Wednesday, September 10, 2025
HomeBeritaSeni bertahan hidup: Luka seniman Gaza di tengah genosida

Seni bertahan hidup: Luka seniman Gaza di tengah genosida

Di tengah semakin dalamnya tragedi kemanusiaan di Gaza, sementara upaya politik dan diplomasi internasional belum juga mampu menghentikan perang, seni tampil sebagai salah satu senjata simbolik terkuat.

Melalui lukisan, teater, film, hingga musik, seniman Gaza berupaya menjaga narasi rakyatnya tetap hidup—hari ini, esok, dan sepanjang sejarah.

Meski generasi demi generasi Gaza menanggung kehilangan yang berat, suara mereka tidak pernah padam.

Dalam tangan para seniman, luka dan penderitaan menjelma karya—saksi bisu atas kekerasan, tetapi juga penanda tekad hidup yang enggan menyerah.

Seni di Gaza bukan hanya ekspresi estetika, melainkan perlawanan, ingatan, dan upaya mempertahankan jati diri.

Jejak visual yang tak terhapus

Salah satu wujudnya hadir dalam pameran “Gaza Remains the Story”. Pameran ini mencoba melampaui gambaran berita perang yang singkat, dengan menampilkan sisi kultural dan identitas masyarakat Gaza.

Kelompok Ittilaq (Pertemuan), yang berdiri sejak 2002, juga menjadi contoh kegigihan. Meski markas mereka berulang kali hancur sebagian akibat serangan, para anggotanya terus berpartisipasi dalam pameran dunia.

Mereka menginisiasi program pendidikan seni untuk anak-anak Gaza, menyediakan beasiswa produksi dan residensi kreatif bagi perupa lokal, bekerja sama dengan lembaga kebudayaan Palestina.

Panggung yang menggugat dan menertawakan

Seni perlawanan juga hadir lewat panggung teater. Dalam festival Shubbak di London tahun ini, teater kolektif Palate Collective menampilkan drama Application 36.

Dengan satire politik bernuansa kelam, kisah ini menggabungkan imajinasi masa depan dan realitas Gaza.

Latar waktunya tahun 2048, ketika dua pegawai mengajukan permohonan agar Gaza menjadi tuan rumah Olimpiade—dan permohonan itu, di luar dugaan, dikabulkan.

Masih dalam festival yang sama, The Freedom Theatre dari kamp Jenin mempersembahkan lakon Return to Palestine.

Lewat kisah seorang pemuda Palestina-Amerika yang baru pertama kali menjejakkan kaki di tanah leluhur, penonton diajak menyelami realitas Palestina dengan satire pedas dan komedi hitam.

Dari humor, kritik sosial, hingga peran tak terduga—mulai dari hewan hingga kendaraan—para aktor berhasil menciptakan pengalaman teater yang segar sekaligus menohok.

Dari reruntuhan ke karpet merah

Dua sutradara kembar asal Gaza, Arab dan Tarzan Nasser, melahirkan film Once Upon a Time in Gaza. Berlatar Gaza pada 2007, film ini mengikuti perjalanan 2 sahabat yang berjuang bertahan hidup di tengah kepungan.

Tayang perdana di Festival Film Cannes tahun ini, film tersebut bahkan meraih penghargaan Sutradara Terbaik.

Dengan gaya klasik ala film “Spaghetti Western”, kisah Gaza tampil lewat balutan sinema yang unik.

Tak kalah menarik, 22 sutradara muda Gaza menghadirkan karya kolaboratif From Ground Zero.

Berisi kumpulan film pendek dengan gaya beragam—dokumenter, drama, hingga animasi—karya ini lahir dari lokakarya jarak jauh di bawah bimbingan sineas Rashid Masharawi.

Setiap potongan cerita merekam pengalaman hidup di Gaza dari sudut pandang berbeda, namun berpadu menjadi mozaik kesaksian bersama.

Dari Gaza ke Sydney: Musik dan tari yang menyatukan

Di ranah musik, grup Sol Band menjadi salah satu suara paling menonjol. Berdiri pada 2012 dari pertemanan masa kecil, mereka memadukan tradisi Palestina dengan warna pop modern.

Karya mereka pernah meraih penghargaan Institut Prancis untuk Musik (2020). Bahkan di tengah perang, Sol Band tetap bernyanyi bagi anak-anak pengungsi di tempat penampungan, membawakan lagu-lagu harapan.

Upaya menjaga warisan budaya juga tampak di panggung Sydney Opera House. Melalui program Artists for Peace, musisi dan penari dari Palestina, Lebanon, Turki, hingga Siprus menampilkan kolaborasi musik dan tarian.

Di sana, dentum dabka berpadu dengan motif sulaman khas Palestina, menghadirkan perayaan identitas yang kental.

Lagu-lagu rakyat seperti Ya Zarif al-Tul, serta nyanyian kerja, panen, dan pernikahan dari masa sebelum Nakba, kembali menggema. Salah satu penampil yang mencuri perhatian adalah Seraj Jildeh, lewat kepiawaiannya bermain oud dan riqq.

Seni di Gaza hari ini bukan sekadar ajang estetika. Ia adalah bagian dari perjuangan sehari-hari untuk membela identitas Palestina di hadapan dunia.

Dari lukisan yang mengambil inspirasi motif bordir tradisional, hingga nyanyian rakyat seperti Wen ‘a Ramallah, setiap karya menjadi pernyataan eksistensi.

Dalam situasi ketika pendudukan tidak hanya merebut tanah, tetapi juga berupaya menghapus sejarah dan budaya, seniman Gaza tampil di garis depan untuk menjaga ingatan kolektif bangsanya.

Melalui seni, mereka menegaskan: Gaza ada, Palestina hidup, dan cerita itu tidak akan pernah padam.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular