Penduduk kota Rafah di selatan Jalur Gaza mengadakan iftar (buka puasa) bersama pada hari pertama bulan suci Ramadan.
Acara ini berlangsung hanya beberapa ratus meter dari pasukan pendudukan Israel yang ditempatkan di Koridor Salahuddin (Philadelphia) yang berbatasan dengan Mesir.
Selain itu, mereka juga menggelar salat tarawih di kamp pengungsi Jabalia yang hancur di utara Gaza.
Al Jazeera menyiarkan gambar yang menunjukkan warga Rafah berbuka puasa bersama di atas puing-puing rumah mereka.
Mereka memanfaatkan gencatan senjata yang fase pertamanya akan berakhir pada Sabtu malam ini.
Jurnalis Al Jazeera, Hani Al-Shaer, melaporkan suasana iftar bersama ini yang tetap dihiasi dengan beberapa ornamen Ramadan. Upaya warga ini untuk menciptakan kebahagiaan di tengah kehancuran yang meliputi wilayah tersebut.
Tarawih di Jabalia
Di bagian utara Gaza, warga juga melaksanakan shalat tarawih di sebuah tempat ibadah sederhana. Tepatnya di samping Masjid Al-Awda di Kamp Jabalia, yang telah dihancurkan sepenuhnya oleh pasukan pendudukan.
Menurut jurnalis Al Jazeera, Anas Al-Sharif, warga mendirikan tempat ibadah ini beberapa hari sebelum Ramadan.
Hal itu sebagai bentuk keteguhan mereka dalam menjalankan ibadah tarawih meskipun dengan fasilitas yang sangat terbatas.
Meskipun kehancuran melanda kawasan itu, tempat ibadah tersebut dipenuhi jamaah. Kondisi itu menegaskan tekad warga bahwa mereka tidak akan meninggalkan tanah mereka, apa pun yang terjadi.
Selama 4 bulan sebelum gencatan senjata, pasukan pendudukan Israel telah menghancurkan Kamp Jabalia sepenuhnya.
Penghancuran itu sebagai bagian dari operasi militer yang bertujuan meratakan wilayah utara Gaza dan memaksa warganya mengungsi. Upaya itu dikenal sebagai “Rencana Para Jenderal”.
Namun, segera setelah pasukan pendudukan mundur dari Koridor Netzarim yang membelah Gaza Utara dan Selatan, warga kembali dengan berjalan kaki atau berkendaraan.
Mereka segera mendirikan tenda di atas puing-puing rumah mereka, meskipun tidak ada sarana kehidupan yang tersedia di lokasi tersebut.
Berakhirnya tahap pertama kesepakatan gencatan senjata
Pada 19 Januari lalu, kesepakatan gencatan senjata mulai berlaku, yang mencakup tiga tahap, masing-masing berlangsung selama 42 hari.
Dalam tahap pertama, dilakukan perundingan mengenai rincian dan mekanisme pelaksanaan tahap kedua dan ketiga. Perundingan itu dimediasi oleh Mesir dan Qatar serta dukungan Amerika Serikat (AS).
Seharusnya, negosiasi tahap kedua dimulai pada 3 Februari lalu. Namun, Israel mengajukan syarat baru yang menghambat kelanjutannya.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, ingin memperpanjang tahap pertama guna membebaskan lebih banyak tawanan Israel yang masih hidup.
Hari ini, Sabtu, pasukan pendudukan seharusnya mulai menarik diri dari Koridor Philadelphia seiring dengan berakhirnya tahap pertama kesepakatan.
Namun, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengatakan pada Kamis lalu bahwa Israel akan mempertahankan zona penyangga ini.
Menurutnya, hal itu eperti yang telah dilakukan di Lebanon Selatan dan Suriah Selatan, yang menghambat dimulainya negosiasi tahap kedua.
Sebelumnya, pada Sabtu pagi, saluran berita Channel 13 melaporkan bahwa Netanyahu akan mengadakan pertemuan malam ini untuk membahas perundingan kesepakatan.
Disebutkan bahwa Netanyahu juga telah menggelar konsultasi pada hari sebelumnya bersama para pemimpin keamanan dan Menteri Pertahanan.
Seorang pejabat yang dikutip oleh saluran tersebut mengatakan bahwa kembalinya perang bukan sekadar taktik negosiasi.
Ada kesepakatan dengan Washington untuk mendukung setiap langkah Israel ke arah ini.
Sumber-sumber juga menyebutkan bahwa pembicaraan di Kairo tidak berjalan dengan baik dan Israel sedang mempertimbangkan kembali opsi perang.
Sebab, Israel menolak mundur dari Gaza dan menghentikan perangnya. Para mediator pun meminta tambahan waktu untuk melanjutkan perundingan.