Ketika perhatian dunia masih tertuju pada genosida yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diam-diam mempercepat pengambilalihan wilayah Tepi Barat.
Dengan mengandalkan dukungan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat serta diamnya sebagian besar dunia Arab, Israel memperluas pemukiman ilegal dan menggusur warga Palestina.
Tujuannya, guna membangun “model mini” dari proyek “Israel Raya” yang mencakup wilayah antara Sungai Yordan dan Laut Tengah.
Sejak Januari 2024, pemerintah sayap kanan yang dipimpin Netanyahu — yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) — terus melancarkan operasi militer di Tepi Barat.
Di bawah dalih keamanan, pemerintah melibatkan pemukim ekstremis, tentara, dan polisi dalam penghancuran rumah-rumah warga Palestina serta pengusiran paksa guna membuka jalan bagi pendirian pos-pos pemukiman baru.
Sejumlah pengamat menilai kondisi saat ini lebih buruk dari peristiwa Nakba 1948, karena pembersihan etnis terhadap warga Palestina di Tepi Barat kini dilakukan secara sistematis, selaras dengan kehancuran di Gaza.
Kembali ke metode 1948
Dr. Mustafa Barghouti, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, dalam program Behind the News mengatakan bahwa pemerintah Israel kini kembali menggunakan taktik lama.
Yaitu, membiarkan kelompok pemukim menyerang warga sipil Palestina dengan senjata, seperti yang dilakukan kelompok Hagana dan Irgun pada 1948.
Selain itu, pemerintah Israel juga memanfaatkan jalur hukum untuk mencabut hak kepemilikan tanah warga Palestina.
Harian Haaretz mengungkap bahwa Kementerian Keuangan Israel mengalokasikan 5,6 miliar shekel (sekitar 1,5 miliar dolar AS) untuk memperluas infrastruktur permukiman, termasuk pembangunan jalan, jaringan air, dan listrik.
Proyek ini merupakan bagian dari strategi untuk menghubungkan pemukiman satu sama lain dan memecah wilayah Palestina menjadi kantong-kantong terpisah.
Ketua Knesset Israel dan 14 anggota parlemen dari Partai Likud bahkan secara terbuka menyerukan pencaplokan penuh wilayah Tepi Barat.
Meski pemerintah berdalih bahwa langkah-langkah ini adalah respons terhadap peristiwa 7 Oktober 2023, sejumlah pakar seperti analis politik Ehav Jabarin menyebut bahwa rencana ini telah disusun dan dijalankan jauh sebelumnya, dan kini hanya dipercepat pelaksanaannya.
Menuju “Israel Raya”
Beberapa menteri di pemerintahan Netanyahu secara terbuka menyerukan agar seluruh wilayah Tepi Barat — bahkan wilayah lain di kawasan — menjadi bagian dari Israel.
Visi ini, menurut pengamat, bertujuan untuk membangun “Israel Raya” yang menolak pengakuan terhadap hak non-Yahudi, mengganti hukum sipil dengan aturan berbasis agama Yahudi.
Salah satu suara ekstrem datang dari Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang menyatakan bahwa warga Palestina di Tepi Barat hanya memiliki tiga pilihan: pergi, tunduk pada kekuasaan Israel, atau dibunuh.
Menurut data dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang dikutip Financial Times pada Mei lalu, lebih dari 900 warga Palestina telah dibunuh Israel di Tepi Barat sejak dimulainya perang di Gaza.
Mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, Thomas Warrick, mengungkap bahwa Presiden Donald Trump tampaknya tak memperhatikan apa yang terjadi di Tepi Barat karena terlalu sibuk dengan isu-isu seperti Iran.
Ia menilai negara-negara seperti Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab perlu mengingatkan Washington bahwa agresi Israel di Tepi Barat bisa menggagalkan semua rencana perdamaian Trump di kawasan.
Namun, pernyataan Trump sebelumnya menunjukkan bahwa ketidakpedulian ini bukanlah karena ketidaktahuan, melainkan disengaja.
Dalam awal masa jabatan keduanya, ia mengaku sedang mempertimbangkan untuk secara resmi mengakui aneksasi Israel atas seluruh Tepi Barat.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pada paruh pertama 2025 saja, pemerintahan Netanyahu telah menyetujui pembangunan lebih dari 17.000 unit permukiman baru.
Sebagian besar di wilayah Nablus, Hebron, dan Betlehem, menurut Badan Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman.
Mengubah wajah Tepi Barat
Dalam apa yang disebut sebagai operasi “Tembok Besi” yang dimulai dari kamp-kamp pengungsi di utara Tepi Barat, pasukan Israel telah menghancurkan ratusan rumah dan mengusir ribuan warga Palestina.
Baru-baru ini, Israel mengirimkan unit-unit kontainer ke wilayah Tel Rumeida dekat Makam Ibrahim di selatan Hebron, langkah yang dinilai sebagai persiapan pembangunan permukiman baru.
Amro Issa, koordinator gerakan “Pemuda Menentang Permukiman”, menyebut langkah ini sebagai “perkembangan yang sangat berbahaya”.
Sejak Oktober 2023, Israel telah melakukan lebih dari 3.000 penghancuran di kamp-kamp pengungsi Tepi Barat, dan menyatakan niatnya untuk mengubah wajah wilayah itu agar tetap terbuka dan mudah dikuasai secara militer.
Sementara itu, serangan pemukim terhadap rumah dan tanah warga Palestina juga meningkat drastis.
Organisasi hak asasi Israel B’Tselem mencatat pengusiran paksa di 20 desa sejak Oktober. Wartawan Al Jazeera, Montaser Nassar, menyebut dua bulan terakhir sebagai periode paling brutal dalam sejarah Tepi Barat.
Dalam laporan B’Tselem bulan Mei lalu, disebutkan bahwa jumlah pemukim Israel di Tepi Barat telah melampaui 730.000 — meningkat 8 persen dibanding tahun sebelumnya.
Angka ini menunjukkan bahwa kebijakan pencaplokan wilayah yang dilakukan Israel kini bukan lagi spekulasi, tetapi proses yang sedang berlangsung secara agresif dan sistematis.