Tuesday, April 1, 2025
HomeBeritaWashington Post: Perang Trump terhadap universitas pro Palestina seret AS menuju otoritarianisme

Washington Post: Perang Trump terhadap universitas pro Palestina seret AS menuju otoritarianisme

Harian Washington Post melaporkan bahwa penangkapan mahasiswa Rumeysa Öztürk mencerminkan tren global yang lebih luas di mana para pemimpin nasionalis menargetkan universitas sebagai pusat ekstremisme karena dukungan mereka terhadap Palestina.

Surat kabar itu juga menekankan bahwa penindasan terhadap kebebasan berbicara di kalangan mahasiswa asing hanyalah langkah awal.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ishan Tharoor, Washington Post menggambarkan video penangkapan Ramisa Öztürk (30 tahun) sebagai pemandangan suram.

Dalam video itu, beberapa petugas berpakaian sipil—beberapa di antaranya bertopeng—menangkap seorang mahasiswi di pinggiran Boston, memborgolnya, dan mendorongnya ke dalam mobil tanpa plat nomor.

Padahal, Öztürk adalah warga negara Turki yang memiliki visa pelajar dan sedang menyelesaikan disertasi doktoralnya di Universitas Tufts.

Pejabat AS mengonfirmasi bahwa visa pelajar Öztürk telah dibatalkan dan proses deportasinya sedang berlangsung.

Ia kini menjadi salah satu dari banyak warga negara asing yang visanya dicabut oleh pemerintahan Presiden Donald Trump dengan dalih keterlibatan mereka dalam protes pro-Palestina di kampus-kampus.

Bagian dari serangan yang lebih luas

Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengkritik mahasiswa asing, menyebut mereka sebagai pihak yang “membuat keributan” di universitas.

Ia mengklaim bahwa kementeriannya telah membatalkan sekitar 300 visa pelajar.

“Kami melakukan ini setiap hari. Setiap kali saya menemukan salah satu dari orang-orang gila ini, saya akan membatalkan visanya,” katanya.

Namun, lanjutnya, baik Rubio maupun pejabat lainnya tidak memberikan penjelasan tentang tindakan spesifik yang dilakukan Öztürk sehingga visanya dibatalkan.

Dalam sebuah pernyataan, Departemen Keamanan Dalam Negeri mengklaim bahwa investigasi mereka, bersama dengan Badan Imigrasi dan Bea Cukai, menemukan bahwa Öztürk terlibat dalam aktivitas yang mendukung Hamas.

Mereka menambahkan bahwa “mendukung kelompok teroris” merupakan alasan yang sah untuk mencabut visa.

Namun, menurut Tharoor, tidak ada bukti jelas bahwa Öztürk mendukung terorisme. Jika mengekspresikan solidaritas terhadap rakyat Palestina atau mengkritik Israel dianggap sebagai dukungan terhadap Hamas, maka itu adalah bentuk represi kebebasan berbicara.

Faktanya, pada Maret tahun lalu, Öztürk ikut menulis opini di surat kabar universitasnya yang mendesak pihak kampus untuk merespons keputusan dewan mahasiswa yang mengecam perang di Gaza.

Ia mengakui adanya “genosida” di wilayah itu, dan menarik investasi dari perusahaan yang memiliki hubungan dengan Israel.

Seruan semacam ini telah bergema di berbagai kampus Amerika Serikat (AS) selama 17 bulan terakhir sejak perang dimulai.

Setelah kemenangan Trump dalam pemilu, mahasiswa asing seperti Öztürk dan aktivis mahasiswa Mahmoud Khalil dari Universitas Columbia menjadi target tindakan represif terhadap gerakan pro-Palestina.

Menurut Tharoor, ini merupakan bagian dari serangan lebih luas yang dilancarkan pemerintahan Trump terhadap universitas-universitas AS, yang telah lama menjadi sasaran kritik sayap kanan.

Universitas Columbia sebagai peringatan

Banyak dosen dan mahasiswa marah setelah Universitas Columbia—yang tahun lalu menjadi salah satu pusat aksi protes terbesar—menyerah pada ancaman pemerintahan Trump untuk mencabut dana federal jika mereka tidak menerapkan perubahan tertentu.

Perubahan ini termasuk pembatasan lebih ketat terhadap demonstrasi di kampus, serta pengawasan baru terhadap kurikulum dan rekrutmen staf di departemen studi Timur Tengah.

Para pengamat memperkirakan bahwa tekanan ini tidak akan berhenti di sini. Para akademisi kini khawatir akan kebebasan akademik mereka. Sementara mahasiswa mulai melakukan sensor terhadap diri mereka sendiri.

Jason Stanley, filsuf terkemuka di Universitas Yale dan penulis buku How Fascism Works: The Politics of Us and Them, mengumumkan bahwa ia akan segera pindah ke Universitas Toronto.

Ia menyatakan bahwa alasan utamanya adalah keinginannya untuk membesarkan anak-anaknya di negara yang “tidak bergerak menuju kediktatoran fasis.”

“Universitas Columbia adalah peringatan. Saya sangat khawatir karena saya tidak melihat reaksi kuat dari universitas lain yang mendukung Columbia. Saya melihat Yale berusaha agar tidak menjadi sasaran. Tapi ini adalah strategi yang pasti akan kalah,” kata Stanley dalam wawancara dengan The Guardian.

Ia juga memperingatkan bahwa represi terhadap mahasiswa asing hanyalah langkah awal.

“Kapan mereka akan mulai menargetkan warga Amerika sendiri?” tanyanya.

Menurut Tharoor, permusuhan Trump terhadap universitas mencerminkan tren global yang lebih luas.

Di berbagai negara dengan rezim nasionalis yang otoriter, para pemimpin menargetkan universitas elite sebagai “musuh negara” dan tempat berkembangnya ekstremisme.

Peningkatan pengawasan, pembatasan kebebasan akademik, serta kriminalisasi aktivisme mahasiswa menjadi pola umum di negara-negara dengan pemerintahan otoriter yang menggunakan kekuasaan negara untuk membungkam perbedaan pendapat.

Bagi banyak akademisi, langkah-langkah represif di bawah pemerintahan Trump bukan hanya ancaman bagi kebebasan berbicara, tetapi juga indikasi bahwa AS sedang bergerak menuju otoritarianisme.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular