Ketegangan di Timur Tengah terus memanas. Para analis menilai, konflik antara Iran dan Israel berpotensi meluas dengan melibatkan para sekutu Iran di kawasan.
Di saat bersamaan, Israel disebut terus berupaya mendorong Amerika Serikat (AS) terlibat langsung dalam perang yang semakin kompleks ini.
Menurut Dr. Fatima Al-Samadi, peneliti senior di Al Jazeera Centre for Studies dan pakar isu Iran, kekuatan rudal Iran yang diperlihatkan belakangan ini telah membangkitkan kembali semangat para sekutunya di kawasan, yang dahulu dikenal sebagai “Poros Perlawanan”, namun kini bergerak dalam “arsitektur baru”.
Iran diketahui memiliki sekutu aktif di Lebanon, Irak, dan Yaman. Al-Samadi menilai, peluang keterlibatan langsung para sekutu ini dalam perang melawan Israel sangat terbuka—bahkan bisa terjadi dalam waktu dekat.
Ia merujuk pada pernyataan sejumlah komandan Garda Revolusi Iran yang menyebut opsi ini sedang dipertimbangkan secara serius.
Namun demikian, waktu dan bentuk keterlibatan para sekutu Iran masih bergantung pada dinamika pertempuran yang berlangsung.
Eskalasi serangan Israel dan keinginan Iran untuk memperkuat posisinya akan menjadi dua faktor kunci.
Al-Samadi menyebut, keterlibatan Hizbullah Lebanon hanya tinggal menunggu waktu. Sementara itu, kelompok Houthi di Yaman (Ansharullah) diperkirakan akan meningkatkan intensitas serangan dengan metode dan teknologi baru.
Ia pun membuka kemungkinan munculnya “kejutan dari arah yang tak terduga”.
Kekhawatiran Israel
Di sisi lain, Dr. Muhannad Mustafa, akademisi dan pakar isu Israel, menyebut bahwa Israel sejak awal sangat khawatir akan skenario meluasnya konflik dengan melibatkan sekutu Iran.
Oleh karena itu, selama beberapa bulan terakhir, Israel aktif melumpuhkan kekuatan sekutu Iran di kawasan.
Menurut Mustafa, Israel telah mengerahkan berbagai upaya untuk melemahkan Hizbullah di Lebanon dan melancarkan serangan di Suriah pasca runtuhnya kekuasaan Bashar al-Assad.
Israel juga menggempur kelompok Houthi yang selama 18 bulan terakhir secara konsisten menyerang wilayah Israel dengan rudal dan drone sebagai bentuk dukungan terhadap perlawanan Palestina di Gaza.
Ia juga mengungkapkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini menjadi buron Mahkamah Pidana Internasional—telah mulai merancang operasi militer besar terhadap Iran sejak pembunuhan Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah, pada akhir September 2024.
Upaya menggiring Amerika
Tak hanya berupaya menghalangi keterlibatan sekutu Iran, Israel juga aktif menggiring Amerika Serikat agar secara terbuka masuk ke dalam konflik.
Mustafa menjelaskan bahwa Israel menggunakan sejumlah pendekatan dalam membujuk Washington.
Pertama, Israel meyakinkan Amerika bahwa keterlibatan militer akan efektif dan tidak menimbulkan beban biaya besar.
Masuknya Amerika, diyakini Israel, akan mampu menghalau serangan rudal yang diarahkan ke wilayahnya.
Kedua, Israel menawarkan skenario menarik: Amerika hanya perlu fokus menghancurkan program nuklir Iran, sementara sisanya—yakni kemampuan rudal dan militer Iran—akan ditangani langsung oleh Israel.
Ketiga, pendekatan diarahkan langsung kepada Presiden Donald Trump, yang menurut Mustafa sedang didorong untuk tidak terlibat dalam perang secara menyeluruh, melainkan cukup fokus pada misi tunggal: menghancurkan program nuklir Iran.
Amerika di Persimpangan
Sementara itu, Dr. Liqa Makki, peneliti senior Al Jazeera Centre for Studies, menilai Amerika Serikat masih gamang.
“Amerika ingin segalanya didapat tanpa biaya,” ujarnya.
Menurut Makki, Trump berharap Iran akan menyerah terkait program nuklirnya tanpa tekanan militer.
Namun ketika jalan negosiasi buntu, serangan Israel terhadap Iran bisa jadi merupakan jalan yang disetujui atau bahkan direstui secara diam-diam oleh Trump.
Di sisi lain, Trump menghadapi dilema. Ia tak mungkin menghentikan dukungan pada Israel yang tengah melaksanakan misi sesuai dengan kepentingannya, namun terlibat langsung dalam perang bisa memicu reaksi publik dan melanggar janji kampanye damainya.
Namun, lanjut Makki, ada batas bagi strategi menahan diri ini. Bila Amerika benar-benar ingin mencegah Iran mengembangkan kekuatan—terutama nuklir dan rudal—maka cepat atau lambat, keterlibatan langsung akan menjadi keniscayaan.
Terlebih, Israel telah meminta Amerika untuk membantunya menghancurkan fasilitas nuklir bawah tanah Iran di Fordow, yang hanya bisa dijangkau dengan senjata khusus milik Amerika Serikat.
Situasi ini memperlihatkan satu hal: krisis di Timur Tengah belum menunjukkan tanda akan mereda. Sebaliknya, berbagai manuver politik dan militer menunjukkan bahwa kawasan ini tengah bergerak menuju babak konfrontasi yang lebih luas dan berisiko tinggi.