Wednesday, June 18, 2025
HomeBaitul MaqdisSelasa Merah 1930: Eksekusi yang menggema abadi di Palestina

Selasa Merah 1930: Eksekusi yang menggema abadi di Palestina

Setiap 17 Juni, rakyat Palestina di dalam dan luar negeri memperingati “Selasa Merah”. Hari berkabung nasional untuk mengenang 3 pemuda Palestina—Atha al-Zir, Fuad Hijazi, dan Muhammad Jamjoum—yang dieksekusi oleh mandat Inggris di Penjara Akka pada tahun 1930.

Mereka dianggap sebagai syuhada Revolusi Al-Buraq, salah satu tonggak awal perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan dan penindasan kolonial.

Peringatan ini tidak hanya menjadi penanda sejarah, tetapi juga menjadi simbol keteguhan rakyat Palestina terhadap hak-hak mereka dan keyakinan yang tak tergoyahkan pada keadilan perjuangan mereka.

Awal mula revolusi

Peristiwa bersejarah ini berakar pada Revolusi Al-Buraq yang pecah pada Agustus 1929, setelah kelompok Zionis menggelar demonstrasi besar pada 14 Agustus untuk memperingati apa yang mereka sebut sebagai “Hari Penghancuran Kuil Sulaiman”.

Keesokan harinya, demonstrasi kembali digelar di Yerusalem hingga mencapai Tembok Al-Buraq—yang oleh umat Islam diyakini sebagai tempat Nabi Muhammad SAW mengikat hewan tunggangannya dalam perjalanan Isra Mikraj.

Di sana, para demonstran Zionis menyanyikan lagu kebangsaan dan menghina umat Muslim.

Tindakan ini memicu kemarahan warga Palestina, terlebih karena bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ribuan warga Palestina kemudian berbondong-bondong menuju kawasan tersebut untuk mempertahankan kesuciannya, yang akhirnya memicu bentrokan meluas di berbagai wilayah Palestina.

Namun, alih-alih menindak pemicu kekerasan, otoritas mandat Inggris justru menyalahkan warga Arab Palestina.

Sebanyak 900 orang ditangkap, terdiri atas para pembela Tembok Al-Buraq dan penentang kolonialisme serta imigrasi Zionis.

Dari jumlah itu, 27 orang dijatuhi hukuman gantung. Di tengah tekanan besar dari opini publik Arab, hukuman sebagian besar terdakwa diubah menjadi penjara seumur hidup.

Namun, 3 pemuda tetap dijatuhi hukuman mati: Muhammad Jamjoum dan Atha al-Zir dari Hebron, serta Fuad Hijazi dari Safad.

Eksekusi dan keteguhan

Ketiganya dieksekusi pada hari Selasa, 17 Juni 1930. Fuad Hijazi digantung pukul 08.00 pagi, disusul Atha al-Zir pukul 09.00, dan Muhammad Jamjoum pukul 10.00.

Hari itu dikenang sebagai “Selasa Merah”, karena bukan hanya kejamnya eksekusi, tetapi juga karena ketiganya dieksekusi pada hari Selasa, dalam tiga jam yang berbeda.

Sesaat setelah eksekusi dilakukan, Palestina berduka. Warga Arab melakukan pemogokan umum dan turun ke jalan mengenakan pita hitam sebagai simbol berkabung.

Aksi protes pun merebak, membentang dari Palestina hingga berbagai wilayah di dunia Arab.

Sejarawan Palestina, Dr. Rana Barakat, mencatat bahwa eksekusi tersebut merupakan upaya pemerintah kolonial untuk menanamkan rasa takut dalam diri rakyat Palestina dan membungkam gelombang perlawanan yang terus membesar.

“Namun, justru sebaliknya. Perlawanan rakyat semakin menyala,” tulis Barakat dalam salah satu tulisannya.

Pesan abadi dari balik jeruji

Sehari sebelum eksekusi, ketiga pemuda diberi izin menulis surat terakhir. Dalam pesan mereka yang kini menjadi dokumen penting dalam sejarah perjuangan Palestina, mereka menulis:

“Kini, saat kami berada di ambang keabadian, menyerahkan jiwa kami untuk tanah suci—Palestina tercinta—kami memohon kepada seluruh rakyat Palestina, jangan lupakan darah kami yang tertumpah dan jiwa kami yang akan melayang di langit tanah tercinta ini.”

Mereka melanjutkan:

“Kami menyerahkan diri dan tengkorak kami dengan sukarela, sebagai dasar bagi bangunan kemerdekaan bangsa dan kebebasan tanah air. Semoga bangsa ini tetap bersatu, terus berjihad demi membebaskan Palestina dari penjajahan, menjaga tanah ini agar tidak dijual sejengkal pun kepada musuh, dan tetap teguh menghadapi ancaman dan tekanan, hingga kemenangan tercapai.”

Dalam bagian akhir surat itu, mereka juga menyampaikan harapan kepada para raja dan pemimpin Arab-Muslim:

“Jangan percaya kepada bangsa asing dan politik mereka. Ketahuilah, seperti kata penyair: mereka licik seperti musang.”

Tiga syuhada, tiga kisah pengorbanan

Dalam setiap peringatan “Selasa Merah”, nama-nama tiga pemuda Palestina selalu menggema: Fuad Hijazi, Atha al-Zir, dan Muhammad Jamjoum.

Mereka bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi juga manusia dengan kisah hidup, cita-cita, dan keberanian luar biasa yang tetap dikenang hingga kini.

Fuad Hijazi: Syuhada termuda dari Safad

Fuad Hasan Hijazi lahir di kota Safad, Palestina utara, pada tahun 1904. Ia mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Al-Jami’ Al-Ahmar di kampung halamannya.

Ia melanjutkan ke jenjang menengah di Kolese Skotlandia, sebuah lembaga pendidikan Kristen yang banyak melahirkan pemuda terdidik Palestina pada masa itu. Setelah lulus, ia bekerja di dinas kesehatan kota Safad.

Sejak usia muda, Hijazi telah dikenal sebagai sosok pemberani dan sangat mencintai tanah airnya.

Ia turut ambil bagian secara aktif dalam Revolusi Al-Buraq dan menjadi yang termuda dari tiga syuhada yang dihukum gantung oleh otoritas Inggris.

Atha al-Zir: Petani Hebron yang menantang penjajahan

Lahir di Hebron, Tepi Barat selatan, pada tahun 1895, Atha Ahmad al-Zir dibesarkan dalam kehidupan desa dan menggeluti pertanian.

Tubuhnya yang kekar dan keberaniannya membuatnya disegani di kalangan warga. Sejak muda, ia sudah menunjukkan ketidakterimaannya terhadap penindasan kolonial dan turut aktif dalam demonstrasi di Hebron menolak imigrasi Yahudi dan kekuasaan mandat Inggris.

Ia tak pernah belajar di sekolah formal, tetapi semangat nasionalismenya dan keberpihakannya pada rakyat membuatnya dicintai dan dihormati.

Al-Zir dikenal sebagai pribadi yang tak gentar menghadapi aparat kolonial maupun pasukan penjajah.

Muhammad Jamjoum: Sang orator dari Hebron

Muhammad Khalil Jamjoum juga berasal dari kota Hebron, lahir pada tahun 1902. Ia menempuh pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya sebelum melanjutkan studi ke Universitas Amerika di Beirut. Salah satu pusat pemikiran progresif dunia Arab saat itu.

Sejak muda, Jamjoum dikenal sebagai sosok yang vokal dalam menentang Zionisme dan mandat Inggris.

Dalam Revolusi Al-Buraq, ia kerap memimpin unjuk rasa di kota Hebron, menyerukan perlawanan terhadap kolonialisme dan penjajahan.

Dalam percakapan terakhirnya dengan sang ibu sebelum eksekusi, ketika melihat ibunya menangis, Jamjoum berkata:

“Mengapa engkau menangis, wahai Ibu? Apakah engkau bersedih karena aku akan mati sebagai syahid? Bernyanyilah, wahai Ibu, bernyanyilah! Karena hari ini adalah hari pernikahanku dengan keabadian.”

Kalimat itu, yang kini abadi dalam ingatan rakyat Palestina, menjadi lambang keberanian dan keikhlasan generasi perlawanan.

Ketika puisi menjadi monumen perlawanan

Bagi rakyat Palestina, “Selasa Merah” bukan hanya lembaran sejarah kelam, tetapi telah menjelma menjadi ikon perjuangan nasional yang mengakar dalam ingatan kolektif.

Sejak tragedi itu terjadi pada 1930, peristiwa eksekusi tiga pemuda Palestina telah menginspirasi generasi demi generasi, tidak hanya melalui pengajaran di ruang kelas, tetapi juga lewat karya sastra, puisi, dan lagu-lagu perlawanan.

Salah satu karya paling terkenal yang mengabadikan kisah ini adalah elegi yang ditulis oleh penyair rakyat Palestina, Nuh Ibrahim, berjudul “Dari Penjara Akka Keluar Sebuah Jenazah”.

Syair ini sejak lama menjadi bagian dari narasi lisan rakyat Palestina. Dalam bait-baitnya yang menyayat, Nuh menggambarkan keteguhan ketiga syuhada:

من سجن عكا طلعت جنازة
محمد جمجوم وفؤاد حجازي
محمد جمجوم ومع عطا الزير
فؤاد حجازي عز الذخيرة

“Dari penjara Akka jenazah dibawa keluar,
Muhammad Jamjoum dan Fuad Hijazi.
Muhammad Jamjoum bersama Atha al-Zir,
Fuad Hijazi, permata keberanian.”

Puisi itu juga menampilkan dialog imajinatif antara para syuhada menjelang kematian:

ويقول محمد أنا أولكم
خوفي يا عطا أشرب حسرتكم
ويقول حجازي أنا أولكم
ما نهاب الردى ولا المنونا

“Berkata Muhammad: aku yang pertama,
Takutku, wahai Atha, kuteguk nestapamu.
Berkata Hijazi: akulah yang pertama,
Tak gentar kami pada maut dan ajal yang tiba.”

Puisi ini kemudian diabadikan oleh grup seni legendaris Palestina, Al-‘Ashiqin, yang membawakannya dalam bentuk lagu yang kerap dinyanyikan dalam berbagai peringatan dan acara nasional hingga hari ini.

Ibrahim Tuqan dan “3 jam kematian”

Tak kalah penting adalah puisi bertajuk “Selasa Merah” karya Ibrahim Tuqan, salah satu penyair paling terkemuka dalam sejarah Palestina.

Puisi ini ditulis hanya beberapa minggu setelah ketiga pemuda tersebut dieksekusi, dan menjadi salah satu karya yang paling menyayat tentang penderitaan sekaligus kemuliaan para syuhada.

Dalam salah satu baitnya yang paling terkenal, Tuqan menulis:

أجسادهم في تربة الأوطان
أرواحهم في جنة الرضوان
وهناك لا شكوى من الطغيان
وهناك فيض العفو والغفران

“Jasad mereka di tanah air bersemayam,
Ruh mereka di taman surga mengalir tenang.
Di sana tiada keluh karena tirani,
Di sana hanya limpahan ampun dan rahmat Ilahi.”

Tuqan bukan hanya mengenang peristiwa itu, tetapi mengangkatnya menjadi simbol nasionalisme dan pengorbanan yang melampaui generasi.

Buku yang mengabadikan perlawanan

Selain puisi, berbagai penulis dan sejarawan juga telah mengabadikan peristiwa “Selasa Merah” dalam bentuk kajian mendalam.

Salah satu yang paling penting adalah buku “Selasa Merah dalam Gerakan Nasional Palestina” karya penulis dan peneliti Adel Mujahid Al-Ashmawi.

Buku setebal 206 halaman ini telah dicetak dalam berbagai edisi dan menjadi salah satu rujukan utama mengenai kisah tiga syuhada.

Ia menyuguhkan rincian perjalanan hidup para pejuang, posisi mereka menjelang eksekusi, serta bagaimana bangsa Arab—baik di Palestina maupun di luar—menanggapi tragedi tersebut.

Tak hanya itu, buku ini juga menyertakan lampiran berupa dokumen-dokumen penting, surat dari tokoh-tokoh terkemuka kepada para ibu syuhada, dan kutipan-kutipan puisi serta lagu yang terinspirasi dari perjuangan mereka.

Dari duka menjadi hari nasional perlawanan

Setiap tanggal 17 Juni, rakyat Palestina di seluruh dunia memperingati “Selasa Merah” sebagai hari nasional tak resmi.

Hari mengenang 3 pemuda yang meregang nyawa di tiang gantungan demi tanah air mereka.

Lebih dari sekadar duka, hari ini telah menjadi simbol pengorbanan, keberanian, dan kesinambungan perjuangan bangsa Palestina dalam mempertahankan hak-haknya dan kesucian tempat-tempat ibadahnya.

Bagi rakyat Palestina, “Selasa Merah” bukanlah sekadar peringatan historis, melainkan titik balik dalam sejarah panjang perlawanan terhadap penjajahan—mulai dari kekuasaan Inggris hingga pendudukan Israel.

Tiga pemuda yang dihukum mati di Penjara Akka pada 17 Juni 1930—Fuad Hijazi, Atha al-Zir, dan Muhammad Jamjoum—bukan hanya tokoh masa lalu, tetapi terus hidup dalam memori kolektif rakyat sebagai teladan keteguhan dan keberanian.

Pada Maret 2023, sekelompok tahanan Palestina di penjara-penjara Israel menyerukan agar setiap hari Selasa dijadikan sebagai “Selasa Kebebasan”.

Hari solidaritas mingguan untuk mengenang para syuhada dan mendukung perjuangan tahanan politik yang masih berada di balik jeruji.

Seruan ini menunjukkan bagaimana warisan “Selasa Merah” terus bertransformasi menjadi energi kolektif untuk perlawanan yang berkelanjutan.

Menurut Mohsen Saleh, Direktur Jenderal Pusat Studi dan Konsultasi “Zaitouna”, para syuhada “Selasa Merah” merupakan model awal kepahlawanan dalam melawan kolonialisme Inggris dan proyek kolonisasi Zionis.

Mereka dikenal luas melalui peran sentralnya dalam Revolusi Al-Buraq tahun 1929, yang meletus sebagai respons terhadap klaim sepihak kelompok Zionis atas tembok barat (Al-Buraq) dari Masjid Al-Aqsha.

“Mereka bukan hanya tokoh lokal, tetapi ikon perlawanan yang kepahlawanannya menyeberangi generasi. Jihad mereka terhubung erat dengan semangat mempertahankan tanah suci dan hak sejarah bangsa Palestina,” ujar Saleh.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular