Friday, June 13, 2025
HomeBeritaUntuk pertama kalinya, aliansi dari 80 negara berencana masuki Gaza dengan berjalan...

Untuk pertama kalinya, aliansi dari 80 negara berencana masuki Gaza dengan berjalan kaki

Dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, koalisi global yang terdiri atas serikat pekerja, gerakan solidaritas, dan lembaga hak asasi manusia dari lebih dari 80 negara mengumumkan peluncuran inisiatif “Global March to Gaza” (Pawai Global ke Gaza).

Aksi ini bertujuan untuk menembus blokade dan masuk ke wilayah Gaza dengan berjalan kaki sebagai bentuk respons langsung terhadap krisis kemanusiaan yang semakin memburuk sejak pengepungan Israel dimulai pada Oktober 2023.

Menurut Saif Abu Koshk, Ketua Aliansi Internasional Melawan Pendudukan Israel, sekitar 4.000 orang dari berbagai belahan dunia akan berpartisipasi dalam pawai tersebut.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera Net, Abu Koshk mengungkapkan bahwa rombongan ini akan mencakup delegasi parlemen, termasuk anggota Parlemen Eropa serta parlemen dari sejumlah negara di benua itu.

Para peserta pawai mulai tiba di ibu kota Mesir sejak Selasa (10/6), dan diperkirakan akan lengkap pada Kamis (13/6), menanti kedatangan “Konvoi Keteguhan untuk Membebaskan Gaza” yang melintasi darat dari Aljazair dan Tunisia menuju kota Arish di Sinai Utara.

Dari sana, mereka akan melanjutkan perjalanan ke perbatasan Rafah untuk memasuki Jalur Gaza.

Konvoi solidaritas ini menjadi bagian dari mobilisasi yang lebih besar. Pada Rabu (12/6), “Konvoi Keteguhan” resmi memasuki wilayah Libya, disambut antusias oleh masyarakat setempat.

Rombongan ini terdiri atas lebih dari 1.500 simpatisan dari Tunisia dan Aljazair, yang menumpang 20 bus dan sekitar 350 kendaraan pribadi.

Lima tujuan utama pawai global

Aliansi ini membawa serangkaian tuntutan mendesak. Menurut Abu Koshk, tujuan utama pawai ini mencakup:

  1. Menghentikan genosida di Gaza, termasuk menghentikan penggunaan kelaparan sebagai senjata, pembunuhan sistematis terhadap anak-anak, serta mempertahankan keberlangsungan hidup masyarakat sipil Palestina.
  2. Menyalurkan bantuan kemanusiaan secara langsung dan segera, khususnya membuka jalur masuk bantuan makanan, obat-obatan, dan barang pokok lainnya melalui perbatasan Rafah, yang saat ini dipenuhi ribuan truk bantuan yang tertahan.
  3. Mengakhiri blokade Gaza, dengan menuntut pembukaan koridor kemanusiaan permanen dan penghapusan seluruh hambatan yang mencegah masuknya kebutuhan pokok, termasuk air bersih dan bahan bakar.
  4. Menggerakkan opini publik dan institusi global, serta menekan pemerintah-pemerintah yang bungkam atas kejahatan perang untuk bertindak. Pawai ini juga menyerukan pada parlemen dan media dunia untuk lebih lantang menyuarakan keadilan bagi Palestina.
  5. Menuntut pertanggungjawaban pelaku pelanggaran hukum internasional, dengan mendorong pengadilan internasional agar mengambil tindakan terhadap mereka yang terlibat dalam kejahatan terhadap warga sipil Palestina.

Salah satu tokoh penting dalam inisiatif ini, pengacara asal Jerman Melanie Schweitzer, menegaskan bahwa “Pawai Global ke Gaza” adalah aksi damai sepenuhnya.

Aksi itu diinspirasi oleh gerakan solidaritas global yang pernah mengguncang dunia—seperti gerakan anti-apartheid dan aksi sipil dalam perjuangan hak-hak sipil.

Schweitzer menambahkan bahwa pawai ini bukan sekadar aksi protes, melainkan upaya representatif dari masyarakat sipil dunia.

Serikat pekerja, organisasi hak asasi, komunitas medis, dan warga dari berbagai latar belakang ikut serta.

Termasuk warga biasa dari negara-negara Barat yang tidak memiliki latar belakang Arab maupun Muslim.

“Semua peserta adalah sukarelawan, mereka membiayai sendiri perjalanan mereka, tanpa dukungan dari pemerintah manapun. Ini adalah gerakan warga dunia yang ingin menyuarakan kemanusiaan yang universal,” tegas Schweitzer.

Jumlah pendaftar yang tertarik untuk bergabung dalam pawai ini kini telah melampaui 10.000 orang.

Untuk mengelola skala partisipasi yang begitu besar, panitia membagi tim kerja berdasarkan kawasan geografis serta memperkuat strategi komunikasi media dalam berbagai bahasa.

Lebih dari sekadar aksi massa, inisiatif ini juga menjadi refleksi pergeseran dalam solidaritas internasional—dari sekadar opini daring menjadi aksi langsung di lapangan, dan dari tekanan moral menjadi tuntutan konkret akan keadilan dan penegakan hukum internasional.

Rute pawai dan tantangan logistik

Dengan peserta yang berasal dari lebih dari 80 negara, penyelenggara “Pawai Global ke Gaza” merancang jalur yang mencerminkan kompleksitas geografis dan kultural dari gerakan solidaritas ini.

Tujuan akhir dari pawai ini adalah Gerbang Rafah, pintu perbatasan darat antara Mesir dan Jalur Gaza.

Sebuah titik krusial yang selama berbulan-bulan menjadi simbol dari krisis kemanusiaan yang terus memburuk.

Saif Abu Koshk, Ketua Koalisi Internasional Melawan Pendudukan Israel, menjelaskan bahwa para peserta telah dibagi menjadi beberapa kelompok geografis.

Ini dilakukan untuk mengatasi perbedaan bahasa, budaya, serta jarak tempuh antarnegara asal mereka.

“Kami mulai mengoordinasikan pertemuan rutin setiap wilayah sejak jauh hari, dengan tujuan menyatukan langkah dan memperkuat kolaborasi,” ungkapnya.

Dari kelompok-kelompok ini, para peserta mulai bergerak ke ibu kota Mesir, Kairo, sejak 12 Juni.

Di sana mereka akan berkumpul sebelum bergerak menuju Arish, kota di Sinai Utara, untuk memulai perjalanan kaki mereka menuju Gaza.

Eduard Camacho, anggota Sekretariat Hubungan Internasional dari serikat alternatif Catalonia (IAC), menegaskan bahwa semua peserta membiayai perjalanan mereka secara mandiri.

“Kami hanya mencoba memberikan dukungan logistik paling minimal,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Lima tahap utama pawai menuju Gaza

Menurut Abu Koshk, pawai ini telah dirancang dalam lima tahap utama:

  1. Penentuan titik awal dan koordinasi regional. Setiap kelompok peserta ditugaskan mengidentifikasi area koordinasi di negara masing-masing. Tujuannya adalah membangun jaringan lokal dan menyelaraskan komunikasi dengan gerakan solidaritas di lapangan.
  2. Pengelompokan berdasarkan negara dan budaya. Dari 32 negara yang telah bergabung dalam tahap awal, peserta dikelompokkan berdasarkan kesamaan bahasa dan latar belakang budaya, untuk memudahkan koordinasi lintasnegara.
  3. Tahap perjalanan: Menuju Rafah melalui Kairo dan Arish. Setelah tiba di Kairo, para peserta akan melanjutkan perjalanan ke Arish menggunakan kendaraan, sebelum berjalan kaki menuju perbatasan Rafah. Abu Koshk mengakui bahwa perjalanan di gurun sangat sulit, namun warga Gaza telah bertahan tanpa makanan, obat, atau air selama lebih dari 20 bulan.
    “Kami siap menanggung kesulitan ini demi mendukung mereka,” katanya.
  4. Koordinasi diplomatik dan komunikasi dengan pemerintah Mesir
    Koalisi ini telah menghubungi berbagai kedutaan Mesir di negara-negara asal peserta serta mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Mesir.
    “Kami tidak bermaksud menyalahkan Mesir, justru kami mendukung setiap upaya mereka untuk menghentikan genosida di Palestina,” ujar Abu Koshk.
  5. Aksi duduk damai di depan gerbang Rafah
    Setelah tiba di Rafah, peserta akan melakukan aksi duduk damai (sit-in). Mereka akan membangun tenda dan tetap berada di lokasi sebagai bentuk tekanan langsung agar perbatasan dibuka dan bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Gaza.

Persediaan bantuan

Tujuan utama dari pawai ini, sebagaimana ditegaskan oleh para penyelenggara, adalah menembus blokade “tidak manusiawi” yang diberlakukan sejak 7 Oktober 2023 dan memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan mendesak.

Abu Koshk menyebut bahwa terdapat lebih dari 3.000 truk berisi makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan perlengkapan dasar yang terjebak di perbatasan Rafah.

Truk-truk ini tidak diizinkan masuk, padahal Gaza kini menghadapi kelaparan paksa dan krisis kesehatan ekstrem.

Gerakan ini juga menjalin koordinasi dengan inisiatif serupa seperti “Konvoi Keteguhan” dan “Aliansi Armada Kebebasan”.

Menurut Camacho, sinergi ini penting agar tekanan global bisa terarah dan efektif.

Komunikasi resmi

Karen Moynihan, juru bicara kelompok Irlandia dalam pawai ini, menegaskan bahwa pawai ini bukan untuk menyudutkan pemerintah Mesir.

“Kami tidak membebankan tanggung jawab kepada Mesir. Justru kami ingin bekerja sama dengannya agar tekanan internasional terfokus kepada Israel,” ujarnya kepada Al Jazeera Net.

Moynihan juga menyoroti bahwa pawai ini bertujuan menuntut Israel bertanggung jawab atas kejahatan yang disengaja, termasuk penggunaan kelaparan sebagai senjata terhadap lebih dari dua juta warga Gaza.

Ia menyatakan bahwa “setiap negara atau entitas internasional yang diam saja atas kejahatan ini adalah sekutu dalam genosida, dan sejarah tidak akan memaafkan mereka.”

Pawai ini berlangsung di tengah kontroversi seputar rencana Israel untuk mengalihdayakan distribusi bantuan kemanusiaan kepada perusahaan swasta.

Rencana tersebut ditolak oleh PBB karena dianggap akan memperburuk situasi. Termasuk meningkatkan pengungsian paksa dan membatasi bantuan hanya untuk sebagian wilayah Gaza, sekaligus mengkaitkan distribusi bantuan dengan tujuan politik dan militer.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular