Monday, October 20, 2025
HomeAnalisis dan OpiniOPINI: Kesaksian mengejutkan sejarawan Prancis tentang Gaza

OPINI: Kesaksian mengejutkan sejarawan Prancis tentang Gaza

Oleh: Hassan Aourid*

Perang ingatan biasanya dimulai ketika perang bersenjata berakhir. Saat itu, sejarawan berubah menjadi penyapu ranjau—menyisir puing-puing berita, memilah antara yang benar dan yang palsu.

Dalam pertempuran menuju kebenaran, dua hal paling dibutuhkan: objektivitas dan jarak yang sehat dari peristiwa.

Namun dalam kasus Gaza, jarak waktu tampaknya tak lagi menjadi syarat. Sebab, Gaza yang dikenal dua tahun lalu, kata analis politik Prancis Jean-Pierre Filiu, sudah tak ada lagi.

Dalam bukunya Historien à Gaza (Sejarawan di Gaza), yang terbit beberapa bulan lalu, Filiu menulis kesaksian yang ia kumpulkan selama berada di wilayah itu antara 19 Desember 2024 dan 21 Januari 2025.

Ia datang sebagai bagian dari misi kemanusiaan bersama organisasi Médecins Sans Frontières (Dokter Lintas Batas). Di sana ia menyaksikan langsung penderitaan yang sulit dicerna oleh nalar manusia.

Menurut Filiu, Gaza telah mengguncang seluruh tatanan moral dan hukum yang dibangun dunia modern.

“Yang runtuh bukan hanya bangunan dan tubuh perempuan, laki-laki, serta anak-anak, tetapi juga pilar hukum internasional yang selama ini menjadi benteng untuk mencegah kembalinya barbarisme yang pernah melanda dunia pada masa Perang Dunia Kedua,” tulisnya.

Ia menilai, kehancuran itu turut menimpa sistem diplomasi global—satu-satunya mekanisme yang semestinya berfungsi menyelesaikan konflik, bukan menambahnya.

Dalam pandangan Filiu, Gaza telah menjadi cermin masa depan dunia: arena bagi para pemburu laba, para teknokrat kecerdasan buatan yang dingin, serta “pemangsa” yang hidup dari tragedi manusia.

Apa yang tersisa dari Gaza, katanya, “menantang kata-kata.” Dalam bab-bab mengerikan, Filiu menggambarkan bagaimana bahasa dan makna bisa dimanipulasi sebagaimana dalam novel 1984 karya George Orwell: istilah diubah hingga berarti kebalikannya.

Sejak 1967, misalnya, literatur resmi Israel menyebut Gaza sebagai zona koordinasi—sebuah eufemisme untuk pendudukan.

Istilah zona kemanusiaan justru berarti zona perang, dan koridor kemanusiaan sesungguhnya adalah jalur pengusiran ke arah selatan, tanpa jaminan keselamatan apa pun.

Tak ada tempat aman, bahkan rumah sakit. Dalam bab berjudul “Rumah Sakit”, Filiu menelusuri satu per satu fasilitas medis yang menjadi sasaran serangan.

Rumah Sakit Kamal Adwan, Al-Wafa, Al-Ahli, Rumah Sakit Indonesia, Rantisi untuk anak-anak, Al-Shifa, hingga Nasser.

Semua dihantam, dengan alasan klasik dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pemerintahannya: rumah sakit disebut sebagai “basis teroris.”

Namun, sejarawan itu menegaskan, tidak pernah ada bukti meyakinkan yang mendukung tuduhan tersebut.

Sebaliknya, justru terbukti bahwa militer Israel menggunakan halaman-halaman rumah sakit untuk operasi militernya sendiri.

Klaim-klaim yang mereka sebarkan, tulis Filiu, bahkan membuat kaget media-media Barat yang selama ini dikenal tidak bersimpati kepada Hamas.

Baginya, rumah sakit di Gaza adalah simbol keteguhan manusia menghadapi maut. Ia menulis tentang peristiwa 21 November 2023, ketika sebuah rudal menghantam Rumah Sakit Al-Awda dan menewaskan dua dokter: Ahmad al-Sahhar dan Mahmoud Abu Najila.

Sebelum gugur, Abu Najila menulis di papan ruang operasi: “Barang siapa bertahan hingga akhir, dialah yang bisa menceritakan kisah ini. Kami telah melakukan yang kami mampu. Jangan lupakan kami.”

Namun, bahkan para saksi tak luput dari bidikan senjata. Filiu menyebut mereka “target yang disengaja”—para jurnalis yang menjadi saksi peristiwa.

Salah satu kisah paling memilukan datang dari jurnalis muda Ayat Khudour.

“Kami dulu punya mimpi besar. Kini satu-satunya harapan kami adalah agar tubuh kami tidak tercerai-berai saat mati, supaya keluarga bisa mengenali kami,” katanya dalam rekaman terakhirnya sebelum rumahnya di Beit Lahia dibombardir.

Menurut Filiu, jurnalis adalah “pejuang” karena mereka menolak narasi tunggal yang dipaksakan propaganda Israel, dan menolak terbiasa dengan penderitaan.

“Sejarawan tahu dari pengalaman, bahwa pikiran manusia cenderung menyesuaikan diri dengan konflik yang berkepanjangan. Karena itu, korban Gaza mati dua kali: pertama, ketika tubuh mereka dihancurkan oleh mesin perang Israel atau perlahan dicekik di tenda-tenda pengungsian; dan kedua, ketika penderitaan mereka diremehkan atau bahkan disangkal oleh propaganda,” tulisnya.

Filiu juga menggambarkan bagaimana bantuan kemanusiaan berubah menjadi ajang kekacauan dan kerakusan.

Ia menyebut munculnya “burung pemangsa”—mereka yang mencari untung di tengah penderitaan.

Salah satu contohnya adalah pembantaian tepung, ketika ribuan warga kelaparan menunggu distribusi bantuan di tepi pantai. Tentara Israel menembaki kerumunan itu, menewaskan dan melukai ratusan orang.

“Siapa yang tidak mati oleh peluru, mati karena desak-desakan,” tulisnya getir.

Yang lebih mengejutkan, katanya, sekitar 40 persen truk bantuan dirampok oleh kelompok bersenjata yang mendapat perlindungan dari militer Israel.

Situasi pun berubah menjadi hukum rimba: siapa yang bisa “mengatur nasibnya sendiri” dengan cara apa pun—dari mencari kayu bakar di bawah ancaman peluru hingga melakukan barter karena uang tunai tak lagi beredar.

Salah satu kisah yang paling menyayat adalah tentang penulis dan pemilik toko buku, Muhammad Assaf, yang sepanjang hidupnya mengumpulkan 30 ribu buku. Kini, ia hidup di bawah tenda di Deir al-Balah.

Seorang pemilik toko roti menawarinya untuk membeli buku-buku itu sebagai bahan bakar agar bisa “memberi makan rakyat.” Assaf menolak.

“Membakar buku-buku itu,” tulis Filiu, “adalah membunuh pengetahuan,” ujarnya.

Dalam situasi yang menelanjangi kemanusiaan, sebagian orang berubah menjadi pelaku kekerasan dan pelecehan.

Rasa lapar, kehilangan, dan keterdesakan menggerus nilai-nilai moral, sementara kehidupan bergantung pada naluri bertahan.

Di Gaza, bahkan kematian telah berubah makna. Ia tak lagi datang di medan perang, tak lagi disertai upacara pemakaman yang layak.

Orang bisa mati kapan saja: di jalan, di pasar, di tenda pengungsian, di “zona kemanusiaan”. Kadang sebuah keluarga lenyap seluruhnya dalam sekejap.

Filiu menulis, warga Gaza kini hidup dalam “penantian permanen”: menunggu bantuan, menunggu gencatan senjata, menunggu bisa memakamkan kerabat mereka.

“Mereka tahu bahwa dunia telah meninggalkan mereka,” tulisnya.

Pada awalnya, warga Gaza percaya bahwa gambar-gambar pembantaian akan menggugah hati nurani dunia.

Tapi harapan itu pupus. Mereka sadar, penderitaan mereka justru dimanfaatkan dalam permainan geopolitik.

Di antara tubuh-tubuh yang terluka, kekecewaan terhadap dunia Arab dan kebisuan negara-negara Barat terasa lebih perih daripada luka fisik.

“Gaza tahu, tak ada yang bisa diharapkan dari rezim Arab yang bungkam, tak ada pula dari negara-negara Eropa. Mereka hanya percaya pada PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan, meski sadar betul betapa terbatas kekuatan mereka di hadapan tirani pendudukan,” kata Filiu.

Akhirnya, yang tersisa hanyalah penantian itu sendiri—penantian akan jeda, setetes waktu untuk bernapas, mandi, menyalakan lampu, atau sekadar merasa hidup kembali.

Pada 16 Januari 2025, warga Gaza bangun dengan kabar gembira: gencatan senjata diumumkan.

Namun, yang tampak kemudian hanyalah fatamorgana. Pembunuhan tetap berlanjut. Tragedi tidak berakhir.

Buku Jean-Pierre Filiu adalah catatan lima minggu—tidak mencakup seluruh Gaza, tetapi cukup untuk menyingkap wajah Nakba kedua yang, menurutnya, lebih menyakitkan daripada yang pertama.

Dan kini, setahun setelah ia menulisnya, mesin pembunuhan itu belum berhenti.

Dalam epilog bukunya, Filiu menulis dengan nada getir bahwa perang mungkin akan berhenti, tetapi apakah kedamaian mungkin lahir di dunia yang menganggap “kompromi” sebagai realisme, dan membiarkan Gaza dikorbankan demi keuntungan diplomatik di Ukraina?

“Gaza, telah dijadikan alat tawar untuk dunia baru yang kejam,” tulisnya.

Namun ia menutup dengan kalimat yang menggugah: “Imajinasi sejarah selalu lebih subur daripada imajinasi para tiran—atau bahkan Samson sendiri.”

*Hassan Aourid adalah seorang akademisi dan politikus Maroko, beliau adalah profesor ilmu politik di Universitas Mohammed V di Rabat. Beliau adalah seorang politikus dan penulis Maroko yang telah memegang beberapa jabatan resmi. Pada Juli 1999, beliau diangkat sebagai juru bicara resmi pertama Istana Kerajaan, jabatan yang dipegangnya hingga Juni 2005. Beliau juga menjabat sebagai sejarawan Kerajaan. Karya sastra dan intelektualnya berfokus pada isu-isu identitas, sejarah, dan politik. Novel-novelnya yang paling terkenal antara lain La Morisco dan La Spring of Cordoba. Beliau dikenal karena gayanya yang mendalam, yang memadukan narasi sastra dengan analisis intelektual. Tulisan ini diambil dari situs Aljazeera.net dengan judul “Syahādah Shādimah Linuarrikh Faransī ‘An Ghazah”.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler