Friday, November 14, 2025
HomeBeritaTragedi Ganda: Kekerasan Israel di Gaza dan sikap diam AS terhadap Sudan

Tragedi Ganda: Kekerasan Israel di Gaza dan sikap diam AS terhadap Sudan

Sejumlah media internasional menyoroti dua krisis besar yang kini mengguncang dunia.

Penderitaan warga Gaza yang terluka akibat perang Israel, dan sikap diam Amerika Serikat (AS) terhadap konflik yang terus berkobar di Sudan.

Harian Le Monde (Prancis) menurunkan laporan mendalam tentang ribuan warga Palestina yang terluka dalam agresi Israel di Jalur Gaza.

Menurut surat kabar itu, para korban “sekarat dalam diam”, sementara lebih dari 18.000 orang membutuhkan perawatan medis di luar negeri.

Namun, blokade Israel dan kelambanan negara-negara Barat dalam menanggapi kasus-kasus ini membuat ribuan orang tak tertolong. Sekitar seribu di antaranya meninggal akibat luka yang diderita.

Le Monde menulis bahwa banyak korban mengalami luka parah, memerlukan amputasi, transfusi darah, dan perawatan intensif—namun tak mendapat akses ke layanan medis dasar.

Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang kini hidup dalam penderitaan fisik dan psikologis, di tengah runtuhnya sistem kesehatan akibat serangan militer Israel terhadap rumah sakit dan tenaga medis.

Kekacauan baru

Sementara itu, The Guardian (Inggris) mengungkap bahwa dalam lima tahun terakhir, tentara Israel dan para pemukim telah melancarkan lebih dari 250 serangan terhadap sumber-sumber air milik warga Palestina.

Serangan itu mencakup penggunaan bahan peledak, anjing penyerang, alat berat, hingga racun.

Pedro Arrojo Agudo, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas air minum dan sanitasi, menegaskan bahwa tindakan tersebut menghancurkan sebagian besar infrastruktur air di Tepi Barat dan Gaza—sekitar 90 persen fasilitas air di Gaza rusak atau hancur.

Kondisi ini, katanya, telah menimbulkan “bencana kesehatan publik” di wilayah yang terkepung itu.

Majalah Foreign Policy menyoroti ketidakpastian yang menyelimuti fase kedua dari perjanjian gencatan senjata di Gaza.

Menurut laporan itu, pelaksanaan tahap berikutnya terhambat oleh sejumlah factor.

Penolakan Israel terhadap keterlibatan pihak Palestina dalam pemerintahan Gaza, keengganan Hamas untuk melucuti senjatanya, serta keberadaan para pejuang yang masih bertahan di terowongan bawah tanah Rafah.

Majalah tersebut menilai bahwa hambatan ini bisa menggagalkan masa depan kesepakatan damai dan membuka risiko baru berupa pembagian wilayah Gaza.

Meski begitu, pemerintahan Presiden Donald Trump disebut tetap menampilkan optimisme di ruang publik, meski tanpa langkah konkret.

Dalam konteks berbeda, The Times (Inggris) menyoroti apa yang disebutnya “diam mematikan” AS terhadap perang yang terus berkecamuk di Sudan.

Kolumnis Roger Boyes menilai bahwa sikap pasif Gedung Putih hanya memperburuk keadaan dan membuka jalan bagi kekacauan baru di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.

Menurut Boyes, Presiden Trump berupaya menegaskan dominasinya melalui simbol dan gestur politik tanpa komitmen nyata, sehingga kawasan itu berubah menjadi “sirkuit kekacauan”.

Ia menambahkan bahwa pembantaian yang dilakukan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di kota El-Fasher seharusnya menjadi “alarm moral” bagi Washington.

Namun, justru sebaliknya, Amerika memilih diam dengan keyakinan bahwa mengabaikan perang yang jauh akan membuatnya menguap begitu saja—padahal yang terjadi justru sebaliknya.

Dari Tel Aviv, Haaretz melaporkan bahwa Knesset (parlemen Israel) telah menyetujui pada pembacaan pertama rancangan undang-undang yang memberi wewenang kepada Menteri Komunikasi.

Tujuannya, untuk menutup media asing tanpa perlu ada status darurat atau keputusan pengadilan.

Disebut sebagai “Undang-Undang Al Jazeera”, kebijakan ini dinilai Haaretz sebagai langkah untuk mengubah sensor perang menjadi kebijakan tetap yang menyeluruh.

Surat kabar itu menulis bahwa langkah ini mencerminkan kecenderungan baru dalam pemerintahan Benjamin Netanyahu untuk memperluas kontrol terhadap informasi, menekan media, dan melemahkan lembaga peradilan.

Hal itu bagian dari strategi lebih besar yang mengancam sendi-sendi demokrasi Israel sendiri.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler