Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan mengungkapkan bahwa Ankara memantau adanya pergerakan kelompok separatis di Suriah setelah pecahnya bentrokan antara suku Badui dan komunitas Druze di Suweida, wilayah selatan Suriah.
Dalam pernyataan yang disiarkan melalui stasiun televisi lokal NTV pada Jumat (25/7), Fidan menegaskan bahwa pihaknya telah memberikan peringatan kepada kelompok-kelompok pemecah-belah.
Ia juga menekankan pentingnya integritas Suriah bagi keamanan nasional Turki.
“Kami harus memberikan peringatan, dan itu telah kami lakukan. Kami ingin Suriah tetap bersatu dan utuh,” kata Fidan.
Ia juga menyoroti bahwa Turki bersama sejumlah negara lain telah berulang kali menekankan pentingnya pemerintah Suriah menghormati identitas seluruh elemen rakyatnya serta menjamin hak-hak mereka.
Fidan menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak yang membawa senjata di luar kendali negara.
Dalam konteks tersebut, Ankara disebut telah mengirimkan pesan serupa kepada Israel melalui jalur intelijen dan berbagai forum diplomatik lainnya.
“Tidak seorang pun boleh mengganggu keutuhan wilayah Suriah, begitu pula Suriah tidak boleh menjadi ancaman bagi negara lain di kawasan,” tegas Fidan.
Mengenai bentrokan yang terjadi pada 13 Juli lalu di Suweida, Fidan menuding Israel sebagai pihak yang menghambat upaya pemerintah pusat Suriah dalam menangani konflik secara netral.
“Keberatan strategis kami justru terletak pada hal ini,” tambahnya.
Konflik di Suweida yang melibatkan suku Badui dan kelompok Druze menyebabkan puluhan tentara Suriah gugur dalam serangan kelompok bersenjata Druze yang disebut berada di luar hukum.
Pemerintah Suriah kemudian mengumumkan empat kesepakatan gencatan senjata di wilayah tersebut, meski tiga di antaranya runtuh akibat aksi kekerasan yang berlanjut.
Bentrokan terakhir pecah pada 18 Juli, menyusul dugaan pengusiran paksa dan pelanggaran terhadap warga Badui oleh kelompok yang berafiliasi dengan tokoh Druze, Syeikh Hikmat al-Hijri.
Israel memanfaatkan kekacauan itu untuk meningkatkan serangannya di Suriah, termasuk melancarkan gelombang serangan udara terhadap empat provinsi, yang turut menyasar markas besar militer dan area sekitar istana presiden di Damaskus.
Kesepakatan dengan pasukan Kurdi
Fidan juga menyinggung kesepakatan yang diteken antara Presiden Suriah Ahmad al-Syar’a dan Komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, pada 10 Maret lalu.
Kesepakatan tersebut bertujuan mengintegrasikan lembaga-lembaga sipil dan militer di timur laut Suriah ke dalam struktur negara, termasuk pengelolaan perbatasan, bandara, serta ladang minyak dan gas.
“Kami berharap proses ini berjalan dalam suasana yang positif. Kami ingin warga Kurdi menjadi bagian dari Suriah yang baru—yang setara, tanpa pertumpahan darah, dan hak-hak mereka dihormati,” ujar Fidan.
Dalam hal pertahanan, Fidan menyatakan bahwa kerja sama antara Turki dan Suriah adalah hal yang wajar, khususnya dalam perang melawan terorisme.
Ia mengatakan bahwa Suriah saat ini sangat membutuhkan bantuan teknis untuk mereformasi lembaga-lembaga negara, termasuk angkatan bersenjata.
Menurutnya, tanpa restrukturisasi lembaga negara, Suriah tidak akan mampu menjamin keamanan, ketertiban, serta pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan energi.
“Angkatan bersenjata Suriah harus mencapai kapasitas tertentu agar dapat melindungi perbatasannya, memerangi ISIS, serta menanggulangi berbagai ancaman keamanan lainnya,” imbuhnya.
Fidan juga mengungkapkan bahwa pemerintah Damaskus secara resmi telah meminta dukungan dari Ankara untuk memperkuat kemampuan pertahanannya, khususnya dalam menghadapi kelompok teroris seperti ISIS.
Permintaan tersebut diumumkan oleh Kementerian Pertahanan Turki pada Rabu (23/7), sebagai bagian dari upaya bersama menstabilkan kawasan yang selama ini rentan terhadap konflik dan intervensi asing.