Harapan untuk tercapainya kesepakatan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas kembali mencuat setelah laporan dari media Arab dan Israel menyebut adanya kemungkinan “kesepakatan bertahap”.
Dikutip dari Aljazeera, Pendekatan ini dikatakan mirip dengan perjanjian gencatan senjata yang pernah dilakukan Israel dengan Hizbullah di Lebanon.
Sumber politik Israel menyebutkan, Tel Aviv dan Hamas sedang mendekati kesepakatan awal yang mencakup gencatan senjata selama dua bulan.
Hal itu termasuk pembebasan tahanan dari kedua belah pihak—terutama perempuan, lansia, dan orang sakit—serta penarikan tentara Israel dari beberapa wilayah di Gaza.
Dalam pernyataan eksklusif kepada Al Jazeera, Mahmoud Mardawi, salah satu pemimpin Hamas, menegaskan kelompoknya selalu terbuka untuk mencapai kesepakatan.
Menurutnya, prioritas utama Hamas adalah menghentikan pembantaian, kelaparan, dan pengungsian yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.
“Kami ingin rakyat kami bisa kembali ke rumah mereka, atau setidaknya apa yang tersisa dari rumah-rumah itu, setelah kesepakatan dicapai,” ujar Mardawi.
Hamas Dorong Kesepakatan, Israel Masih Ragu
Mardawi menyatakan bahwa Hamas telah menunjukkan fleksibilitas dalam menanggapi setiap proposal yang diajukan.
“Kami telah mengejutkan para mediator dengan kemampuan kami untuk beradaptasi dengan berbagai usulan,” ungkapnya.
Namun, ia menuduh Israel, khususnya di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, enggan memenuhi syarat minimal kesepakatan, seperti penarikan pasukan, kembalinya pengungsi, dan upaya rekonstruksi Gaza.
Menurut Mardawi, Netanyahu saat ini berada di bawah tekanan kelompok nasionalis dan religius ekstrem yang mengancam akan menjatuhkan pemerintahannya jika ia menyetujui kesepakatan.
“Israel hingga saat ini belum membuat keputusan akhir mengenai kesepakatan tersebut,” katanya, seraya berharap tekanan dari Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump dan dukungan regional dapat mengubah situasi.
Netanyahu Dianggap Tidak Serius
Mardawi juga mengungkapkan bahwa Netanyahu sebelumnya sempat menyetujui kesepakatan pada Januari lalu, yang dianggap “dapat diterima” oleh Hamas dan para mediator.
Namun, kesepakatan itu batal di menit-menit terakhir. “Sekarang, Netanyahu tidak punya alasan untuk terus menunda. Tekanan internal dan regional semakin kuat, terutama karena masyarakat Israel mulai lelah dengan dampak perang yang terus berlanjut,” ujar Mardawi.
Hamas, lanjutnya, menuntut agar kesepakatan yang akan dicapai memenuhi beberapa poin utama, seperti kembalinya para pengungsi, bantuan kemanusiaan, dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
“Ini semua harus dilakukan dalam kerangka gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang komprehensif,” tegasnya.
Harapan dari Kairo
Harapan terhadap kesepakatan ini semakin meningkat setelah Hamas dan Fatah menunjukkan kemajuan dalam pembicaraan mereka di Kairo, yang dimediasi Mesir.
Namun, usulan pembentukan Komite Dukungan Masyarakat oleh kedua pihak mendapat penolakan dari Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Komite Eksekutif Fatah.
Sementara itu, tekanan terhadap Netanyahu terus meningkat, baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional, seiring dengan makin besarnya beban perang bagi masyarakat Israel.
Kini, semua pihak menunggu apakah Netanyahu bersedia mengambil langkah nyata untuk mengakhiri konflik yang telah menyebabkan penderitaan besar di kedua belah pihak.