Saturday, October 18, 2025
HomeBeritaTubuh kurus di balik jeruji: Potret penderitaan para pemimpin Palestina

Tubuh kurus di balik jeruji: Potret penderitaan para pemimpin Palestina

Seperti pada kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, daftar tahanan Palestina yang dibebaskan dalam tahap ketiga perjanjian pertukaran “Thaufan al-Aqsha” tidak mencantumkan nama-nama besar para pemimpin gerakan tahanan di penjara-penjara Israel.

Ketidakhadiran mereka nyaris menggagalkan jalannya perundingan menuju finalisasi kesepakatan tersebut, yang menjadi bagian dari rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump untuk menghentikan perang di Gaza yang dimulai pada Jumat lalu.

Menurut Kantor Media Tahanan, lembaga di bawah Gerakan Hamas, perundingan soal nama-nama tahanan yang akan dilepaskan menghadapi “rintangan yang rumit”.

Saat daftar resmi diumumkan pada Sabtu pagi, tidak satu pun tokoh utama gerakan tahanan Palestina tercantum di dalamnya.

Lembaga-lembaga Palestina yang berfokus pada urusan tahanan menegaskan dalam berbagai pernyataan bahwa otoritas pendudukan Israel tidak hanya menolak membebaskan para pemimpin tersebut, tetapi juga menyiksa mereka dengan brutal.

Selama 2 tahun terakhir, lembaga-lembaga itu memublikasikan kesaksian para tahanan tentang kondisi penahanan yang digambarkan sangat kejam dan tidak manusiawi.

Berikut potret sejumlah pemimpin gerakan tahanan yang hingga kini masih disiksa dan ditahan Israel tanpa kepastian pembebasan.

M Marwan Barghouti (66 tahun)

Marwan Barghouti berasal dari Desa Kober di barat laut Ramallah. Ia dikenal sebagai politisi dan tokoh penting dalam Gerakan Fatah, serta turut berperan dalam dua intifada: 1987 dan 2000.

Ia terakhir kali ditangkap pada tahun 2004 dan dijatuhi hukuman lima kali penjara seumur hidup, dengan tuduhan memimpin Brigade Syuhada al-Aqsha, sayap militer Fatah selama Intifada al-Aqsa.

Pada 15 Agustus tahun lalu, Menteri Keamanan Israel Itamar Ben-Gvir dilaporkan menggerebek sel tahanan Barghouti dan mengancam keselamatannya.

Keluarganya kemudian menyatakan terkejut melihat wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang sangat kurus, menimbulkan kekhawatiran akan nasibnya di balik jeruji.

Barghouti dianggap sebagai sosok yang berpotensi menyatukan faksi-faksi Palestina. Pada 2006, ia turut menyusun Dokumen Tahanan, yang kemudian diubah menjadi Piagam Rekonsiliasi Nasional.

Tiga tahun kemudian, ia terpilih sebagai anggota Komite Pusat Fatah, dan pada Januari 2021 sempat mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu yang akhirnya dibatalkan—langkah yang dianggap menantang keputusan resmi partainya.

Pada Rabu lalu, Gerakan Fatah menyatakan bahwa Barghouti mengalami “serangan brutal” saat dipindahkan dari Penjara Rimon ke Megiddo.

Abdullah Barghouti (54 tahun)

Abdullah Barghouti lahir di Kuwait dan mengenyam pendidikan dasar di sana. Setelah Perang Teluk 1990, ia berpindah ke Yordania dan beberapa negara lain sebelum akhirnya tiba di Palestina pada 1998.

Namanya mencuat pada Intifada Kedua (2000) sebagai salah satu perancang utama operasi militer Brigade al-Qassam, sayap bersenjata Hamas.

Israel menuduhnya bertanggung jawab atas tewasnya 66 warga Israel dan melukai lebih dari 500 lainnya.

Ia ditangkap pada Maret 2003 dan menjalani sepuluh tahun isolasi tunggal. Hingga kini, ia menjalani hukuman penjara seumur hidup sebanyak 67 kali, yang merupakan hukuman terpanjang di dunia.

Pada Mei 2025, menurut laporan Kantor Media Tahanan, Abdullah disiksa secara keji hingga pingsan: dipukuli, disiram cairan panas, diterkam anjing penjaga, dan dibiarkan tanpa perawatan.

Tubuhnya dipenuhi memar, matanya bengkak, rusuknya patah, dan ia kehilangan kemampuan tidur akibat trauma yang mendalam.

Hassan Salameh (54 tahun)

Hassan Salameh dikenal sebagai salah satu komandan penting Brigade al-Qassam. Ia lahir di Kamp Pengungsi Khan Younis, Gaza selatan, dan ditangkap di Hebron pada 1996.

Ia dijatuhi 48 kali hukuman penjara seumur hidup plus 30 tahun tambahan, dan telah menjalani 13 tahun di ruang isolasi.

Tunangannya, Ghufran Zamel, berkali-kali melaporkan kondisi buruk yang dialami Salameh: pemukulan terus-menerus, kekurangan gizi, serta ancaman dari intelijen Israel bahwa ia “tidak akan dibebaskan dalam keadaan apa pun”.

Pada Agustus tahun lalu, ia dilaporkan dipukuli saat tangan dan kakinya diborgol. Kepalanya terluka parah dan ia dibiarkan berdarah selama dua jam tanpa perawatan medis.

Abbas al-Sayyid (59 tahun)

Abbas al-Sayyid adalah komandan militer Brigade al-Qassam dari Kota Tulkarem. Ia ditangkap pada 2002 dan dijatuhi 35 kali hukuman penjara seumur hidup.

Kini ia mengalami kehilangan penglihatan secara bertahap, menderita penyakit kulit parah (scabies), serta kekurangan berat badan ekstrem akibat kebijakan kelaparan di penjara.

Ibrahim Hamed (60 tahun)

Ibrahim Hamed berasal dari Desa Silwad, wilayah Ramallah, dan lulusan ilmu politik Universitas Birzeit.

Ia ditangkap pada 23 Mei 2006 setelah delapan tahun menjadi buronan dan menjalani tujuh tahun dalam sel isolasi, 6 di antaranya selama masa persidangan.

Israel menuduhnya merancang serangkaian operasi yang menewaskan sedikitnya 78 warga Israel dan melukai ratusan lainnya.

Ia dijatuhi 54 kali hukuman penjara seumur hidup, menjadikannya pemegang hukuman kedua terpanjang di dunia setelah Abdullah Barghouti.

Israel menolak memasukkan namanya ke daftar pertukaran tahanan, bahkan menolak untuk sekadar menegosiasikan pembebasannya.

Ahmad Sa’adat (72 tahun)

Ahmad Sa’adat lahir di Kota al-Bireh, Tepi Barat. Pada 2006, ia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) menggantikan Abu Ali Mustafa, yang dibunuh Israel pada 2001.

Pada tahun yang sama, ia ditangkap dari penjara Otoritas Palestina di Jericho setelah pasukan Israel menyerbu tempat itu.

Dua tahun kemudian, pengadilan militer Israel menjatuhkan hukuman 30 tahun penjara kepadanya dan rekan-rekannya.

Selama dua tahun terakhir, Sa’adat dilaporkan mengalami isolasi terus-menerus dalam kondisi yang sangat buruk.

Ahed Abu Ghoulmeh (57 tahun)

Abu Ghoulmeh berasal dari Beit Furik, dekat Nablus. Ia ditangkap bersama Sa’adat pada 2006 dan dijatuhi hukuman seumur hidup karena dituduh terlibat dalam operasi militer yang menewaskan Menteri Pariwisata Israel Rehavam Ze’evi pada 2001.

Menurut Kantor Media Tahanan, informasi tentang kondisinya selama perang sangat terbatas.

Namun, pada Juni lalu ia dilaporkan mengalami serangan brutal yang menyebabkan bahunya terlepas, tangan membengkak, dan tulang dadanya retak tanpa perawatan medis.

Ia terus dipindahkan antarpenjara dan mengalami pemukulan harian dalam upaya sistematis untuk “menghancurkan simbol perlawanan” di kalangan tahanan.

Muammar Shahrour (46 tahun)

Berasal dari Tulkarem, Shahrour adalah komandan senior Brigade al-Qassam. Ia ditangkap pada 2002 dan dijatuhi 29 kali penjara seumur hidup plus 20 tahun tambahan.

Ia mengalami penurunan berat badan ekstrem akibat kelaparan sistematis dan sering dipindahkan dari satu penjara ke penjara lain serta dijebloskan ke ruang isolasi.

Muhannad Shreim (49 tahun)

Tokoh Brigade al-Qassam lainnya dari Tulkarem, ditangkap pada 2002 dan dijatuhi 29 kali penjara seumur hidup plus 20 tahun tambahan.

Ia kini sangat kurus hingga kesulitan berbicara, serta menderita penyakit kulit berat (scabies) yang tak kunjung diobati.

Mengapa Mereka Tak Dibebaskan?

Sejumlah lembaga yang memantau nasib tahanan Palestina berulang kali mengecam diamnya Komite Internasional Palang Merah sejak 7 Oktober 2023.

Mereka menuntut lembaga tersebut menjelaskan secara terbuka mengapa otoritas Israel melarang kunjungan ke penjara-penjara.

Menurut Amjad al-Najjar, Direktur Klub Tahanan Palestina, para pemimpin tahanan mengalami puluhan aksi kekerasan brutal selama 2 tahun terakhir yang menyebabkan cacat permanen dan penyakit kronis.

Meski intensitas penyiksaan menurun belakangan ini, kondisi mereka disebut tetap “katastrofis”.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, al-Najjar menyampaikan kesaksian dari para tahanan yang baru dibebaskan dari sel-sel yang sama dengan para pemimpin tersebut.

“Mereka kini hanyalah kerangka hidup—tubuh kurus dan wajah pucat. Bukannya pulang ke rumah atau rumah sakit, mereka justru berjuang menahan sakit di balik jeruji,” katanya.

Ia menjelaskan, alasan utama Israel menolak pembebasan para tokoh ini adalah keyakinan bahwa sebagian dari mereka “akan kembali ke medan perlawanan bersenjata” setelah dibebaskan.

Sebuah kekhawatiran yang di kalangan Israel disebut sebagai “Fenomena Sinwar”, merujuk pada Yahiya Sinwar, pemimpin Hamas di Gaza yang pernah menjadi tahanan dan kemudian memimpin perlawanan.

Namun bagi tokoh-tokoh seperti Marwan Barghouti dan Ahmad Sa’adat, penolakan pembebasan mereka justru bermotif politik. Israel diyakini takut akan potensi mereka mempersatukan kubu-kubu politik Palestina.

“Kehadiran Marwan di arena politik dapat menata ulang seluruh peta kekuatan Palestina dan memperkuat solidaritas nasional rakyatnya,” kata al-Najjar.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler