Harian terkemuka Israel, Yedioth Ahronoth, melaporkan bahwa Israel kini tengah menghadapi krisis diplomatik paling serius dalam sejarahnya, dan digambarkan sebagai negara yang “terkucil secara internasional”.
Dalam laporan yang terbit Selasa malam (21/5), surat kabar itu mengutip pernyataan seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Israel yang menggambarkan situasi negaranya sebagai “tsunami nyata yang akan semakin memburuk”.
“Kami berada di posisi terburuk yang pernah kami alami. Dunia tidak lagi bersama kami,” imbuhnya.
Laporan itu merinci sejumlah tekanan yang kini diterima Israel di panggung internasional, menyusul serangan berkelanjutan di Jalur Gaza yang banyak disebut sebagai bentuk genosida.
Salah satu langkah yang paling menonjol adalah keputusan Inggris untuk menghentikan negosiasi perjanjian perdagangan bebas dengan Israel, yang disebut dapat menimbulkan dampak ekonomi serius.
Ancaman dari sekutu barat
Menurut Yedioth Ahronoth, setelah lebih dari 590 hari sejak perang di Gaza dimulai, posisi diplomatik Israel kini berada di titik nadir.
Tiga negara Barat terdekat—Inggris, Prancis, dan Kanada—telah melayangkan ancaman sanksi jika Israel tetap melanjutkan agresinya.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setelah ancaman itu, Inggris memutuskan untuk membatalkan negosiasi perjanjian perdagangan bebas, memanggil duta besar Israel di London, Tzipi Hotovely.
Pemanggilan itu untuk diberi teguran resmi, serta menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pemukim Israel.
Lebih jauh, Yedioth Ahronoth menyebut bahwa sikap Amerika Serikat (AS)—sekutu utama Israel—juga menunjukkan perubahan.
Sumber-sumber di Gedung Putih dikabarkan mulai menunjukkan rasa frustrasi terhadap pemerintahan Netanyahu, menyebut bahwa Israel menjadi satu-satunya pihak yang tidak mendorong kesepakatan damai yang komprehensif.
Dampak ekonomi yang mengancam
Dalam laporannya, Yedioth Ahronoth menyoroti potensi dampak ekonomi dari krisis diplomatik ini.
Inggris disebut sebagai mitra dagang utama Israel, dengan nilai perdagangan mencapai sekitar 9 miliar poundsterling, menjadikannya mitra dagang keempat terbesar bagi Tel Aviv.
Perjanjian yang kini ditangguhkan itu sangat vital, terutama bagi sektor teknologi tinggi, dan semula dirancang untuk mencakup sektor-sektor baru yang belum pernah masuk dalam perjanjian perdagangan sebelumnya.
Potensi kerugian jika perjanjian itu benar-benar dibatalkan diperkirakan mencapai puluhan miliar dolar. Ancaman Uni Eropa untuk membatalkan perjanjian kemitraan pun dinilai belum pernah terjadi sebelumnya.
Terkucil di panggung internasional
Krisis diplomatik ini semakin dalam setelah pernyataan bersama dari ketiga negara besar Barat—Inggris, Prancis, dan Kanada—yang menyatakan penentangan terhadap agresi Israel dan mengumumkan niat mereka untuk secara kolektif mengakui Negara Palestina.
Yedioth Ahronoth menyebut ini sebagai deklarasi paling keras terhadap Israel sejauh ini, yang membuat negara tersebut terlihat sebagai “paria di panggung dunia”.
Surat kabar itu juga memperingatkan bahwa ketegangan ini menandai isolasi total Israel di dunia internasional, terutama di tengah desakan global agar perang dihentikan.
Salah satu kekhawatiran utama yang disoroti adalah sikap AS—yang selama ini menjadi pembela utama Israel—kini justru mulai menunjukkan sikap diam.
Dalam konteks itu, Yedioth Ahronoth mempertanyakan apakah Washington masih akan menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB jika muncul resolusi mendesak penghentian perang, seperti yang dilakukannya pada masa-masa sebelumnya.
Ditekankan bahwa ketegangan yang meningkat dan perubahan dinamika politik dapat memengaruhi keputusan Amerika kali ini, menciptakan ketidakpastian atas komitmennya untuk terus membela Israel.
Tsunami diplomatik
Sumber dari Kementerian Luar Negeri Israel yang dikutip dalam laporan itu memperingatkan bahwa tekanan internasional saat ini merupakan “tsunami nyata” dan kemungkinan besar akan memburuk.
“Kami belum pernah mengalami situasi seburuk ini. Ini lebih buruk dari bencana apa pun,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa sejak November 2023, dunia hanya melihat “anak-anak Palestina yang terbunuh dan rumah-rumah yang hancur”.
Ia menyoroti bahwa Israel tidak memiliki solusi atau rencana pascaperang, selain kematian dan kehancuran.
Ia mengakhiri pernyataannya dengan peringatan akan munculnya “boikot senyap” terhadap Israel.
“Boikot itu sudah ada, tapi akan semakin besar dan menguat. Jangan meremehkan bahayanya. Tak ada yang ingin dikaitkan dengan Israel saat ini,” ujarnya.
Kritik terhadap arah kebijakan pemerintah juga datang dari dalam Israel. Yair Golan, Ketua Partai Demokratik Israel dan mantan jenderal, mengatakan kepada radio publik bahwa negara yang waras tidak melancarkan perang terhadap warga sipi.
“Tidak menjadikan pembunuhan anak-anak sebagai kebiasaan, dan tidak menerapkan kebijakan pengusiran penduduk,” katanya.
Sejak 7 Oktober 2023, dengan dukungan militer dan politik dari AS, Israel terus melancarkan serangan intensif ke Gaza.
Menurut data otoritas setempat, agresi ini telah menyebabkan lebih dari 175.000 warga Palestina menjadi korban, sebagian besar anak-anak dan perempuan, lebih dari 11.000 orang dilaporkan hilang, dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi.