Thursday, August 28, 2025
HomeBeritaRSF: Israel harus dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan jurnalis Gaza

RSF: Israel harus dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan jurnalis Gaza

Gelombang kecaman dari organisasi jurnalis internasional semakin keras menyusul berlanjutnya aksi Israel membunuh wartawan di Gaza.

Mereka memperingatkan, impunitas atas kejahatan itu tidak hanya berbahaya bagi warga Palestina, tetapi juga mengancam keselamatan jurnalis di seluruh dunia.

Organisasi Reporters Without Borders (RSF) menyatakan kemarahan mendalam atas terbunuhnya sejumlah jurnalis dalam serangan udara Israel ke kompleks medis Nasser di Khan Younis. Korban termasuk juru kamera Al Jazeera, Mohamed Salama.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Direktur Program RSF, Louise Alwen Bichet, menegaskan bahwa apa yang terjadi merupakan pola penargetan sistematis terhadap jurnalis.

Tindakan itu, menurut dia, jelas mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menekankan perlindungan jurnalis di wilayah konflik.

“Pelanggaran hukum internasional yang terus terjadi ini seharusnya membangunkan masyarakat dunia untuk meningkatkan tekanan terhadap Israel. Dukungan internasional harus diarahkan pada penghentian kekerasan, termasuk terhadap jurnalis,” ujarnya.

Bichet menyerukan agar negara-negara yang selama ini mendukung Israel, bahkan yang tidak aktif sekalipun, mengubah sikap mereka dengan menerapkan tekanan politik, ekonomi, hingga sanksi.

Menurut dia, masyarakat internasional memiliki kewajiban moral untuk melindungi jurnalis.

“RSF mendukung terbentuknya gerakan internasional untuk menghentikan pola penargetan sistematis, jelas, dan terdokumentasi ini,” katanya.

Ia menambahkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—yang kini juga menjadi subjek tuntutan di Mahkamah Pidana Internasional—telah melanggar prinsip-prinsip hukum perang dengan membiarkan pembunuhan jurnalis.

Dunia berkewajiban melindungi jurnalis

Bichet memperingatkan, jika pelanggaran serius ini terus dibiarkan, dampaknya akan jauh melampaui Gaza.

“Ini akan menjadi preseden berbahaya dalam konflik-konflik lain di masa depan, ketika pembunuhan jurnalis dianggap sebagai sesuatu yang bisa luput dari hukuman,” katanya.

Nada serupa disampaikan Direktur Eksekutif International Press Institute (IPI), Scott Griffin.

Ia mengecam keras sikap Israel yang terus melakukan pelanggaran di depan mata dunia, tanpa ada konsekuensi.

Menurut Griffin, masalah utama terletak pada negara-negara pendukung Israel yang tidak mendesaknya menghentikan serangan terhadap infrastruktur sipil maupun jurnalis.

“Dunia kini berada di titik patah yang sangat berbahaya,” katanya.

Bagi Griffin, situasi ini bukan hanya soal penderitaan warga sipil, melainkan juga pelanggaran hukum internasional yang mencolok.

“Jika pembunuhan jurnalis terus dibiarkan tanpa sanksi, hal ini akan mengubah lanskap kerja jurnalistik di masa depan. Jurnalis akan selalu berada dalam bahaya karena diyakini nyawa mereka tak akan dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Ia juga menyatakan keraguannya terhadap proses investigasi Israel.

“Hasilnya selalu buntu, tanpa ada pihak yang dihukum. Lihat saja kasus pembunuhan Shireen Abu Akleh. Karena itu, diperlukan intervensi internasional agar penyelidikan benar-benar transparan dan akuntabel,” tambahnya.

Sejak perang di Gaza pecah, sedikitnya 246 jurnalis tewas, termasuk 10 dari jaringan Al Jazeera.

Serangan udara Israel ke kompleks Nasser baru-baru ini menewaskan 20 orang, di antaranya enam jurnalis: Mohamed Salama (Al Jazeera), Hossam al-Masri (Reuters), Mariam Abu Daqqa (Associated Press), Mu’az Abu Taha, dan Hassan Douhan.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular