Thursday, September 18, 2025
HomeBeritaANALISIS - Sanksi Eropa terhadap Israel: Langkah bersejarah atau pesan simbolis?

ANALISIS – Sanksi Eropa terhadap Israel: Langkah bersejarah atau pesan simbolis?

Langkah tidak biasa yang ditempuh Komisi Eropa terhadap Israel menimbulkan perdebatan luas.

Untuk pertama kalinya, lembaga eksekutif Uni Eropa mengajukan usulan penangguhan sebagian perjanjian dagang dengan Israel sebagai respons atas operasi militer di Jalur Gaza.

Wakil Presiden Komisi Eropa sekaligus Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menjelaskan bahwa tujuan utama kebijakan tersebut bukanlah sekadar menghukum Israel.

Lebih jauh, langkah itu dimaksudkan untuk mendorong perubahan sikap Pemerintah Israel sekaligus memperbaiki kondisi kemanusiaan di Gaza yang kian memburuk.

Rencana yang dinilai ambisius itu mencakup pengenaan bea masuk terhadap ekspor Israel senilai 6 miliar euro, atau sekitar 37 persen dari total ekspor negara tersebut.

Produk yang terkena dampak meliputi hasil pertanian, terutama buah-buahan, serta sejumlah produk industri.

Selain itu, rancangan sanksi juga mencakup pembekuan aset dan larangan perjalanan bagi dua menteri sayap kanan Israel, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, serta sejumlah pemukim Yahudi yang terlibat kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

Menurut pengamat politik, Dr. Ziad Majed, inilah untuk pertama kalinya Uni Eropa berbicara secara eksplisit mengenai sanksi yang melampaui produk asal Tepi Barat dan menjangkau seluruh produk Israel.

“Ada nilai historis dalam langkah ini,” ujarnya.

Namun, prospek penerapan kebijakan itu tidak sederhana. Sesuai mekanisme, usulan Komisi harus mendapat persetujuan negara-negara anggota yang mewakili 65 persen populasi Uni Eropa.

Hambatan besar datang dari sejumlah negara utama, terutama Jerman yang selama ini menjadi sekutu penting Israel, serta Italia, Hongaria, dan Republik Ceko.

Keempat negara itu, kata Majed, memiliki bobot demografis yang cukup besar untuk menggagalkan usulan tersebut.

Dengan demikian, masa depan rencana sanksi ini masih sarat ketidakpastian meskipun secara politik dianggap sebagai titik balik dalam hubungan Eropa–Israel.

Jalan baru bagi Eropa

Meski sarat hambatan, usulan sanksi dari Komisi Eropa membuka jalan baru bagi kerja sama Eropa. Pengamat politik Ziad Majed menilai, bila upaya bersama Uni Eropa gagal, sejumlah negara anggota masih dapat mengadopsi sanksi secara unilateral.

Langkah demikian akan menjadi preseden penting dalam praktik kebijakan luar negeri di dalam kerangka Eropa.

Dari sisi ekonomi, arti kebijakan ini tidak bisa diremehkan. Hubungan dagang antara Israel dan Uni Eropa sangat erat, sehingga dampaknya berpotensi besar.

Akademisi dan pakar urusan Israel, Dr. Mohanad Mustafa, menegaskan bahwa rekomendasi ini benar-benar menyakitkan bagi Israel, mengingat Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar negara tersebut.

Sekitar sepertiga ekspor Israel mengalir ke pasar Eropa. Selain itu, kerja sama di bidang industri, ilmu pengetahuan, dan riset juga lebih intensif dengan Uni Eropa dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS).

Karena itu, sanksi ini bukan sekadar tekanan ekonomi, tetapi juga menyentuh dimensi strategis hubungan Israel dengan dunia luar.

Mustafa menambahkan, dampaknya bersifat ganda. Selain memukul secara ekonomi, langkah ini juga mendorong legitimasi bagi masyarakat sipil Eropa untuk memperluas gerakan boikot terhadap Israel.

Hal itu akan memperkuat basis moral bagi inisiatif-inisiatif kultural, seni, dan akademik yang menyerukan pemutusan hubungan dengan Israel.

Dengan demikian, isolasi Israel semakin dalam, bukan hanya di level diplomatik, tetapi juga di ranah sosial dan kultural.

Israel sendiri segera memberikan respons resmi. Menteri Luar Negeri Gideon Sa’ar mengecam rekomendasi Komisi Eropa sebagai kebijakan yang “cacat secara moral dan politis”.

Ia memperingatkan bahwa setiap langkah sanksi akan merugikan kepentingan Eropa sendiri.

Sa’ar menegaskan, Israel tetap akan melawan setiap upaya yang merugikannya dengan dukungan para sekutu di Eropa, bahkan mengancam akan mengambil “langkah balasan yang sesuai”.

Dalam analisis lebih lanjut, Mustafa menjelaskan strategi Israel dalam menghadapi kemungkinan boikot.

Ada 3 instrumen utama yang dipakai. Pertama, retorika bernuansa diskriminatif, yakni menuding komunitas Muslim di Eropa sebagai penyebab gelombang protes terhadap Israel.

Kedua, mengandalkan dukungan kelompok populis sayap kanan di Eropa guna menggagalkan sanksi.

Ketiga, Israel memanfaatkan lambannya proses kebijakan resmi Uni Eropa untuk mendeligitimasi gerakan masyarakat sipil yang lebih cepat dan dinamis.

Tekanan publik yang meningkat

Langkah resmi Komisi Eropa muncul seiring dengan gelombang tekanan publik yang terus meluas di berbagai penjuru Eropa.

Penulis dan peneliti Hossam Shaker menilai, Uni Eropa kini menghadapi ujian moral dari warganya sendiri, termasuk dari kalangan pegawai lembaga-lembaga Eropa yang terang-terangan menolak kebijakan saat ini.

Namun, Shaker juga mencatat bahwa sikap resmi Eropa masih menghindari penggunaan istilah “genosida” dan tidak merujuk pada laporan Komisi Penyelidikan Independen PBB yang telah menyatakan peristiwa di Gaza sebagai bentuk genosida.

Tekanan dari masyarakat sipil, menurut Ziad Majed, mulai menunjukkan hasil. Isu Palestina, ujarnya, tidak pernah sekuat ini hadir dalam benak generasi baru, khususnya di kalangan elite budaya dan akademik yang berpengaruh terhadap opini publik.

Gelombang dukungan itu tampak dalam aksi serikat pekerja, pentas budaya, demonstrasi jalanan, kampus, hingga kegiatan olahraga dan musik.

Semua itu menempatkan Uni Eropa dalam posisi sulit sekaligus mendorongnya ke arah sikap yang lebih tegas.

Presiden Dewan Eropa Antonio Costa menyambut baik usulan Komisi, sembari menekankan makna simbolis dan politis dari langkah tersebut.

“Eropa ingin menunjukkan bahwa ia tidak dapat menerima tindakan Pemerintah Israel yang telah jauh melampaui hak membela diri,” ujarnya.

Pertanyaan besar kini bergulir: bagaimana sikap Eropa selanjutnya? Majed menyoroti 2 isu kunci, yakni sikap Eropa terhadap pengabaian Israel atas perintah Mahkamah Internasional, serta apakah Eropa akan mendukung langkah Mahkamah Pidana Internasional bila kelak mengeluarkan putusan terhadap pejabat Israel.

Dampak bagi Israel diperkirakan semakin serius. Mustafa memperingatkan bahwa strategi isolasi yang ditempuh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang saat ini berstatus buronan di Mahkamah Pidana Internasional—dapat berujung pada keruntuhan ekonomi, sosial, bahkan keamanan.

Israel, katanya, tidak mungkin bertahan tanpa keterhubungan dengan dunia luar.

Di sisi lain, tanda-tanda kegelisahan mulai muncul dari dalam negeri Israel sendiri. Sejumlah sektor terdampak, termasuk kalangan akademisi, seniman, hingga industri, perlahan menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah.

Meski belum memengaruhi arah politik resmi, gejala ini dianggap sebagai potensi bertambahnya tekanan domestik seiring memburuknya isolasi internasional dan meningkatnya ongkos ekonomi dari kebijakan yang sedang ditempuh.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Most Popular