilantik sebagai presiden pada 29 Januari, menugaskan Mohammed Al-Bashir untuk membentuk pemerintahan yang akan mengawasi periode transisi Suriah.
Setelah jatuhnya rezim Assad, Israel memperluas pendudukannya di Dataran Tinggi Golan Suriah dengan merebut zona penyangga yang tidak bersenjata, sebuah langkah yang melanggar perjanjian disengagement 1974 dengan Suriah. Israel juga meningkatkan serangan udara yang menargetkan posisi militer Suriah di seluruh negara.
Kemajuan militer Israel baru-baru ini di Dataran Tinggi Golan, yang telah diduduki sejak 1967, mendapat kecaman dari PBB dan beberapa negara Arab.