Thursday, October 16, 2025
HomeBerita288 ribu keluarga di Gaza hidup tanpa tempat tinggal

288 ribu keluarga di Gaza hidup tanpa tempat tinggal

Dua tahun setelah perang yang menghancurkan, Jalur Gaza kini menghadapi tantangan kemanusiaan yang amat besar.

Infrastruktur yang luluh lantak, krisis air bersih, dan ratusan ribu keluarga tanpa tempat tinggal menandai babak baru penderitaan di wilayah yang diblokade itu.

Dalam program “Jendela Kemanusiaan dari Gaza” di kanal Al Jazeera, dua pejabat Pemerintah Gaza menegaskan bahwa situasi di lapangan masih bersifat katastrofik dan membutuhkan intervensi cepat dari dunia internasional.

Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza, Dr. Ismail Ats-Tsawabithah, menyatakan bahwa hingga kini belum ada kemajuan berarti dalam proses masuknya bantuan ke Gaza.

“Hari Minggu lalu hanya 173 truk yang diizinkan masuk. Di antaranya, tiga membawa gas untuk memasak dan enam berisi bahan bakar, sementara sisanya membawa bahan makanan pokok,” ujarnya.

Ia menekankan, untuk menstabilkan kondisi dasar kehidupan, sedikitnya 600 truk bantuan perlu masuk setiap hari—berisi makanan, obat-obatan, dan perlengkapan tempat tinggal.

Menurutnya, sebanyak 288.000 keluarga Palestina kini hidup tanpa rumah, dan banyak di antaranya masih tinggal di tenda darurat atau tempat penampungan seadanya.

Tsawabithah menyerukan kepada masyarakat internasional agar menekan Israel untuk membuka seluruh perlintasan dan mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan.

Termasuk obat-obatan dan perlengkapan medis guna memperbaiki sistem kesehatan yang nyaris lumpuh.

Ia juga menekankan perlunya pengadaan tenda dan rumah sementara hingga proses rekonstruksi Gaza benar-benar dimulai.

Terkait pengoperasian kembali Perlintasan Rafah di bawah perjanjian gencatan senjata, ia menjelaskan bahwa perlawanan Palestina telah menempatkan isu pembukaan gerbang itu sebagai prioritas utama.

Berdasarkan kesepakatan, Rafah akan beroperasi sesuai mekanisme Perjanjian 2005, dan pihak Israel berkewajiban memperbaiki infrastruktur yang telah mereka hancurkan.

“Setelah perlintasan siap, prioritas perjalanan akan diberikan kepada para korban luka, pasien yang membutuhkan operasi, dan mahasiswa yang hendak melanjutkan studi di luar negeri,” jelasnya.

Krisis air dan limbah

Sementara itu, Asim An-Nabih, juru bicara Pemerintah Kota Gaza, menyoroti krisis air bersih yang semakin parah.

“Warga kini sangat kesulitan memperoleh air, dan sebagian besar air yang tersedia tidak layak untuk diminum,” katanya.

Menurut Nabih, lebih dari 75 persen sumur pusat milik Kota Gaza telah hancur akibat serangan Israel, bahkan beberapa di antaranya dihancurkan dua kali setelah upaya perbaikan dilakukan.

Ia menambahkan, pihaknya tidak memiliki alat berat dan bahan teknis yang diperlukan untuk memperbaiki jaringan pipa dan sumur air.

Tanpa bantuan ini, penderitaan warga akan terus berlanjut meski gencatan senjata sudah berlaku.

Lebih jauh, Nabih mengungkapkan adanya lebih dari 250.000 ton sampah menumpuk di berbagai sudut Kota Gaza.

Kondisi ini menciptakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat serta mencemari sumber air tanah yang menjadi tumpuan hidup warga.

“Gaza kini bukan hanya menghadapi kehancuran fisik, tetapi juga bencana kemanusiaan dan lingkungan yang nyata,” ujar Nabih.

Kenyataan suram ini menegaskan bahwa bagi penduduk Gaza, perang belum benar-benar usai—meski senjata telah terdiam, perjuangan untuk bertahan hidup baru saja dimulai.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler