Tentara pendudukan Israel pada Senin (11/11) memulai latihan militer besar-besaran yang berlangsung selama tiga hari dan mencakup berbagai wilayah di Tepi Barat, Lembah Yordan, serta perbatasan dengan Yordania.
Latihan ini, menurut pernyataan militer Israel, bertujuan untuk “mengambil pelajaran operasional” dari peristiwa 7 Oktober 2023.
Selain itu juga meningkatkan kesiapan pasukan menghadapi kemungkinan eskalasi di lapangan.
Termasuk serangan atau penyusupan yang mungkin berasal dari wilayah Tepi Barat menuju permukiman Israel.
Dua divisi militer dikerahkan dalam latihan ini, bersama satuan dari Angkatan Udara, aparat keamanan internal (Shin Bet), dan kepolisian Israel.
Sejumlah jalan utama dan area di sekitar lokasi latihan diperkirakan akan dipadati kendaraan militer dan personel bersenjata.
Dalam pernyataannya, militer Israel menyebut latihan tersebut dimulai “pada pagi hari” dan meliputi kawasan yang mereka sebut sebagai “Yehuda dan Samaria” — istilah yang digunakan Israel untuk menyebut wilayah Tepi Barat — serta Lembah Yordan.
Maneuver militer ini digelar di tengah meningkatnya eskalasi kekerasan Israel di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Sejak awal 2024, operasi militer, penembakan, dan penangkapan berlangsung hampir setiap hari, paralel dengan perang besar yang dilancarkan Israel terhadap Jalur Gaza sejak Oktober 2023 dengan dukungan langsung dari Amerika Serikat (AS).
Menurut data lembaga-lembaga Palestina, setidaknya 1.069 warga Palestina gugur di Tepi Barat dan sekitar 10.000 orang terluka sejak awal eskalasi.
Lebih dari 20.000 warga Palestina telah ditahan oleh pasukan Israel, termasuk 1.600 anak-anak.
Kota-kota seperti Jenin, Nablus, Tulkarm, dan Hebron menjadi sasaran operasi militer harian yang disertai penghancuran rumah, penyitaan tanah, dan pengusiran warga.
Sementara itu, meski perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas telah diumumkan pada 10 Oktober lalu, pasukan Israel terus melanggar kesepakatan itu hampir setiap hari.
Mereka melanggar melalui serangan udara dan tembakan artileri yang menargetkan berbagai titik di Jalur Gaza.
Serangan-serangan itu menambah panjang daftar korban di wilayah yang sudah hancur akibat perang lebih dari setahun sebelumnya.
Hingga kini, lebih dari 69.000 warga Palestina telah gugur dan lebih dari 170.000 lainnya terluka, sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Selain korban jiwa, kehancuran infrastruktur di Gaza juga sangat masif. Gedung-gedung publik, sekolah, rumah sakit, dan jaringan listrik luluh lantak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan biaya rekonstruksi wilayah itu mencapai sekitar 70 miliar dolar AS.
Angka yang mencerminkan kedalaman luka dan skala kerusakan yang ditinggalkan perang.


