Serangan misil Iran belum lama ini tak hanya mengguncang medan militer, tetapi juga menggugurkan salah satu simpul paling vital dalam dunia pengetahuan Israel.
Rudal tersebut menghantam langsung Institut Weizmann untuk Ilmu Pengetahuan di kota Rehovot—yang berdiri di atas reruntuhan desa Surafend yang telah lama ditinggalkan—dan menimbulkan kerusakan parah pada laboratorium-laboratorium riset.
Dalam hitungan detik, upaya puluhan tahun penelitian rahasia luluh lantak.
Institut Weizmann bukan lembaga ilmiah biasa. Selain menjadi pusat unggulan dalam fisika dan biologi, lembaga ini menyediakan dukungan teknologi canggih bagi militer Israel.
Di antaranya adalah pengembangan kecerdasan buatan, analisis intelijen, sistem navigasi drone, senjata otonom, pelacak presisi, perangkat perlindungan dan gangguan elektronik, serta riset dalam teknologi energi terarah dan sistem satelit militer.
Peran sentralnya dalam mendukung program nuklir Israel, meskipun tak diakui secara terbuka, menjadikan institut ini sebagai elemen krusial dalam arsitektur keamanan nasional Israel.
Tak heran bila serangan itu dianggap sebagai pukulan telak. Stasiun televisi Iran, Press TV, menyebutnya sebagai “serangan presisi terhadap lokasi yang sangat sensitif”.
Kerusakan yang tak tergantikan
Hari demi hari setelah serangan, gambaran kerusakan mulai terungkap. Salah satu bangunan laboratorium ilmu hayati terbakar hebat sebelum akhirnya ambruk.
Bersamanya turut musnah peralatan ilmiah canggih dan sampel biologis langka yang tak ternilai—beberapa di antaranya mungkin tak pernah bisa digantikan.
Walau tak menimbulkan korban jiwa, serangan ini memukul pusat kecerdasan akademik Israel.
Seperti ditulis Galit Winerav, koresponden bidang sains harian Globes, serangan ini tidak hanya menghancurkan gedung dan fasilitas laboratorium, tetapi juga memusnahkan fondasi pengetahuan yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
Riset penting tentang pencegahan penuaan, pengobatan kanker, dan penyakit kompleks lainnya kini terancam hilang tanpa jejak.
Winerav menekankan bahwa kerugian ini melampaui kerusakan fisik. Banyak data penelitian, eksperimen jangka panjang, serta perangkat laboratorium berteknologi tinggi yang tidak mungkin diganti dalam waktu singkat.
“Ini bukan sekadar pukulan bagi institute, melainkan pukulan bagi dunia ilmu pengetahuan dan seluruh cabang sains presisi,” ujar seorang peneliti.
Apa yang terjadi di Rehovot menjadi pengingat betapa rentannya simpul-simpul peradaban intelektual ketika berada dalam bayang-bayang konflik bersenjata.
Dan dalam kasus ini, bukan hanya Israel yang kehilangan, tetapi mungkin juga dunia.
Weizmann, benteng sains Israel yang luluh dalam sekejap
Didirikan pada 1934 oleh ahli kimia kenamaan Haim Weizmann di era Mandat Inggris, Institut Weizmann untuk Ilmu Pengetahuan awalnya bernama Institut Daniel Sieff—menghormati keluarga filantropis asal Inggris yang mendukung migrasi Yahudi ke Palestina.
Setelah berdirinya negara Israel, lembaga ini berganti nama menjadi Weizmann, dan pendirinya menjadi presiden pertama negara tersebut pada 1949.
Kini, Weizmann menjelma sebagai salah satu institusi penelitian multidisiplin terkemuka dunia, unggul dalam kimia, fisika, biologi, dan ilmu komputer.
Institut ini menaungi lebih dari 250 kelompok riset dan 30 laboratorium, serta telah mencatat sekitar 2.000 paten, menurut laman resminya.
Namun, di balik citra akademik dan ilmiahnya yang gemilang, Weizmann memiliki hubungan erat dengan institusi militer Israel.
Selama bertahun-tahun, institut ini menjalin kerja sama dengan perusahaan senjata besar seperti Elbit Systems dan Israel Aerospace Industries, serta dengan Kementerian Pertahanan.
Kolaborasi tersebut meliputi pengembangan bahan biologis untuk keperluan militer, pelatihan sains bagi tentara, hingga program khusus bagi siswa SMA yang dipersiapkan masuk dinas ketentaraan.
Institut ini juga diketahui memainkan peran sentral dalam mendukung program nuklir Israel melalui departemen fisika nuklir dan pemisahan isotop, termasuk pelatihan ilmuwan di reaktor nuklir Nahal Soreq.
Tokoh-tokoh terkemuka seperti David Bergmann dan Harry Lipkin ikut membidani infrastruktur ilmiah bagi kekuatan nuklir Israel.
Tak heran jika serangan misil Iran pada April lalu menimbulkan luka mendalam. Laporan bersama dua jurnalis dari harian The Marker, Ruti Levy dan Gideon Levy, menyebut kerugian ilmiah akibat serangan ini “nyaris tak terukur dan sulit dipulihkan.”
Duka di tengah puing dan debu
Sebuah video yang dirilis sehari setelah serangan menggambarkan suasana yang ganjil sekaligus menggetarkan.
Profesor Amos Tanay dari Departemen Ilmu Komputer dan Biologi Molekuler tampak duduk di depan piano dalam bangunan yang rusak, mengenakan helm sepeda, sambil memainkan melodi di tengah pecahan kaca dan tiang-tiang bangunan yang tersingkap.
Serangan itu terjadi pada malam hari, saat sebagian besar laboratorium kosong. Namun, kerusakannya menyeluruh.
Foto-foto yang dirilis menunjukkan dinding yang hangus, jendela pecah, kabel listrik yang terjuntai, serta lantai yang tergenang air dari upaya pemadaman.
Salah satu roket dikabarkan mengenai langsung beberapa bangunan utama Weizmann.
Sebuah gedung yang menjadi pusat riset biokimia, mikrobiologi, dan ilmu kehidupan terbakar hebat, dan tiga lantai bangunannya runtuh total.
Profesor Eldad Tzahor dari Departemen Biologi Sel Molekuler, yang telah mengabdikan 22 tahun hidupnya di institut itu, mengaku tak percaya saat pertama kali melihat foto-foto reruntuhan laboratoriumnya.
“Tak tersisa apa-apa—tak ada laboratorium, tak ada irisan jantung, tak ada foto, tak ada kenangan. Semua lenyap. Setiap hari kami menyadari semakin dalam kerugian yang ada. Bukan hanya peralatannya, tetapi juga pengetahuan yang terakumulasi, hal-hal kecil yang tak tergantikan. Tanpa itu, tak mungkin menerbitkan makalah ilmiah. Semua menguap dalam satu momen,” tuturnya.
Profesor Eran Segal dari Ilmu Komputer menceritakan upaya timnya menyelamatkan sampel biologis yang disimpan pada suhu -80 derajat Celsius.
“Kami berhasil mengeluarkan sebagian melalui kaca yang pecah, hanya beberapa detik sebelum alarm serangan kedua berbunyi,” lanjutnya.
Namun sebagian besar peralatan, senilai jutaan dolar, rusak karena air.
“Kami belum tahu apakah bisa diperbaiki. Ini pukulan keras bagi riset sains Israel. Kami akan membangun kembali, mungkin lebih baik dari sebelumnya,” ujarnya.
Sementara itu, Profesor Sariel Fleishman dari Fakultas Biokimia—yang laboratoriumnya luput dari kehancuran—menggambarkan suasana di kalangan ilmuwan sebagai “trauma kolektif”.
Menurutnya, kerugian bukan hanya berupa alat, melainkan juga pengetahuan halus seperti kalibrasi dan prosedur rinci yang menjadi inti warisan riset.
Ia memperkirakan pembangunan ulang infrastruktur penelitian akan memakan waktu setidaknya dua tahun.