Wednesday, July 23, 2025
HomeBeritaAmerika dan Israel ingin lemahkan Suriah, tapi beda cara

Amerika dan Israel ingin lemahkan Suriah, tapi beda cara

Amerika Serikat (AS) dan Israel tampaknya sepakat dalam satu tujuan: melemahkan Suriah pascarezim Bashar al-Assad.

Namun, kedua sekutu itu berbeda pandangan soal metode yang digunakan.

Washington ingin membangun Suriah yang tergantung sepenuhnya pada bantuan luar negeri.

Sedangkan Tel Aviv berusaha menciptakan Suriah yang terpecah secara sektarian dan etnis, terutama melalui eksploitasi kelompok minoritas seperti Druze.

Presiden AS, Donald Trump, dalam berbagai pernyataannya menyuarakan dukungan terhadap stabilitas pemerintahan baru di Damaskus dan menyatakan keinginan untuk membantu membangun kembali negara tersebut.

Sebaliknya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini berstatus buron di Mahkamah Pidana Internasional—secara aktif berusaha mendesain peta Suriah baru.

Ia mencoba membongkar struktur negara berdasarkan identitas-identitas komunal, dengan dalih “melindungi Druze”.

Intervensi militer Israel di wilayah selatan Suriah dilakukan dengan alasan itu pula. Namun, menurut laporan Associated Press, utusan AS, Tom Barrack menyatakan bahwa Israel lebih menyukai Suriah yang terfragmentasi dibanding negara sentralistik yang kuat.

Perbedaan ini tidak mencerminkan visi berbeda atas masa depan Suriah, melainkan perbedaan taktik untuk mencapai hasil yang sama.

Yaitu menundukkan Suriah dalam kerangka pengaruh strategis Israel jangka panjang.

Strategi pecah belah

Menurut Dr. Bilal al-Shubaki, Ketua Jurusan Ilmu Politik Universitas Hebron, pendekatan AS—terutama di bawah Partai Republik—tidak berhenti pada pelemahan Suriah, melainkan mencakup seluruh kawasan yang dianggap dapat menjadi ancaman potensial terhadap Israel.

Dalam konteks Suweida, Washington melihatnya sebagai krisis mendesak yang harus dikelola segera.

Sedangkan Israel menganggapnya sebagai peluang strategis untuk mengubah struktur Suriah secara permanen.

Shubaki menilai kegagalan Netanyahu dalam mengatur ulang masa depan Gaza sesuai dokumen AS tahun 1990-an—yang memberikan keleluasaan kepada Israel untuk bertindak di kawasan itu—mendorongnya mencari “pengganti kemenangan” di Suriah.

Strategi itu termasuk membangun relasi dengan komunitas minoritas sebagai alat tawar politik dan militer.

Amerika dan Israel, menurutnya, sebenarnya saling melengkapi: Trump menjerat Suriah secara ekonomi dan politik.

Sementara Netanyahu menjalankan tekanan militer untuk mempercepat hasil yang diinginkan.

Jika Trump ingin Suriah bergantung pada luar negeri, Netanyahu menginginkan Suriah yang secara de facto bubar dan tidak memiliki struktur kenegaraan menyeluruh.

Pandangan ini juga diamini oleh analis politik Suriah, Yasser Najjar. Ia menilai bahwa pemerintahan Trump membatasi gerak Israel hanya pada kawasan Druze di dekat Dataran Tinggi Golan yang diduduki, sementara tetap menguasai penuh wilayah utara yang dihuni oleh Kurdi.

Dalam skema ini, Washington masih mencoba mendorong Damaskus bergabung dalam proses normalisasi dengan Israel.

Sementara itu, Israel menghendaki Damaskus menyerah sepenuhnya dari segi militer di selatan Suriah dan secara resmi melepas klaim atas Dataran Golan.

Bahkan, usai jatuhnya rezim Assad, Israel melanggar perbatasan zona pemisah yang diatur dalam Perjanjian 1974 dan mulai masuk ke jantung wilayah selatan Suriah.

Namun, pemerintahan baru di Damaskus tidak bisa begitu saja melepaskan wilayah selatan ataupun mengakui kedaulatan Israel atas Golan.

Terlebih lagi, Suriah tidak bisa menandatangani perjanjian normalisasi tanpa dukungan parlemen, yang hingga kini belum terbentuk.

Peran Amerika dan “rem” bagi Netanyahu

Dalam hal ini, posisi Amerika dan Israel tidak saling meniadakan, tetapi bersifat komplementer.

AS menjalankan diplomasi, sementara Israel menjalankan tekanan militer. Tujuan keduanya tetap sama: memastikan bahwa Damaskus tidak keluar dari jalur yang telah dirancang bersama.

Shubaki meyakini bahwa Netanyahu membawa pulang “lampu hijau” dari Washington untuk bertindak lebih agresif di Suriah, meski pengumuman resminya tak kunjung dirilis selama kunjungan terakhirnya ke AS.

Namun, ketika Netanyahu mulai bertindak “sembrono” di Suriah, seperti dilaporkan situs Axios, Washington segera turun tangan untuk mengerem langkahnya.

Menurut sejumlah pejabat AS, tindakan Netanyahu sudah dianggap “liar dan tidak terkendali.”

Meski demikian, menurut James Robbins, peneliti senior di Dewan Kebijakan Luar Negeri AS, tekanan AS tidak akan melampaui batas diplomatik.

Ia menilai Trump lebih tertarik pada penyelesaian damai agar bisa menciptakan stabilitas ekonomi di kawasan.

Untuk itu, Robbins menyarankan agar pemerintah Suriah menjaga jarak yang sama terhadap seluruh kelompok minoritas, serta bersikap netral dalam menangani konflik agar tidak dituduh melanggar hukum internasional.

Trump, menurut Robbins, tidak ingin isu Dataran Golan menjadi penghalang dalam membangun hubungan baru antara Suriah dan Israel.

Namun, di sisi lain, Israel tetap berkeras ingin mempertahankan kontrol dan kedaulatan sepihak atas wilayah itu, serta meminta pengakuan resmi dari Damaskus.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular